Pertumbuhan pijamanan berbasis online yang cukup pesat di Inonesia dikarenakan investor melihat skema pinjaman ini lebih menguntungkan dan minim risiko. Ketika perbankan memiliki rasio kredit bermasalah pada Februari 2018 sebesar 2,88 persen, Â namun apabila dibandingkan dengan skema peer to peer lending memiliki risiko kredit macet hanya 0,64 persen. Dikarenakan pada skema ini satu orang hanya dapat mendanai 20 persen dari total pendaan sebagai bentuk diversifikasi risiko. Dengan dibatasinya pendaan tersebut akan meminimalisir risiko gagal bayar yang cukup besar karena kerugian akan ditanggung bersama dengan para pendana lain.
Dalam skema pinjaman ini investor dapat mengenal peminjam dana secara terbuka sebagai bentuk transparasi risiko dan leluasa untuk memilih kategori risk credit scoring yang ingin didanainya, Apabila semakin tinggi risikonya, maka semakin tinggi bunga yang harus dibayar. Dan begitu juga sebaliknya,semakin rendah risikonya, maka pengembalian bunga semakin rendah.
Hubungan antara si peminjam dan investor memiliki sifat yang terbuka sebagai bentuk transparasi dalam layanan keuangan. Dengan terintegrasi secara online layanan keuangan akan terlihat secara real time informasi pinjaman dan pendanaan. Hal tersebut akan memberikan informasi terkait dengan proses pendanaan, sehingga dapat jelas melihat lalu lintas transaksi dana.
Skema peer to peer (P2P) lending yang masih minim akan pencerdasan informasi mengenai skema kepada masyarakat dan branding yang kalah dibandigkan perbankan. Â Sehingga dana modal yang diterima tidak lah lebih besar dari perbankan. Untuk menciptakan keuangan inklusif di Indonesia perusahaan fintech tidak lah dapat bersendiri sendiri, Â perbankan diharapkan dapat mengaplikasikan skema pinjaman ini untuk kesahjeteraan masyarakat.
Pemerintah Sebagai Regulator
Pertumbuhan yang signifikan didukung oleh regulator yang proaktif  dalam mengatur regulasi untuk memberikan jaminan kepada konsumen. Bank Indonesia (BI) sebagai lalu lintas moneter terpengaruh dengan adanya digitalisasi sektor keuangan ini dikarenakan untuk menjaga kestabilan keuangan di Indonesia. BI harus responsif terhadap perubahan layanan keuangan, terbukti bahwa BI sudah 3 kali melakukan perbuhanan aturan pada tahun 2009,2016 dan yang terhakhir pada Mei 2018 tentang uang elektronik atau e-money.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berfokus untuk mengatur lalu lintas sektor jasa keuangan menjadi kunci penting agar tetap terjaganya peluang pertumbuhan digitalisasi layanan keuangan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi peer to peer (P2P) lending adalah respon yang positif dari pemerintah dalam memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa sistem pinjam meminjam ini adalah legal dan dijamin kemanannya oleh Negara.
Peraturan yang dikeluarkan OJK tersebut masih di permasalahkan masyarakat, lebih khususnya dalam pasal 19 dan pasal 20 yang mengatur mengenai perjanjian antara para pihak dalam fintech tidak mengatur adanya jaminan kredit dalam perjanjian pinjam meminjam. Walaupun beberapa perusahaan P2P Lending sudah mengatur jaminan atas risiko dana yang gagal bayar, tapi hal tersebut berbeda-beda antar perusahaan yang satu dengan yang lain untuk menjamin risiko dana, bahkan beberapa perusahaan belum adanya jaminan risiko bagi para para pemberi. Maka dari itu, OJK sebagai regulator harus memiliki standar yang sama dalam menjamin para pemberi pinjaman di skema P2P Lending ini.
Layanan keuangan modern ini memang dapat menjadikan sebuah peluang, tapi disisi lain perlu hati-hati dalam mengeluarkan regulasi. Regulasi fintech yang begitu ketat seperti di United Kingdom (UK) sangat lah bagus karena baik dari sisi pelaku dan di industri akan stabil. Akan tetapi, ketika regulasi tersebut terlalu strict akan menghambat iklim investasi. Namun, regulasi yang terbuka juga tidak bagus untuk keamanan dalam negeri, Ketika adanya lag regulasi yang menandakan perkembangan teknologi lebih cepat dibandingkan regulasinya, dapat menyebakan risiko tidak dapat dimanajemen. Seperti di Negara China ketika regulasi dilepas sebebas-bebasnya selama 10 tahun karena kebutuhan dana dalam negeri, menimbulkan industri layanan keuangan tumbuh secara liar. Akibat adanya lag tersebut menimbulkan perusahaan fintech di China mulai tutup dikarenakan belum siapnya ketika adanya regulasi yang mulai diperketat.
Negara Indonesia yang tergolong masih baru dalam mengadopsi layanan fintech ini perlu banyak belajar dari negara-negara lain. Bagaimana menjadikan sebuah peluang untuk menciptakan pembangunan ekonomi dengan membuka iklim investasi pinjaman meminjam, namun dibarengi dengan pengawasan layanan keuangan untuk menjaga stabilitas layanan keuangan.
Indonesia mencoba memposisikan diri ditengah-tengah antara dua negara yang sukses dalam investasi maupun peraturan.  Kerjasama antara OJK dengan BI menghasilkan regulayory sandbox untuk membuat ruang uji terbatasan guna  mencoba produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnis perusahaan layanan keuangan. Sandbox ini juga sebagai bentuk mitigasi risiko pertumbuhan perusaahaan fintech yang begitu cepat dan tidak lupa juga memberikan ruang inovasi bagi perusahaan untuk memunculkan layanan keuangan yang lebih efektif dan efisien .