Sebagaimana diberitakan pihak Pegi Setiawan dan pengacaranya akan melanjutkan upaya hukum dengan akan menggugat praperadilan untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas nasib yang dideritanya.
Jika seorang tersangka yang perkara pidananya dihentikan di tingkat penyidikan atau penuntutan, maka tersangka dapat memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya akibat tindakan yang tidak sah tersebut. Ganti rugi tersebut dapat mencakup kerugian materiil maupun imateriil yang diderita oleh tersangka.
Selain itu, jika dalam proses praperadilan terbukti bahwa proses hukum terhadap tersangka dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan karena tidak cukup bukti atau alasan lain, tersangka juga dapat meminta rehabilitasi. Rehabilitasi dalam konteks ini adalah upaya untuk mengembalikan nama baik tersangka yang mungkin telah tercemar selama proses hukum berlangsung.
Kedua hal ini, yaitu ganti rugi dan rehabilitasi bagi tersangka, merupakan bagian dari upaya menjaga keadilan dan hak asasi individu dalam proses hukum.
Permasalahan yang ada bagi Pegi saat ini untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi adalah, apakah perkaranya betul-betul telah dihentikan oleh pihak Kepolisian.
Sebagaimana kita ketahui bahwa penghentian perkara Pegi bukan berasal dari inisiatif pihak Kepolisian karena tidak cukupnya bukti. Penghentian perkara Pegi berdasarkan putusan praperadilan yang diputuskan oleh Hakim tunggal Pengadilan Negeri Bandung. Berbeda misalnya apabila dalam perkara Pegi dihentikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP dengan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 oleh Kepolisian, karena tidak cukupnya bukti.
Sedangkan dalam penghentian perkara karena putusan praperadilan, pihak Kepolisian tetap berkeyakinan mempunyai bukti yang cukup, sehingga dibutuhkan ikut campur tangan Hakim untuk memeriksa dan mempertimbangkan agar bisa membuat Keputusan untuk menyatakan penangkapan dan penetapan tersangka Pegi dinyatakan tidak sah.
Berdasarkan hal tersebut unsur praperadilan "perkara pidananya dihentikan" guna menuntut ganti rugi dan rehabilitasi dalam kasus Pegi Setiawan masih ngambang. Dalam penyidikan lanjutan bisa saja pihak Kepolisian kembali membidik Pegi Setiawan sebagai tersangka pelaku pembunuhan, pemerkosaan Vina dan Eky.
Namun bisa juga penyidikan pada tahun 2016 merupakan Peradilan Sesat yang hanya berdasarkan rekayasa belaka, sehingga penyidikan baru akan mengungkapkan ada tersangka baru sama sekali dan tidak ada kaitannya dengan Pegi Setiawan.
Jadi dengan demikian, menurut hemat penulis, pihak Pegi Setiawan dan pengacaranya sebaiknya jangan terburu-buru untuk mengajukan praperadilan ganti rugi dan rehabilitasi, sebelum memastikan bahwa memang perkaranya betul-betul telah dihentikan oleh pihak Kepolisian.
Peninjauan Kembali.
Putusan praperadilan perkara Pegi Setiawan tidak hanya mempunyai dampak sebatas kepada dirinya saja, namun juga membuat terpidana yang sudah dihukum bereaksi.