*
Laki-laki paruh baya tadi ternyata seorang Kepala Desa dan wanita cantik yang masih muda tadi adalah anak semata wayangnya. Wanita tersebut bernama Kaila. Ya nama yang cukup cantik untuk wanita secantik dia. Kepala Desa tersebut menjelaskan bahwa aku dan Ikhwan harus menikah dulu jika ingin tinggal dan diterima di Desa nya. Kepala Desa memberi kami waktu beberapa jam untuk berfikir. Disela kami berfikir, suara adzan mulai terdengar saling bersautan menunjukan waktu Ashar. Kami pun Sholat Ashar berjamah di Masjid dekat rumah Kepala Desa.
*
Selesai sholat, kami pun melanjutkan perbincangan. Aku dan Ikhwan masih belum bisa menjawab pertanyaan yang tadi. Ikhwan terlihat termenung dan banyak diam. Aku tau pasti dia memikirkan ini secara matang-matang. Aku teringat obrolan ku dengan dia dahulu mengenai Pernikahan. Menurutnya, pernikahan bukan suatu yang main-main. Pernikahan adalah salah satu langkah awal sesorang untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang. Pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan menjadi satu. Pernikahan merupakan proses dimana kita harus mau menerima kekurangan dan kelebihan pasangan kita. Pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta, yakni Allah SWT.
**
Ketika aku hidup bersamanya, aku merasa nyaman dan mulai menaruh hati padanya. Dia begitu baik dan taat beribadah. Dia mengajariku banyak hal. Dia mengajariku tentang Agama islam. Dia mengajariku tentang syahadat, tentang sholat dan masih banyak lagi. Dia mengajariku dengan penuh kesabaran. Aku faham dengan keadaanku saat ini. Aku yang jelek, aku yang dipenuhi luka disekujur tubuhkan, aku yang menyusahkan orang lain, aku yang sebelumnya tidak mengenal agama, aku yang tidak tau siapa aku sebenarnya dan apakah aku pantas untuk dia yang begitu sempurna menurutku.
*
Selama aku hidup dengan Ikhwan, tak pernah kudengar dia mengeluh, tak pernah kulihat dia marah, tak pernah kulihat dia murung seperti ini. Mungkin ini suatu pertanyaan yang berat untuknya. Dia harus mengambil keputusan dalam waktu beberapa jam saja untuk suatu hal yang akan dia jalani seumur hidupnya. Mungkin dia masih ragu ketika disuruh menikahiku. Aku pun sebenarnya juga ragu dan takut. Aku takut membuat bebannya semakin banyak. Aku takut mengahancurkan masa depannya. Aku takut tidak bisa menjadi istri yang baik untuknya. Aku takut menjadi penyebab kesengsaraannya. Aku takut menyakitinya.
*
Tiga jam pun berlalu dan kami masih meneruskan pembicaraan kami. Selepas Ashar kami terus mengobrol dan berbincang mengenai pernikahan. Kepala Desa dan putrinya pun memberi kami makan dan mempersilahkan kami untuk bersih-bersih. Saking asyiknya, suara adzan pun terdengar lagi. Menunjukan bahwa senja telah berlalu dan malampun akan segera tiba. Kami sholat maghrib kemudian mengaji bersama sambil menunggu dikumandangkannya suara Adzan Sholat Isya. Mereka mengaji dengan suara yang indah nan merdu. Aku hanya melihat dan mendengarkan mereka saja.
*