Secara keseluruhan dan jangka panjang pemalsuan rapor merupakan contoh aksi yang merugikan bangsa Indonesia. Pemalsuan hasil rapor menciptakan budaya ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Hal ini merusak nilai-nilai moral yang seharusnya diperjuangkan dalam proses pendidikan. Dari masa pendidikan siswa telah diajarkan dan disemaikan dengan bibit korupsi. Hal yang lebih parah, hal ini bukan dilakukan oleh orang perorangan yang biasanya disebut sebagai oknum, namun dilakukan secara sistemik oleh entitas sekolah yang nota bene merupakan Lembaga pendidikan resmi.
Sudah seharusnya secara ideal semua pihak terutama stake holder pendidikan yaitu orangtua, guru, sekolah dan siswa sendiri untuk memahami bahwa kejujuran dan kerja keras adalah kunci keberhasilan dalam pendidikan. Pendidikan yang berkualitas membutuhkan integritas dan komitmen untuk belajar dengan sungguh-sungguh, bukan dengan jalan pintas yang tidak etis seperti pemalsuan hasil rapor.
Semoga skandal ini merupakan satu-satunya terjadi di Indonesia. Tidak bisa dibayangkan, apabila ternyata modus ini sebenarnya telah umum dan masif terjadi dimana-mana. Kalau memang terjadi demikian, berarti dunia pendidikan Indonesia telah menjadi pabrik mental korupsi, sehingga dalam waktu mendatang tidak aneh apabila masalah korupsi di Indonesia makin merebak dan merajalela. Angan-angan Indonesia akan menuai masa keemasan pada tahun 2045 akan semakin sirna.
Masalahnya menurut Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji meyakini banyak kasus yang serupa terjadi di Indonesia. Berdasarkan laporan pengaduan dan pemantauan JPPI per tanggal 20 Juni 2024, terkumpul sebanyak 162 kasus diantaranya terdapat kasus Cuci Rapor di jalur prestasi sebesar 42 % (Kompas, Kamis 18/7/2024).
Pemalsuan Rapor Merupakan Kejahatan Tindak Pidana
Nampaknya belum semua pihak menyadari besarnya dampak skandal Cuci Rapor. Sampai saat ini pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Inspektorat Jenderal (Irjen) masih mempelajari kasus ini dengan berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan.
Pihak sekolah mengakui dan menjawab dengan enteng dengan mengatakan akan bertanggung jawab dan siap menerima segala resiko, seolah-olah aksi ini hanya masalah administratif dan merupakan hal sepele.
Langkah Irjen Kemendikbudristek dan Kejaksaan terlihat aneh, karena aksi Cuci Rapor nyata-nyata merupakan tindak pidana. Selain itu pidananya merupakan delik biasa dan bukan merupakan delik aduan.
Melihat sudah begitu viralnya kasus ini di media, sudah seharusnya pihak Kepolisian turun tangan untuk menyelidiki dan menyidiknya, karena ini bukan delik aduan.
Dalam skandal ini Irjen Kemendikbudristek bukan merupakan penyidik dan Jaksa hanya merupakan Penuntut dalam kasus delik biasa. Jadi pihak yang paling tepat untuk menyelidiki dan menyidiknya adalah pihak Kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kewenangan Penyidik tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang antara lain menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana dan melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian dan atau melakukan penyelidikan dan penyidikan
Pemalsuan Rapor dapat dikatagorikan merupakan tindak pidana pemalsuan surat dimana merupakan kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang tampak dari luar seolah-olah benar adanya, tetapi sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.