cafe dan resto di Bandung Utara yang nyelip di antara perumahan. “Jadi agak bingung mau bilang kreatif atau gimana gitu dengan perubahan rumah tinggal jadi cafe...”
Seorang teman bloger di Bandung bingung mau berkomentar ke artikel di blog saya, tentangMaraknya perubahan fungsi bangunan semula rumah tinggal menjadi fungsi lain ada dimana-mana di Bandung. Awalnya dulu banget terjadi di jalan Ir. H. Juanda atau lebih dikenal sebagai jalan Dago.
Kawasan ini pada suatu masa oleh walikota setempat diperuntukkan menjadi kawasan campuran. Artinya dalam satu kawasan, boleh ada rumah tinggal, toko, restoran, kampus, hotel, dan lain-lain. Waktu itu marak factory outlet atau FO berbagai jenama yang menjamur di sepanjang jalan Dago.
Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah
Suatu kota harus memiliki sebuah peraturan bernama Rencana Tata Ruang Wilayah yang di dalamnya mengatur peruntukkan bangunan di suatu kawasan, prosentase luas bangunan dibanding luas lahan, peraturan tinggi bangunan, dan banyak lagi.
Kota Bandung mempunyai peraturan ini yaitu Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 5 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2022-2042. Peraturan seperti ini memang selalu ditinjau ulang setiap beberapa dekade, berdasarkan perkembangan kota yang terjadi.
Bagi perencana, arsitek, konsultan, dan masyarakat umum, perda ini menjadi acuan ketika akan mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB), atau sekarang bernama persetujuan bangunan gedung (PBG).
Perda juga mengatur zonasi fungsi suatu kawasan, antara lain terdapat kawasan lindung, kawasan konservasi, kawasan perlindungan setempat dan kawasan ruang terbuka hijau. Kemudian terdapat kawasan budi daya yang dipilah menjadi kawasan permukiman, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan perkantoran, kawasan transportasi, kawasan peruntukan industri, kawasan pariwisata, kawasan pertahanan dan keamanan, terakhir adalah kawasan pertanian.
Informasi tentang fungsi kawasan ini bisa diketahui secara online, dan terdapat tabel-tabel pula yang mengatur tentang koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), batas maximum tinggi bangunan, jumlah lantai, dan lain-lain.
Menilik peraturan yang sudah disiapkan oleh pemerintah daerah, harusnya sebagai warga masyarakat, kita mencari tahu tentang peraturan setempat dan patuh dengan peraturan tersebut, bukan?
Perubahan Rumah Tinggal Menjadi Fungsi Perdagangan dan Jasa
Saya pernah melakukan penelitian tentang perubahan fungsi bangunan dan dimuat di jurnal Geoplanart, sebuah jurnal tentang keteknikan di Fakultas Teknik, Perencanaan, dan Arsitektur di Universitas Winaya Mukti. Judul kajian saya, Peralihan Fungsi Bangunan di Koridor Jalan LLRE Martadinata Kota Bandung.
Jurnal yang terbit tahun 2017 itu mengkaji tentang fenomena perubahan fungsi hunian akibat perkembangan ekonomi dan pariwisata di kota Bandung. Koridor jalan LLRE Martadinata, dulunya bernama jalan Riau, sudah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda.
Kawasan ini merupakan kawasan bangunan berupa rumah tinggal setaraf villa, karena desain, luas bangunan dan lahan yang besar. Penelitian saya waktu itu lebih pada mengamati perubahan pada elemen fasad dan bentuk bangunan, apalagi pada beberapa kawasan di Bandung terikat oleh peraturan mengenai konservasi kawasan dan bangunan cagar budaya.
Ternyata perubahan fungsi bangunan meluas hingga di jalan-jalan lebih kecil di balik jalan LLRE Martadinata. Bila kita jalan kaki menyusuri jalan di balik jalan Riau ini ada jalan Progo, yang sepanjang jalan ini campur baur antara studio foto terkenal bernama Jonas, restoran, sekolah, lembaga penelitian sebuah kampus, klinik kecantikan, kursus musik, aneka cafe, hingga notaris.
Jalan lagi ke seberangnya, jalan Bahureksa, sami mawon. Di pojok jalan Bahureksa, bangunan sekolah swasta berdiri megah, makin ke utara, deretan rumah tinggal berubah fungsi menjadi aneka resto dan cafe hingga hotel.
Cikal bakal tata ruang kota Bandung memang tak lepas dari campur tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rencana memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke kota Bandung disertai pula dengan masterplan yang tersisa jejaknya di sekitar Gedung Sate.
Waktu itu Bandung menjadi Gemeente yang artinya otoritas lokal sebuah wilayah.
Penamaan jalan-jalan di kota Bandung sangat unik. Ada nama-nama pulau, contohnya jalan Riau, dan sekitarnya ada jalan Lombok, Banda, Seram, Ambon, Aceh, Flores, Madura, dan lain-lain. Lalu berpotongan dengan jalan nama-nama sungai, misalnya jalan Progo, Cimanuk, Citarum, Ciliwung, Cilamaya, Cisangkuy, dan lain-lain. Menyambung lagi ke selatan, jalan nama-nama pohon, seperti jalan Rasamala, Salam, Saninten, Jamuju, dan Cendana.
Agak ke timur ada nama jalan dengan tema bunga dan buah-buahan. Walaupun seolah penamaan ini terkesan main-main, bukan hanya supaya mudah diingat, tetapi disertai pemetaan lengkap yang diperuntukkan sebagai kawasan perumahan. Peta-peta kuno zaman dulu masih bisa kita lihat di website Leiden University Library.
Semuanya Tentang Pajak
Ketika jalan Dago ditetapkan sebagai kawasan campuran, issuenya adalah berkaitan dengan pajak. Seperti kita ketahui jalan-jalan protokol yang di peta ditetapkan sebagai kawasan perdagangan dan jasa, pajak bumi dan bangunannya sangat mahal. Rumah-rumah tinggal yang beradaa di kawasan yang sama, mau tidak mau mengikuti tren beralih fungsi menjadi bangunan fungsi bisnis.
Pajak bumi dan bangunan di jalan-jalan protokol bisa puluhan juta per tahunnya, dan selalu ada kenaikan. Reduksi atau pengurangan pajak hanya dikenakan pada bangunan-bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Informasi ketetapan ini pun harus dicari sendiri oleh pemilik rumah yang rata-rata mewarisi dari orang tua mereka.
Menariknya perubahan fungsi rumah tinggal menjadi fungsi bisnis ternyata merembet juga ke jalan-jalan kecil yang lokasinya tidak berpotongan dengan jalan protokol.
Contoh terakhir adalah ketika saya harus mengunjungi jalan Rambutan, yang berpotongan dengan jalan Nanas. Sudah lama saya tidak ke jalan Nanas ini, karena bukan jalur saya biasa bepergian.
Ternyata sudah sangat berubah.
Plank-plank jenama cafe berderetan dengan berbagai desain papan nama dan banner menawarkan berbagai menu racikan kopi dan sarapan. Rata-rata cafe-cafe ini berukuran kecil, hanya beberapa meja konsumen dan memakai ruang garasi, teras rumah, atau ruang tamu depan. Beberapa rumah menata halaman depan dengan menambahkan payung-payung atau tambahan atap canopy.
Secara fungsi, memang rata-rata masih berfungsi sebagai rumah tinggal, karena pemilik ada yang masih menempati rumah tersebut.
Ibaratnya bila pemilik rumah seorang dokter atau konsultan, maka hanya bagian depan rumah saja yang digunakan untuk menjalankan profesinya.
Dengan adanya aplikasi layan antar makanan, justru pemilik bangunan tidak perlu banyak-banyak menyediakan meja-kursi konsumen, karena kita bisa pesan dari rumah saja. Ditambah lagi dengan adanya media sosial, maka promosi bisa dilakukan melalui Instagram atau Tik-tok.
Penutup
Saya belum melakukan penelitian di jalan-jalan kecil di balik jalan LLRE Martadinata. Secara visual fasad bangunan menjadi tidak teratur, selang seling antara rumah yang masih utuh sebagai rumah dan rumah yang berubah tampak depannya menjadi cafe.
Pajak bumi dan bangunan yang mencekik, membuat pemilik rumah harus mencari akal memberdayakan ruangan di rumahnya. Sementara, mungkin ini menjadi jawaban bagi teman saya, apakah merupakan langkah kreatif, mengubah rumah menjadi fungsi bisnis.
Langkah populer sekarang ini adalah cafe diselingi juga dengan aneka distro atau toko pernak-pernik yang menjadi satu dengan cafe tersebut. Zamannya factory outlet berskala besar beralih dengan sesuatu yang lebih unik dan private.
Kopi, apalagi tentang rasa. Masing-masing cafe ini menjual rasa, yang hanya penikmat kopi yang tahu perbedaannya.
Bahwa kemungkinan mereka melanggar peraturan perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, seolah teralihkan dengan tuntutan dari pemilik rumah untuk mendapatkan penghasilan. Di sisi lain, begitu pemilik memasang plank nama usaha, besar kemungkinan akan ada pajak lainnya menyusul.
Ditambah lagi ada masalah lain yang muncul, yaitu parkir. Bila tiba waktunya jam makan siang atau ngopi sore, mobil dan motor parkir di sepanjang jalan. Itu sebabnya di ruas jalan lainnya, muncul reaksi penolakan dari warga setempat, seperti yang terjadi di jalan Sawo, tak jauh dari jalan Nanas.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H