Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Ismail

13 Juli 2024   22:44 Diperbarui: 13 Juli 2024   22:55 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi pemandangan yang lazim di sini. Tiga atau dua minggu menjelang hari raya Idul Adha lahan-lahan kosong yang berada di pinggir jalan raya bahkan yang di atas trotoar jalan akan dipadati oleh pedagang hewan kurban. Kemunculan mereka seperti lelaki penggembala yang datang dari jauh menuju pusat ibukota. Bergerombol masuk membawa semua hewan ternaknya yang sehat dan subur untuk diperjual belikan.

Tenda-tenda bambu akan terlihat berdiri di tempat-tempat kemunculan mereka dengan terpal lebar dan kumal sebagai atapnya. Sedikit semrawut memang, tak beraturan tetapi asalkan hewan-hewan kurban dapat dikandangkan terlindung dari panas dan hujan itu pun sudah cukup. Sudah cukup pula bagi mereka. Para pedagang hewan yang kebanyakan lelaki paruh baya itu dapat tempat berteduh dan beristirahat selama menjalani misi jual beli hewan peliharannya hingga hari raya menjelang.  

Tidak perlu menunggu lama memang. Dan selalu kehadiran mereka menjadi pusat perhatian orang. Sebentar saja lapak penjualanhewan tersebut akan ramai didatangi orang. Ada yang datang berniat membeli hewan kurban, ada juga yang datang para preman meminta upah sewa lahan dan sesekali ada pula dari dinas kesehatan datang untuk memeriksa hewan-hewan kurban apakah layak untuk diperjual belikan.

Namun bagi sebagian anak-anak tempat penjualan hewan kurban bagaikan kebun binatang. Atau bisa jadi seperti sebuah pasar malam dadakan di mana nanti para penjual makanan pun akan mengisi ruang-ruang kosong di luar kandang. Anak-anak akan terlihat bergembira dan asyik bermain di sana. Ditemani oleh para orang tuanya mengisi waktu senggang di jam usai sekolah.

Mereka tak perduli aroma tak sedap dari kotoran hewan yang jatuh berceceran di tanah basah. Melekat di hidung hingga masuk sampai ke dalam lambung. Bahkan aroma perengus salah satu hewan kurban itu menempel di baju hingga masuk ke dalam ke saku. Meskipun begitu anak-anak senang bahkan mereka menyempatkan memberi makan hewan-hewan kurban. Berupa dedaunan atau jerami yang telah kering di sekitaran area kandang.

Sungguh sebuah pemandangan yang lazim di sini setiap tahunnya. Para penggembala yang jauh datang dari balik ibukota. Mendirikan tenda-tenda di atas lahan kosong dan trotoar jalan menunggu para calon pekurban. Siapa saja boleh datang, siapa saja boleh lihat, tak ada batasan usia, tak pula di pungut bayaran.

*******

Jumat. Pukul 5.30 pagi saat langit menjerit hendak melahirkan matahari. Ismail sudah bangun dari tidurnya, bangun lebih awal dari biasanya. Entah siapa yang membangunkan bocah ingusan itu sepagi ini, tak seperti biasanya. Tidak ada alarm berbunyi nyaring atau jam weker berdering. Tidak ada penunjuk waktu menggantung atau menempel di dinding kayu kamarnya selain cericit curut, lengking kepak nyamuk, dengus nafas tikus. Sepertinya penunjuk waktu terjepit di sela-sela barang-barang yang bertumpuk. Mati kehabisan energi.

Bocah kurus berambut lurus yang berumur tujuh tahun itu segera berdiri setelah mengucek kedua matanya yang mungil. Segera ia melepaskan sarung yang dipakainya tidur tadi malam. Dilihat ayahnya pulas mendengkur di atas kasur lipat tanpa selimut dan bantal yang empuk. Beberapa ekor nyamuk mendarat di tangan dan kakinya. Sehat dan gemuk.

Ayahnya tidur agak larut semalam sebab sibuk memilah botol-botol plastik bekas minuman. Menguliti label botol, membersihkan botol dari kotoran hingga memasukan barang-barang bekas tersebut ke dalam karung sekaligus menimbang. Lima karung besar botol-botol plastik minuman berhasil dikerjakan dalam waktu tiga jam. Sedikit lambat memang tapi setidaknya semua terselesaikan. Besok ayahnya akan libur memulung.

Ismail tahu ayahnya mesti bangun lebih awal dari biasanya untuk segera ke masjid tetapi melihat wajah ayahnya yang begitu lelap tertidur anak ingusan itu tak tega juga membangunkannya. Toh nanti ayahnya akan bangun sendiri atau Wak haji yang datang membangunkannya.

Sementara di timur cakrawala merah menyala memoles lembut awan tipis. Matahari sedikit-demi sedikit menyembul dari rahim langit. Sesekali angin mendesir perlahan namun bintang fajar masih berkerlip di kejauhan. Waktunya mengucapkan selamat tinggal kepada bumi yang sebentar lagi terang benderang. Tiga ekor kutilang berlompatan kesana kemari bersiulan di atas ranting-ranting pohon kapuk.

Tanah basah sisa hujan semalam menguap kegelisahan. Aroma bacin saluran air yang mampet mengawang-awang bersamaan asap tipis sisa bakar sampah semalam. Bagai kabut bergulung mengitari kawasan lapak. Lampu-lampu redup berwarna oranye masih menyala. Murung dan lembab.

Warung kopi di ujung gerbang belum juga buka. Seorang lelaki berbadan gemuk terlihat meringkuk menahan dingin di atas bangku panjang warung ditemani seekor anak kucing. Sepi. Lengang. Para penghuni lapak masih berselimutkan mimpi. Hanya barang-barang rongsok bertumpuk di mana-mana menggigil telanjang. Satu mobil truk engkel terparkir diam.

Ismail kecil berjingkat pelan ke arah pintu keluar yang hanya di tutupi kain kumal berwarna biru. Ia berusaha sebisa mungkin tak membuat suara yang bisa membangunkan ayahnya. Bila ia berjalan seperti biasa lantai kayu rumah semi permanen itu pasti akan berdenyit. Seperti denyit bangunan kayu yang mau runtuh. Ismail dan ayahnya menetap di lantai dua. Di kamar berukuran 3 x 2 meter. Di sebuah komplek lapak barang bekas. Baru dua tahun terakhir ini mereka tinggal di lapak barang bekas sebelumnya mereka tinggal di dalam gerobak.

Di lokasi yang mereka tempati terdebut terdapat dua bangunan besar bertingkat. Satu di depan pintu gerbang dekat dengan jalan raya dan satu lagi agak ke dalam berbatasan dengan kali kecil dan di seberangnya berjejal rumah-rumah penduduk. Kedua bangunan tersebut seperti bangunan asal jadi tanpa rancangan arsitektur namun yang pasti cukup kokoh. Sebagian besar bangunan itu terbuat dari bahan kayu-kayu. Ismail dan ayahnya menetap di bangunan pertama dekat pintu gerbang.

******
Hari ini Ismail ingin mengunjungi kandang hewan kurban yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Menurutnya di sanalah tempat penjualan hewan kurban yang paling ramai dikunjungi orang. Ia denagr dari ayahnya bahwa pagi ini akan datang sapi yang paling besar dari luar Jakarta.

"Ayah, apakah tahun ini kita akan dapat daging kurban?. Tahun lalu aku ingat ayah berdiri di depan sebuah masjid menunggu daging kurban dibagikan. Aku ingat ayah berebut hingga jatuh ke selokan".

"Tahun lalu ibu masih bersama dengan kita. Aku ingat ayah, kita makan sate kambing bersama dengan ibu. Satu bungkus daging hewan kurban itu habis semalam. Ayah bilang jangan ada yang tersisa. Kita tak punya alat penyimpanan daging selain dalam perut.

"Ayah, Ismail kangen sama ibu. Ayah tahu tidak kalau ada yang bilang ibu tidak ada surga sebab meninggalnya bunuh diri".

Lelaki jangkung itu terkejut seketika saat anak lelaki satu-satunya berkata demikian. Di hembusakan asap rokoknya ke udara dan ia pun berkata.

"Siapa yang bilang nak, ibu tidak bunuh diri, ibu diserempet kereta api yang tengah lewat."

"Tetapi kata orang ibu memang sengaja menabrakkan dirinya saat kereta lewat, apa itu benar ayah. Bukankah itu bunuh diri ayah?"

"Jangan dengar kata orang tentang bagaimana kematian ibumu nak. Dengarkan saja keinginanmu kelak bila besar nanti. Bukankah kamu ingin membuatkan nisan untuk kuburan ibumu?"

Lelaki kecil itu bungkam seribu bahasa. Dipeluk ayahnya erat-erat. Nanar matanya membias pada langit senja. Langit senja yang setia bagi mereka. Sahabat nan lembut bagi langkah kaki mereka di tengah ibu kota.

"Ayah tidak akan tinggalkan Ismail bukan?"

Tak ada jawaban. Angin pun diam. Di peluknya anak itu erat-erat. Langit senja membisu. Matahari redup membayang kelu di ujung cakrawala nan jauh. Sinarnya merah kemerah-merahan membayang sepanjang rel kereta api. Layang-layang menari-nari di atas langit bersama senja yang sebentar lagi menghilang. 

Tidak jauh dari tempat mereka duduk menikmati senja nampak stasiun kereta. Stasiun tua yang telah lama berdiri tegak. Stasiun itu tak banyak berbicara selain tangannya yang kerap mendekap kedatangan dan kepergian anak-anak manusia. Tidak ada yang abadi bukan di dunia.

Tidak lama berselang kedua lelaki itu di kejutkan oleh cahaya merah menyala hingga menyilaukan kedua mata mereka. Merah menyala bagai api entah darimana kemunculan cahaya tersebut. Merah yang begitu terang. Merah dan sangat merah hingga seolah-olah mereka tak pernah melihat warna merah sebelumnya di kehidupan nyata. Cahaya merah menyala itu menelan mereka seperti api membara.

*********
Sepanjang perjalanan menuju ke tempat penjualan hewan kurban Ismail sesekali teringat akan mimpinya. Mimpi itu pula yang membangunkannya dari tidur. Mimpi aneh yang tak bisa ia terjemahkan. Bocah lelaki itu terus berjalan dilupakan mimpinya perlahan-lahan. Sendal jepitnya yang tipis sesekali menggasruk kerikil di jalas aspal. Hari ini ia ingin melihat sapi yang paling besar datang. Sapi bertubuh besar yang mirip dengan pak Presiden beli untuk di kurbankan. Sementara ia terus berjalan diam-diam cahaya matahari yang baru saja lahir mengikutinya dari belakang.  

Jam 7.30 pagi. Di lapak barang bekas. Adonan tepung di pengorengan serta aroma wangi kopi lembut menyeruak menerobos ke dalam bangunan tempat tinggal Jafar. Ayam peliharaan telah lepas kandang dan berkeliaran. Matahari mengangkat badannya lebih tinggi seolah ia yang paling gagah dan perkasa di bumi. Burung-burung pipit berlompat-lompatan di tanah lembab. Beberapa lelaki terlihat duduk di bangku kayu di warung kopi. Merokok, terlihat ngobrol ngalor-ngidul, mengangkat kaki dan sesekali tertawa kecil mengejek nasib.

Jafar masih meringkuk di kamarnya yang sempit. Lelaki kurus itu masih mengantuk. Semalam ia bekerja keras membersihkan botol-botol plastik hingga larut malam. Meskipun begitu dirasa memang beberapa hari ini badannya sakit dan ngilu. Jafar berpikir mungkin ia masuk angin. Ah, sungguh angin keterlaluan tak mau mengerti keadaan dirinya yang miskin. Sesekali dong jangan masuk angin pikirnya. Seandainya angin bisa membaca nasib dirinya tentu ia tidak akan terombang-ambing di semesta kehidupan jalan raya.

"Jafar, Jafar. Bangun" suara teriakan memanggil dirinya dari luar hingga terdengar masuk ke dalam kamar. Begitu keras begitu sangar. Tak mungkin ia akan tetap bertahan menutup mata membiarkan teriakan itu memecah lagi di telinga. Di buka perlahan kedua matanya yang belo.

"Jafar buruan ke mushola ditunggu Wak Haji noh".

Lemah ia mengangkat tubuhnya yang ceking. Dirasa kepalanya begitu berat seakan-akan baru saja ditimpa benda besar. Pusing. Pandangannya sedikit berbayang. Duduk sebentar ia di atas kasur lipatnya sebelum akhirnya meraih botol minuman dan meneguk airnya. 

Hampir lima bulan ini Jafar bertanggung jawab membersihkan mushola setiap hari Jumat. Dari kebersihan kamar mandi hingga ke ruang sholat. Jafar menggantikan seorang jamaah yang telah uzur yang telah dua tahun dipekerjakan Wak haji untuk membersihkan mushola setiap hari Jumat. 

Mushola yang dapat menampung jamaah sekitar dua puluh sampai dua puluh lima orang ini memang dikhususkan untuk para jamaah yang tinggal di dalam lapak. Mushola kecil ini hanya ramai dikunjungi bila hari Jumat. Barangkali karena setiap hari Jumat ada pemberian nasi kotak sumbangan dari para dermawan melalui Wak haji yang dikenal sebagai tokoh atau ustadz di kampung lapak tersebut. 

Diteguknya sekali lagi air di dalam botol plastik berwarna merah itu. Setelah dirasa badannya enakan ia pun segera berdiri. Sebentar ia rapikan tempatnya tidur. Di gulungnya sebuah kasur lipat tipis yang tak tentu warnanya berikut sebuah sarung yang telah pudar warnanya. Setelah selesai berkemas lelaki kurus itu bergegas turun disambarnya handuk kecil yang menggantung di dinding kayu. Jafar pergi ke wc umum. 

"Nah elu dah bangun tong, buruan tuh Wak haji dah nungguin elu."

"Iya, nek." sahut Jafar kepada seorang perempuan tua yang dikenal oleh orang-orang yang tinggal di sini sebagai penghuni lapak paling lama. Ia hidup seorang diri. Suaminya telah lama meninggal dan dua anak perempuannya entah kemana. Nenek Jamilah hidup dari belas kasih orang di sekitarnya.

*******

Ismail kecil memberanikan diri mengelus-elus kepala kambing yang paling besar yang berada di luar kandang. Tangannya yang mungil merasakan lembut bulu lebat kambing jantan tersebut. Belum ada pengunjung sepagi ini. Para pedagang hewan pun masih terlihat duduk mengantuk di selebaran terpal yang di atas tanah. Ismail tetap ingin menunggu kapan sapi yang paling besar itu datang.

"Kambing jangan nangis ya kalau nanti dipotong, kan dagingnya buat di bagi-bagikan ke orang-orang. Buat Ismail juga makan sama ayah, nanti kambing dapat pahala."

Yang diajak bicara diam saja tak bersuara. Tak juga mengembik hanya menggesek-gesekan kepalanya ke tangan mungil bocah kecil tersebut seperti mengerti apa yang telah dikatakan kepadanya. Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam kandang setelah sebelumnya terhalang oleh terpal panjang. Hewan-hewan bangun menyantap dedaunan. Para pedagang pun mulai membereskan terpal tidurnya. Namun sapi yang paling besar belum juga datang.

Tak berselang lama bunyi sirene terdengar dari kejauhan. Semakin lama semakin kencang bunyi sirene tersebut. Dua buah mobil damkar berlari secepat kilat ke arah timur melewati perempatan jalan. Semua kendaraan yang ada di perempatan jalan berhenti sesaat. Setelah mobil damkar selesai melewati perempatan jalan mobil truk pembawa sapi yang paling besar pun muncul dari arah yan berlawanan lalu berhenti di pinggir jalan. Dua orang lelaki turun dari dalam truk langsung menuju ke dalam kandang.

Akhirnya apa yang dinantikan Ismail datang juga seekor sapi jantan berukuran besar nampak di atas truck. Tanduknya besar, matanya besar menatap sekeliling. Badan sapi tersebut hampir sama dengan besarnya bak truk tersebut. Ismail tersenyum girang. Segera dihampirinya truk bermuatan sapi tersebut. Tak sabar ia ingin melihat sapi itu diturunkan.

Sementara di langit membumbung asap tebal berwarna hitam. Terus membesar dan membesar asap hitam tebal itu menutupi sebagian cahaya matahari.  Kembali suara sirene terdengar bersahut-sahutan. Tiga mobil damkar melesat begitu tak tertahankan. 

Supir truk yang mengangkut sapi tadi berkata kepada salah satu lelaki yang berjaga menunggu kandang.

"Saya lihat tadi di jalan ada kebakaran, sepertinya lapak barang bekas di sana itu yang kebakaran."

"Oo, lapak barang bekas dekat pinggir kali itu."

"Iya mungkin, terlihat apinya merah menyala berkobar-kobar dan terlihat orang-orang berhamburan dari dalam. Habis mesti tak tersisa lapak barang bekas itu."

"Dibakar kali, orang dengar-dengar tanah itu mau di beli kok mau dijadikan apartament."

"Entahlah. Mudah-mudahan tidak ada korban jiwa soalnya di sana banyak penghuninya."

Ismail belum beranjak dari tempat ia berdiri di depan truk besar itu menunggu muatannya di turunkan. Sementara asap tebal masih terus mengisi relung langit di pagi hari. Di bawahnya api merah menyala membara. Menyala merah semerah-merahnya. Menjilat-jilat. Berkobar terus berkobar melalap komplek lapak barang bekas hingga tak tersisa.

Handy Pranowo

13-Juli-2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun