Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Ismail

13 Juli 2024   22:44 Diperbarui: 13 Juli 2024   22:55 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tetapi kata orang ibu memang sengaja menabrakkan dirinya saat kereta lewat, apa itu benar ayah. Bukankah itu bunuh diri ayah?"

"Jangan dengar kata orang tentang bagaimana kematian ibumu nak. Dengarkan saja keinginanmu kelak bila besar nanti. Bukankah kamu ingin membuatkan nisan untuk kuburan ibumu?"

Lelaki kecil itu bungkam seribu bahasa. Dipeluk ayahnya erat-erat. Nanar matanya membias pada langit senja. Langit senja yang setia bagi mereka. Sahabat nan lembut bagi langkah kaki mereka di tengah ibu kota.

"Ayah tidak akan tinggalkan Ismail bukan?"

Tak ada jawaban. Angin pun diam. Di peluknya anak itu erat-erat. Langit senja membisu. Matahari redup membayang kelu di ujung cakrawala nan jauh. Sinarnya merah kemerah-merahan membayang sepanjang rel kereta api. Layang-layang menari-nari di atas langit bersama senja yang sebentar lagi menghilang. 

Tidak jauh dari tempat mereka duduk menikmati senja nampak stasiun kereta. Stasiun tua yang telah lama berdiri tegak. Stasiun itu tak banyak berbicara selain tangannya yang kerap mendekap kedatangan dan kepergian anak-anak manusia. Tidak ada yang abadi bukan di dunia.

Tidak lama berselang kedua lelaki itu di kejutkan oleh cahaya merah menyala hingga menyilaukan kedua mata mereka. Merah menyala bagai api entah darimana kemunculan cahaya tersebut. Merah yang begitu terang. Merah dan sangat merah hingga seolah-olah mereka tak pernah melihat warna merah sebelumnya di kehidupan nyata. Cahaya merah menyala itu menelan mereka seperti api membara.

*********
Sepanjang perjalanan menuju ke tempat penjualan hewan kurban Ismail sesekali teringat akan mimpinya. Mimpi itu pula yang membangunkannya dari tidur. Mimpi aneh yang tak bisa ia terjemahkan. Bocah lelaki itu terus berjalan dilupakan mimpinya perlahan-lahan. Sendal jepitnya yang tipis sesekali menggasruk kerikil di jalas aspal. Hari ini ia ingin melihat sapi yang paling besar datang. Sapi bertubuh besar yang mirip dengan pak Presiden beli untuk di kurbankan. Sementara ia terus berjalan diam-diam cahaya matahari yang baru saja lahir mengikutinya dari belakang.  

Jam 7.30 pagi. Di lapak barang bekas. Adonan tepung di pengorengan serta aroma wangi kopi lembut menyeruak menerobos ke dalam bangunan tempat tinggal Jafar. Ayam peliharaan telah lepas kandang dan berkeliaran. Matahari mengangkat badannya lebih tinggi seolah ia yang paling gagah dan perkasa di bumi. Burung-burung pipit berlompat-lompatan di tanah lembab. Beberapa lelaki terlihat duduk di bangku kayu di warung kopi. Merokok, terlihat ngobrol ngalor-ngidul, mengangkat kaki dan sesekali tertawa kecil mengejek nasib.

Jafar masih meringkuk di kamarnya yang sempit. Lelaki kurus itu masih mengantuk. Semalam ia bekerja keras membersihkan botol-botol plastik hingga larut malam. Meskipun begitu dirasa memang beberapa hari ini badannya sakit dan ngilu. Jafar berpikir mungkin ia masuk angin. Ah, sungguh angin keterlaluan tak mau mengerti keadaan dirinya yang miskin. Sesekali dong jangan masuk angin pikirnya. Seandainya angin bisa membaca nasib dirinya tentu ia tidak akan terombang-ambing di semesta kehidupan jalan raya.

"Jafar, Jafar. Bangun" suara teriakan memanggil dirinya dari luar hingga terdengar masuk ke dalam kamar. Begitu keras begitu sangar. Tak mungkin ia akan tetap bertahan menutup mata membiarkan teriakan itu memecah lagi di telinga. Di buka perlahan kedua matanya yang belo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun