Mohon tunggu...
Hanifah Nur Aini xa2 1101
Hanifah Nur Aini xa2 1101 Mohon Tunggu... Mahasiswa - instagram : @hanifahnuraini1101_

Jadilah yang terbaik dengan cara yang baik, tanpa menjatuhkan orang lain :-)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat-saat Tak Terduga

19 Desember 2018   22:19 Diperbarui: 19 Desember 2018   22:48 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

*

***Pertemuan***

*

Suatu hari aku bertemu dengan sesorang bernama Ikhwan. Dia laki-laki yang baik, dia selalu menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan. Ketika itu, aku terpeleset dan jatuh ke sungai. Aliran sungainya begitu deras, sehingga aku ikut hanyut dalam aliran sungai tersebut hingga puluhan kilo meter. Aku hanyut sampai di anak sungai disebuah desa yang amat terpencil. Desa yang jauh dari keramaian. Desa yang berada ditengah hutan. Desa yang hanya berpenghunikan beberapa orang saja.

*

Ketika itu aku ditolong oleh seorang laki-laki, dia lah Ikhwan. Aku merasa senang bisa bertemu dengannya. Dia merawatku hingga aku sembuh. Dia begitu sabar menghadapiku ketika aku merasa kesakitan. Ketika aku hanyut disungai, ku menabrak beberapa ranting pohon dan sampah di sungai sehingga banyak goresan luka yang ada pada tubuhku. Perlahan beberapa goresan luka itu mulai sembuh meskipun masih nampak bekas lukanya.

*

"Biar ku obati dulu luka-lukamu" kata Ikhwan. Aku menimpali "Iya terima kasih sudah mau merawat dan mengobati luka-lukaku, meskipun kita tidak saling kenal sebelumnya". Ikhwan tersenyum. Aku membalasnya dengan senyuman juga. Senyumnya begitu manis dan nyaman dipandang. Dia memang laki-laki yang baik. Dia laki-laki yang suka menolong orang lain.

*

Ikhwan ialah seorang laki-laki yang tinggal disebuah Desa yang bernama Desa Kenang-kenang. Dia tinggal seorang diri dirumah. Kepada Desa awalnya tidak mengijinkan aku tinggal dan dirawat oleh Ikhwan dirumahnya, namun lambat laun Kepada Desa nya mengijinkan meski banyak warga yang tidak menyukai kami tinggal bersama dalam satu atap. Banyak cacian yang keluar dari mulut tetangga Ikhwan, namun Ikhwan tidak mengubrisnya maupun menanggapinya. Dia hanya tersenyum. Dia tetap ramah pada semua orang disekitarnya.

*

Hujatan demi hujatan diterima Ikhwan setiap hari. Suatu ketika warga desa mendesak Kepala Desa lagi untuk mengusir ku pergi. Kini mereka tidak hanya meginginkan aku pergi, namun juga Ikhwan yang pergi. Kepada Desa pun akhirnya tidak bisa menolak permintaan warganya. Akhirnya kami pun diusir paksa oleh warga. Lukaku yang sebelumnya belum pulih, Kini terasa semakin sakit ketika aku melangkah untuk pergi bersama Ikhwan. Kami tidak tau harus pergi kemana. Aku pun merasa sangat bersalah. Hanya karena menolongku, Ikhwan jadi diusir dari tempat kelahirannya sendiri.

**

Kami berjalan dan terus berjalan hingga sampailah kami di sebuah Desa yang tidak jauh dari Desa Kenang-kenang. Ketika kami tiba disana, kami dilihat oleh banyak orang. Kami menjadi pusat perhatian semua orang yang melewati kami. Kami jadi merasa canggung dan sungkan ketika berjalan. Kami menghentikan langkah kami didepan sebuah rumah. Rumah yang cukup megah dan bagus jika dibandingkan dengan rumah-rumah disekelilingnya. Kami beristirahat sejenak di pinggir jalan didepan rumah tersebut.

*

Seorang wanita keluar dari rumah tersebut. Dia cantik dan masih muda. Mungkin umurnya sama dengan umurku. Dia melangkah ke arah kami. Dia berjalan begitu menawan dan anggun seperti Putri Solo. Dia menghampiri dan bertanya kepada kami "Apa ada yang bisa saya bantu? Mengapa kalian berada disini? Dimana tempat tinggal kalian? Darimana kalian berasal?". Aku terdiam. Ikhwan menjawab "Kami hanya ingin beristirahat sejenak. Kami merasa lelah. Kami berasal dari Desa yang tidak jauh dari Desa ini. Kami sebenarnya membutuhkan tempat tinggal". Sejenak wanita itu diam dan sepertinya dia memikirkan sesuatu.

*

Wanita itu kemudian mengajak kami untuk mampir kerumahnya yang mewah dan bagus itu. Sebenarnya kami merasa enggan dan tidak enak untuk mampir. "Ayo mampirlah sejenak, walau hanya sekadar untuk minum dan bersih-bersih". Aku tersenyum dan menjawab " Terima kasih atas tawarannya". Kami kemudian mampir kerumahnya. Dia menyuguhi es sirup dan makanan ringan. Kami pun memakan dan meminumnya. Wanita itu membuka percakapan "Sebenarnya kalian sepasang suami istri atau saudara?". Ikhwan menjawab "Kami berdua adalah sepasang teman yang sudah menjadi keluarga". "Jadi kalian sepasang suami istri?". Aku tersenyum dan Ikhwan juga tersenyum. Aku pun menjawab "Kami punya hubungan pertemanan namun rasanya seperti hubungan keluarga". Wanita itu masih bingung dengan jawaban kami.

*

Selang beberapa waktu, ada seorang laki-laki paruh baya datang. Dia bertanya "Siapa yang datang nak?". Wanita tadi menjawab "Mereka adalah teman baruku Yah. Mereka berasal dari Desa sebelah". "Oh iya siapa nama mereka nak?" tanya Ayahnya. "Namanya.. Astagfirullah. Kami lupa berkenalan yah". "Masya Allah. Saking asyik ngobrolnya ya?". Wanita itu hanya tersenyum. Laki-laki paruh baya tersebut pun duduk bersama kami dan bertanya "Siapa nama kalian? Dan dimana tempat tinggal kalian". Kami pun menceritakan peristiwa yang kami alami kepada mereka.

**

Sampai sekarang pun ingatanku belum kembali. Aku masih belum mengingat siapa namaku dan dimana aku berasal. Yang ku ingat hanyalah aku terjatuh dan terpeleset ke sungai kemudian hanyut dalam aliran sungai tersebut. Ikhwan memberi nama Aqila untuk ku. Aku pun menyukai dan menyetujuinya. Sejak awal ku bertemu dengannya, namaku adalah Aqila. Ya nama yang cukup bagus menurutku. Nama yang diberikan Ikhwan kepadaku setelah dia selesai Sholat Dhuha pada waktu itu.

*

Laki-laki paruh baya tadi ternyata seorang Kepala Desa dan wanita cantik yang masih muda tadi adalah anak semata wayangnya. Wanita tersebut bernama Kaila. Ya nama yang cukup cantik untuk wanita secantik dia. Kepala Desa tersebut menjelaskan bahwa aku dan Ikhwan harus menikah dulu jika ingin tinggal dan diterima di Desa nya. Kepala Desa memberi kami waktu beberapa jam untuk berfikir. Disela kami berfikir, suara adzan mulai terdengar saling bersautan menunjukan waktu Ashar. Kami pun Sholat Ashar berjamah di Masjid dekat rumah Kepala Desa.

*

Selesai sholat, kami pun melanjutkan perbincangan. Aku dan Ikhwan masih belum bisa menjawab pertanyaan yang tadi. Ikhwan terlihat termenung dan banyak diam. Aku tau pasti dia memikirkan ini secara matang-matang. Aku teringat obrolan ku dengan dia dahulu mengenai Pernikahan. Menurutnya, pernikahan bukan suatu yang main-main. Pernikahan adalah salah satu langkah awal sesorang untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang. Pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan menjadi satu. Pernikahan merupakan proses dimana kita harus mau menerima kekurangan dan kelebihan pasangan kita. Pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta, yakni Allah SWT.

**

Ketika aku hidup bersamanya, aku merasa nyaman dan mulai menaruh hati padanya. Dia begitu baik dan taat beribadah. Dia mengajariku banyak hal. Dia mengajariku tentang Agama islam. Dia mengajariku tentang syahadat, tentang sholat dan masih banyak lagi. Dia mengajariku dengan penuh kesabaran. Aku faham dengan keadaanku saat ini. Aku yang jelek, aku yang dipenuhi luka disekujur tubuhkan, aku yang menyusahkan orang lain, aku yang sebelumnya tidak mengenal agama, aku yang tidak tau siapa aku sebenarnya dan apakah aku pantas untuk dia yang begitu sempurna menurutku.

*

Selama aku hidup dengan Ikhwan, tak pernah kudengar dia mengeluh, tak pernah kulihat dia marah, tak pernah kulihat dia murung seperti ini. Mungkin ini suatu pertanyaan yang berat untuknya. Dia harus mengambil keputusan dalam waktu beberapa jam saja untuk suatu hal yang akan dia jalani seumur hidupnya. Mungkin dia masih ragu ketika disuruh menikahiku. Aku pun sebenarnya juga ragu dan takut. Aku takut membuat bebannya semakin banyak. Aku takut mengahancurkan masa depannya. Aku takut tidak bisa menjadi istri yang baik untuknya. Aku takut menjadi penyebab kesengsaraannya. Aku takut menyakitinya.

*

Tiga jam pun berlalu dan kami masih meneruskan pembicaraan kami. Selepas Ashar kami terus mengobrol dan berbincang mengenai pernikahan. Kepala Desa dan putrinya pun memberi kami makan dan mempersilahkan kami untuk bersih-bersih. Saking asyiknya, suara adzan pun terdengar lagi. Menunjukan bahwa senja telah berlalu dan malampun akan segera tiba. Kami sholat maghrib kemudian mengaji bersama sambil menunggu dikumandangkannya suara Adzan Sholat Isya. Mereka mengaji dengan suara yang indah nan merdu. Aku hanya melihat dan mendengarkan mereka saja.

*

Selepas kami selesai sholat Isya. Kami mulai mengobrol kembali untuk membahas mengenai pernikahan. Aku sangat menunggu jawaban dari Ikhwan. Apakah dia mau menikahiku dengan segala kekuranganku atau kah dia akan meninggalkanku dengan menggoreskan luka dihatiku. Saat-saat seperti ini membuat jantungku berdetak semakin kencang. Aku gugup sekaligus takut dengan jawaban yang diucapkan oleh Ikhwan. Aku begitu mencintainya namun aku juga tidak bisa memaksa nya untuk menikah dengan ku.

*

Kepala Desa memulai pembicaraan dan bertanya "Bagaimana nak Ikhwan dan Aqila apakah kalian bersedia untuk dinikahkan?". Aku pun menjawab "Saya bersedia kalau Ikhwan juga bersedia". "Bagaimana nak Ikhwan?" tanya Kepala Desa. "Kalau kalian tidak menikah terlebih dahulu, kemungkinan kalian tidak akan diterima di Desa Sesembilan ini. Kami tidak membolehkan seorang laki-laki yang perempuan tinggal bersama tanpa ada hubungan keluarga ataupun hubungan suami istri. Kalau kalian menikah, kalian akan diterima di Desa kami dan saya yakin warga Desa kami tidak akan mencemooh atau bahkan menggunjing kalian. Kalian juga bisa tinggal di rumah adik saya yang tidak jauh dari rumah ini. Kalian bisa tinggal disana untuk sementara waktu sampai kalian memiliki pekerjaan dan sampai Nak Aqila sembuh total. Kebetulan adik saya dan keluarga sedang pergi keluar Kota untuk beberapa waktu dan dia juga mengijinkan kalian untuk tinggal dirumahnya." tambah Kepala Desa.

*

Ikhwan terlihat masih gelisah dan bimbang. Akhirnya stelah beberapa waktu, aku pun melihat senyum manis yang terukir diwajahnya. Senyumnya menandakan dia kembali seperti semula. Kembali tersenyum seperti saat aku pertama kali bertemu dengannya. Dia seringkali tersenyum kepadaku dan begitu manis senyumannya seperti senyumannya saat ini. Dia menghela nafas dan mulai angkat bicara.

***

Bersambung...

By : Hanifah Nur Aini Xa2

*

Ditulis: Surakarta, 17 Desember 2018 Pukul 13:39.

Ini adalah cerpen perdana saya. Mohon maaf bila banyak kesalahan maupun belum sesuai dengan kaidah cerpen yang baik dan berkualitas. J

Wasalamu'alaikum. Wr. Wb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun