Skandal Cuci Rapor SMPN 19 Depok
Oleh Handra Deddy Hasan
Dunia pendidikan Indonesia betul-betul sudah sakit parah. Tidak ada lagi batas norma halal dan haram, boleh dan tidak boleh, beretika atau tidak beretika. Sehingga segala cara menjadi halal kalau berhadapan dengan tujuan.Â
Akhir-akhir ini heboh di media SMPN 19 Kota Depok mengaku bersalah dalam kasus pemalsuan rapor puluhan siswanya. Modus ini dinamakan sebagai aksi Cuci Rapor. Modus haram ini dilakukan dengan cara merubah nilai rapor  menjadi lebih tinggi dari nilai sebenarnya. Tujuannya adalah agar siswa yang dicuci rapornya bisa diterima di SMA favorite melalui jalur prestasi.
Tim Pengawas penerimaan peserta didik baru (PPDB) menemukan modus Cuci Rapor di Bandung dan Sumedang yaitu siswa mengubah sendiri angka rapornya. Adapun di kota Depok pihak sekolahnya sendiri yang melakukannya (Kompas, Kamis 18/7/2024).
Akibatnya dalam kasus ini, Dinas Pendidikan Jawa Barat (Jabar) telah membatalkan penerimaan 51 calon peserta didik (CPD) di sejumlah SMAN Kota Depok pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahap kedua melalui jalur prestasi.
Pemalsuan hasil rapor siswa dengan tujuan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah favorit melalui jalur prestasi merupakan perbuatan yang merugikan dan merusak dunia pendidikan. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar etika, tetapi juga merusak integritas sistem pendidikan. Dengan adanya aksi Cuci Rapor merupakan contoh pelajaran yang tidak layak menjadi contoh bagi Generasi muda, karena berbuat curang merupakan mental bibit korupsi.
Aksi cuci rapor merupakan bentuk tindakan pemalsuan hasil rapor yang memberikan kesan palsu tentang kemampuan sebenarnya dari siswa. Semua hal palsu akhirnya akan bermasalah. Walaupun misalnya berhasil masuk berdasarkan nilai hasil Rapor palsu, bukan berarti siswa tersebut akan lancar menyelesaikan studinya. Bisa saja siswa tersebut ini akan kesulitan belajar di tingkat yang lebih tinggi karena kekurangan pengetahuan dan keterampilan yang seharusnya dimiliki.
Terkuaknya aksi Cuci Rapor akan membuat masyarakat kawatir tentang pendidikan di sekolah. Tindakan pemalsuan akan merusak reputasi sekolah dan masyarakat akan meragukan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anak  Hal ini dapat berdampak negatif pada citra sekolah dan membuat orang kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pendidikan.
Secara praktis, penerimaan siswa berdasarkan hasil yang dipalsukan menghalangi  kesempatan dari siswa lain yang sebenarnya berprestasi dan berhak mendapat tempat di sekolah favorit tersebut. Sehingga pemalsuan Rapor Sekolah akan merugikan masyarakat, khususnya akan merugikan siswa lain yang jujur yang seharusnya berhak, tapi terhalangi oleh siswa yang memalsukan rapornya.
Secara keseluruhan dan jangka panjang pemalsuan rapor merupakan contoh aksi yang merugikan bangsa Indonesia. Pemalsuan hasil rapor menciptakan budaya ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Hal ini merusak nilai-nilai moral yang seharusnya diperjuangkan dalam proses pendidikan. Dari masa pendidikan siswa telah diajarkan dan disemaikan dengan bibit korupsi. Hal yang lebih parah, hal ini bukan dilakukan oleh orang perorangan yang biasanya disebut sebagai oknum, namun dilakukan secara sistemik oleh entitas sekolah yang nota bene merupakan Lembaga pendidikan resmi.
Sudah seharusnya secara ideal semua pihak terutama stake holder pendidikan yaitu orangtua, guru, sekolah dan siswa sendiri untuk memahami bahwa kejujuran dan kerja keras adalah kunci keberhasilan dalam pendidikan. Pendidikan yang berkualitas membutuhkan integritas dan komitmen untuk belajar dengan sungguh-sungguh, bukan dengan jalan pintas yang tidak etis seperti pemalsuan hasil rapor.
Semoga skandal ini merupakan satu-satunya terjadi di Indonesia. Tidak bisa dibayangkan, apabila ternyata modus ini sebenarnya telah umum dan masif terjadi dimana-mana. Kalau memang terjadi demikian, berarti dunia pendidikan Indonesia telah menjadi pabrik mental korupsi, sehingga dalam waktu mendatang tidak aneh apabila masalah korupsi di Indonesia makin merebak dan merajalela. Angan-angan Indonesia akan menuai masa keemasan pada tahun 2045 akan semakin sirna.
Masalahnya menurut Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji meyakini banyak kasus yang serupa terjadi di Indonesia. Berdasarkan laporan pengaduan dan pemantauan JPPI per tanggal 20 Juni 2024, terkumpul sebanyak 162 kasus diantaranya terdapat kasus Cuci Rapor di jalur prestasi sebesar 42 % (Kompas, Kamis 18/7/2024).
Pemalsuan Rapor Merupakan Kejahatan Tindak Pidana
Nampaknya belum semua pihak menyadari besarnya dampak skandal Cuci Rapor. Sampai saat ini pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Inspektorat Jenderal (Irjen) masih mempelajari kasus ini dengan berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan.
Pihak sekolah mengakui dan menjawab dengan enteng dengan mengatakan akan bertanggung jawab dan siap menerima segala resiko, seolah-olah aksi ini hanya masalah administratif dan merupakan hal sepele.
Langkah Irjen Kemendikbudristek dan Kejaksaan terlihat aneh, karena aksi Cuci Rapor nyata-nyata merupakan tindak pidana. Selain itu pidananya merupakan delik biasa dan bukan merupakan delik aduan.
Melihat sudah begitu viralnya kasus ini di media, sudah seharusnya pihak Kepolisian turun tangan untuk menyelidiki dan menyidiknya, karena ini bukan delik aduan.
Dalam skandal ini Irjen Kemendikbudristek bukan merupakan penyidik dan Jaksa hanya merupakan Penuntut dalam kasus delik biasa. Jadi pihak yang paling tepat untuk menyelidiki dan menyidiknya adalah pihak Kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kewenangan Penyidik tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang antara lain menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana dan melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian dan atau melakukan penyelidikan dan penyidikan
Pemalsuan Rapor dapat dikatagorikan merupakan tindak pidana pemalsuan surat dimana merupakan kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang tampak dari luar seolah-olah benar adanya, tetapi sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
Rapor sebagai bentuk bukti tertulis, termasuk kedalam unsur materi surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kemudian Rapor yang merupakan surat juga menimbulkan hak. Dengan adanya Rapor SMP maka seorang siswa berhak melanjutkan pendidikannya dari jenjang lebih tinggi SMA. Hal tersebut merupakan bukti bagi siswa SMP untuk bisa melanjutkan pendidikannya.
Sehingga lengkaplah unsur surat yang dimaksud dalam Pasal 263 KUHP, karena surat Rapor tersebut menimbulkan hak bagi pemegangnya.
Kemudian yang dimaksud dengan perbuatan memalsukan surat dalam Pasal 283 KUHP diantaranya adalah adanya perbuatan mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Modus mengubah dalam praktik, biasanya dilakukan bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau mengubah sesuatu dari surat itu.Â
Dalam skandal cuci rapor SMPN 19 Kota Depok, pihak sekolah telah mengubah nilai siswanya dengan cara menaikkan nilai dari nilai angka Rapor yang sebenarnya. Sehingga demikian unsur merubah surat dan perbuatan pemalsuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 KUHP terpenuhi secara sempurna.
Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas juga terpenuhi.
Misalnya tujuan menyuci rapor harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan. Dalam skandal Cuci Rapor tujuannya jelas agar siswa yang tidak memenuhi syarat melalui jalur prestasi menjadi memenuhi syarat dan diterima di SMA tujuan. Pihak sekolah SMPN 19 Kota Depok jelas-jelas bermaksud agar siswanya menggunakan Rapor yang telah dipalsukan untuk mendaftar melalui jalur prestasi di SMA favorite yang seharusnya tidak akan bisa seandainya menggunakan Rapor nilai asli.
Kemudian Pasal 263 KUHP mensyaratkan adanya unsur kerugian. Dalam yurisprudensi yang telah dibuat oleh Mahkamah Agung bahwa unsur kerugian tidak harus terjadi, tapi potensi adanya kerugian dianggap telah memenuhi unsur kerugian. Kata "dapat" maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup.
Lebih jauh yurisprudensi mengatur bahwa kerugian tidak terbatas kepada kerugian materil (financial). Kerugian dapat berupa kerugian terhadap kepentingan masyarakat. Dalam kasus skandal Cuci Rapor nyata terang benderang masyarakat secara umum dirugikan. Khususnya siswa jujur yang seharusnya mempunyai hak di SMA tersebut melalui jalur prestasi kehilangan hak karena adanya perbuatan curang dari siswa yang rapornya dicuci.
Dengan gamblangnya secara teori dalam kasus skandal Cuci Rapor memenuhi Pasal 263 KUHP. seharusnya tidak ada alasan lagi bagi pihak Kepolisian untuk diam dan tidak bertindak menyelidiki dan menyidik kasus.
Lebih jauh pihak Kepolisian selain memanggil pelaku juga mempunyai hak secara hukum melakukan penahanan terhadap tersangka.
Seseorang bisa ditahan bila diduga melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya 5 tahun atau lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP.
Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, mengancam pelakunya dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.
Sedangkan pelaku yang dimaksud dalam Pasal 263 KUHP adalah siapa saja yang melakukan Pencucian Rapor SMPN 19 Kota Depok tersebut. Bisa saja pihak guru, wali kelas termasuk Kepala sekolah. Walaupun yang melakukan senyatanya adalah hanya pihak guru misalnya, wali kelas dan atau pihak Kepala sekolah bisa dikatagorikan sebagai pelaku berdasarkan Pasal 55 KUHP atau dikenal dengan Pasal turut serta
Yang dimaksud dengan "turut serta melakukan tindak pidana" adalah mereka yang bekerja sama secara sadar dan bersama-sama secara fisik melakukan tindak pidana. Untuk memastikan apakah seseorang turut serta akan ditentukan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan ( BAP) para tersangka.
Bentuk-bentuk nyata dari turut serta misalnya walaupun tidak melakukan perbuatannya, tapi menyuruh melakukan atau memberikan kesempatan, sarana diantaranya termasuk dalam katagori turut serta.
Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP yang dimaksud pelaku yang bisa dijerat dengan ancaman pidana penjara, selain pelaku pemalsuan, pihak yang sengaja memakai surat palsu juga dikenakan dengan pidana yang sama.
Artinya siswa yang menggunakan Rapor hasil Cuci Rapor dan orang tuanya juga terancam dengan Pasal 263 ayat (2) juncto Pasal 55 KUHP.
Jadi pihak siswa Cuci Rapor dan orang tuanya tidak bisa melenggang dan berlagak bego dalam kasus skandal Cuci Rapor karena nyata-nyata terancam juga dalam pasal-pasal pidana.
Semoga bagi pihak yang terlibat dalam praktik Cuci Rapor (guru, sekolah, siswa dan orang tua) bisa mengambil hikmah dan belajar dari kasus ini.
Semoga ada kesadaran pemahaman bergunanya menjaga integritas dan etika dalam segala hal yang kita lakukan. Melakukan Cuci Rapor rapor adalah tindakan tidak jujur dan merugikan orang lain.
Sudah selayaknya proses belajar dalam dunia pendidikan dilihat sebagai sarana untuk belajar dan berkembang, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui pendidikan, seseorang dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berguna untuk masa depannya.
Setiap orang seharusnya memiliki kesempatan yang adil untuk meraih kesuksesan tanpa harus melakukan tindakan curang. Aksi menyuci rapor hanya akan merugikan orang lain yang berusaha dengan jujur.
Semoga masyarakat juga  untuk menyadari bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Memalsukan nilai rapor bukanlah solusi jangka panjang dan dapat berdampak negatif pada reputasi bangsa secara keseluruhan dan sekaligus juga merupakan tindak pidana dengan sanksi masuk penjara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H