Jakarta mengapung di sungai yang dangkal dengan lumpur dan beribu-ribu kuman.
Anak-anak kota bermain layangan di pinggir jalan, riangnya beradu dengan kebisingan.
Tanah lapang tidak bisa lagi terpakai sebab di sewakan untuk parkiran.
Dan semrawut kemacetan adalah pemandangan yang menyenangkan.
Hari-hari penuh dengan sumpah serapah, senyum manis untuk banjir dan tumpukan sampah.
Jalan raya penuh lubang, comberan-comberan mampet bersama pikiran.
Bau asap knalpot, bau amis got, bau bangkai tikus yang mati terlindas di tengah jalan.
Udara yang kotor ku hirup penuh bakteri, sejuk menyegarkan.Â
Pelan-pelan senja turun di pinggiran kota Jakarta nampak indah namun ragu-ragu untuk singgah.
Sedikit awan mendung berkelebat di antara wajahnya, layang-layang menutupi satu matanya.
Angin membawa harum keringat orang-orang yang pulang kerja.
Sepoi-sepoi membelai di antara ketiak, mereka terus bergerak sambil menyalin warna senja yang berarak.
Seketika senja melebarkan sayapnya, merah dan jingga.
Gerimis pelan-pelan turun membasahi wajah dan air mata.
Sejuta debu lenyap dan lumpuh di sergap air yang jatuh.
Di sejengkal jalan menuju pulang, pintu-pintu rumah menunggu di ketuk.
Lampu-lampu jalan mulai menyala, senja meredup di ujung semesta.
Kemacetan semakin luar biasa, rintik gerimis menyisa di ujung kabel listrik dan tiang lampu merah.
Anak-anak kembali datang dengan peci di kepala, layang-layangnya di taruh di teras rumah.
Begitu sederhana, begitu indahnya, senja yang turun di pinggiran kota Jakarta.
Handy Pranowo
18012022
Sore hari di jalan Daan Mogot.