Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (PP 21/2024).
Pemerintah terhitung sejak tanggal 20 Mei 2024 Â telah menetapkan perubahan tentang aturanSalah satu pertimbangan untuk merubah PP sebagaimana tercantum dalam konsiderannya adalah untuk meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera.
Dengan adanya PP 21/2024 akan terjadi akumulasi pengumpulan dana dari pekerja Indonesia secara masif termasuk orang asing pemegang visa kerja di Indonesia.
Pihak yang berhak melaksanakan Tapera secara sah sejak berlakunya PP 21/2024 dan nantinya merupakan satu-satunya adalah Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang merupakan Badan Hukum.
Akibatnya aktivitas Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil yang dikelola oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil harus dialihkan kepada BP Tapera.
Dapat diperkirakan pengumpulan dana sebagai simpanan peserta yang akan dilakukan BP Tapera nantinya akan terakumulasi dalam jumlah jumbo besar.
Bayangkan saja potensi anggotanya dimana saat ini saja diperkirakan ada 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta) pekerja Indonesia. Angka tersebut belum termasuk orang asing yang mempunyai visa kerja di Indonesia.
Sukses atau tidaknya program Tapera tergantung kepada jumlah peserta yang nantinya berpartisipasi.
Makin masif dan makin banyak pekerja yang menjadi peserta, maka makin leluasa BP Tapera membuat kebijakan yang berdampak signifikan bagi peserta.
Agar tercapai tujuan jumlah peserta, tidak tertutup kemungkinan dalam pelaksanaannya ada "unsur paksaan" terselubung agar semua pekerja harus menjadi peserta.
Modus yang sama telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menarik masyarakat menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Saat ini dalam beberapa transaksi penting seperti jual beli tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak akan melaksanakan transaksi jual beli tanpa para pihak melampirkan bukti telah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Begitu juga setiap masyarakat yang akan mengakses bantuan Pemerintah ada syarat harus terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Sehingga masyarakat mau tidak mau saat ini terpaksa menjadi peserta BPJS Kesehatan agar hidupnya nyaman dan kegiatannya tidak terkendala.
Sudah dapat diduga bahwa nanti dalam pelaksanaannya Pemerintah akan meniru modus BPJS Kesehatan untuk menarik anggota peserta Tapera.
Akuntabilitas pengelolaan dana Tapera, membutuhkan mekanisme yang serius dan hati-hati.
Belajar dari kasus-kasus pengumpulan dana besar seperti dana pensiun, atau asuransi Jiwasraya, kasus Perusahaan Umum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung bermasalah dengan akuntabilitas pengelolaan dananya.
BPJS Kesehatan yang saat ini sangat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dan dianggap berhasil, tidak steril dari juga dari fraud dalam pengelolaannya.
Dalam laporan investigasi harian Kompas pernah diungkap tentang adanya permainan kotor penggunaan dana BPJS Kesehatan oleh oknum yang melibatkan internal BPJS dan Rumah Sakit.
Salah satu metode agar akuntabilitas tercapai, maka berdasarkan PP 21/2024 dibuatlah responsibility sharing. Untuk mengelola Dana Tapera, BP Tapera tidak sendirian tetapi akan menggandeng beberapa entity professional. Di antaranya adalah Perusahaan Pembiayaan, Bank Kustudian dan Manajer Investasi.
Masing-masing entity tersebut bertanggung jawab sesuai dengan kualifikasinya akan mengelola Dana Tapera agar efektif dan akuntabel serta melaporkan pertanggungan jawabnya kepada BP Tapera.
Responsibility sharing dalam pengelolaan dana Tapera akan berhasil apabila pihak-pihak yang ditunjuk memang professional dan mempunyai reputasi yang baik serta diatur dalam suatu kontrak yang detil dan jelas.
Kalau tidak, bukannya efektif dan akuntabel yang diperoleh, terjadi tumpang tindih tugas dan kewajiban, sehingga masing-masing pihak saling menyalahkan dalam bekerja.
Integritas dari masing-masing entity profesional yang ditunjuk sangat menentukan efektifitas program agar tidak terjadi kebocoran disana-sini.
Tujuan akhir dari PP 21/2024 secara ideal adalah penyediaan kebutuhan tempat tinggal  (rumah) bagi masyarakat secara inklusif dan terjangkau.
Semua orang setuju dan paham bahwa kebutuhan akan tempat tinggal yang layak merupakan hak dasar bagi setiap individu, termasuk bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pangkat rendah dan karyawan swasta dengan penghasilan rendah.
Rumah yang layak memberikan rasa aman bagi seseorang dan keluarganya. Rasa aman tersebut penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan fisik dan mental anggota keluarga.
Selain itu rumah yang layak memberikan tempat bagi keluarga untuk berkumpul, beristirahat, dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan nyaman.
Khusus bagi Karyawan, termasuk PNS dan karyawan swasta, memerlukan tempat tinggal yang nyaman dan kondusif untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran.
Akhirnya secara tidak langsung rumah yang layak dapat memberikan kondisi yang mendukung produktivitas kerja.
Keuntungan lain dengan memiliki rumah sendiri merupakan investasi jangka panjang yang dapat meningkatkan kestabilan finansial dan keamanan keluarga di masa depan.
Permasalahan Simpanan Peserta Dana Tapera Dipotong Dari Gaji.
Sebagaimana kita ketahui kondisi gaji yang diterima oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Indonesia maupun pegawai swasta senyatanya tidak pernah diterima secara utuh karena adanya berbagai potongan yang dilakukan.
Pemotongan dimulai dari pajak berupa potongan pajak penghasilan (PPh). Salah satu sasaran penerimaan negara adalah pajak penghasilan dari PNS maupun pegawai swasta. Potongan pajak ini biasanya sudah dipotong langsung oleh pemberi kerja sebelum gaji diterima oleh karyawan.
Kemudian kalau tidak ditanggung oleh Pemberi Kerja ada lagi potongan BPJS Kesehatan/Tenaga Kerja. Kedua BPJS tersebut berlaku wajib bagi pekerja.
Nominal potongan untuk pajak dan BPJS masih relatif kecil dan biasanya tidak berhenti sampai disana karena biasanya karyawan juga meminjam kepada perusahaan dan atau Koperasi Perusahaan.
Pinjaman tersebut digunakan untuk down payment (DP)Â pinjaman seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan atau Kredit Pemilikan Kendaraan (KPK), atau pinjaman lainnya.
Potongan gaji makin berlanjut karena untuk cicilan pinjaman tersebut juga biasanya dilakukan dari gaji karyawan.
Ada juga potongan lain seperti potongan untuk dana pensiun, asuransi kesehatan tambahan, dan potongan lainnya sesuai dengan kebijakan perusahaan atau instansi tempat karyawan bekerja.
Sehingga yang benar-benar diterima oleh karyawan (take home pay) setelah semua potongan tersebut adalah sisanya yang kadang-kadang nominalnya tidak bisa lagi menopang kehidupan. Permasalahan besaran gaji di Indonesia adalah topik yang sensitif dan kompleks.
Meskipun pemerintah menetapkan upah minimum regional (UMR) setiap tahun, upah minimum seringkali masih di bawah standar kebutuhan hidup layak, terutama di kota-kota besar di Indonesia.
Begitu juga PNS, walaupun ada kenaikan gaji atau penerimaan gaji ke 13, tetap saja besarannya tidak bisa menutupi hidup sehari-hari.
Sudah merupakan berita biasa, dimana ibu-ibu rumah tangga menjerit karena mahalnya harga barang-barang sehari-hari.
Kehebohan itu makin menjadi ketika memasuki hari-hari besar Nasional seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru karena tanpa sebab, tiba-tiba harga bahan pokok melambung tidak terkendali.
Kenaikan harga barang-barang konsumsi otomatis akan mengakibatkan penurunan daya beli, karena sumber pembiayaan dari gaji.
Kenaikan gaji tidak sejalan dan tidak selaras dengan tingkat inflasi, maka akibatnya akan timbul penurunan daya beli. Nominal gaji yang telah kecil, dipotong sana sini kemudian masih tergerus nilainya karena inflasi.
Sementara gaji yang rendah identik dengan kurangnya keterampilan dan pendidikan yang dibutuhkan dalam pasar kerja.
Pekerja dengan skill dan edukasi yang lebih tinggi cenderung mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Padahal tenaga kerja yang tersedia di Indonesia karena bonus demografi, Â prosentase terbesar diisi oleh tenaga kerja dengan ketrampilan dan pendidikan rendah.
Dalam kehidupan yang kembang kempis demikian, sekarang muncul potensi, gaji akan dipotong lagi untuk menjadi peserta Tapera.
Dengan ikut sertanya jadi peserta Tapera maka gaji akan dipotong lagi sebesar 3 % dari gaji atau lebih tepatnya sebesar 2,5 % dari gaji, karena beban 0,5% merupakan beban Pemberi Kerja.
Pemerintah apakah telah memikirkan, sejauh mana kelenturan struktur gaji pegawai rendahan untuk bisa tahan dipotong lagi sebesar 2,5% untuk simpanan sebagai peserta Tapera.
Mungkin dalam aturan pelaksaan PP 21/2024 perlu diatur mekanisme yang memberikan ruang bagi pegawai yang pas-pasan (dirumuskan kriterianya) untuk tetap berpartisipasi dalam program Tapera tanpa harus memotong gaji.
Mungkin sekedar analogi, BP Tapera perlu belajar kepada BPJS Kesehatan, dimana peserta BPJS Kesehatan yang memenuhi kualifikasi tertentu bebas alias gratis membayar iuran.
Memang secara prinsip ada perbedaan kepesertaan antara Tapera dan BPJS Kesehatan, dimana Tapera berupa simpanan dan BPJS Kesehatan berupa iuran, makanya digunakan analogi.
Intinya bagaimana supaya peserta Tapera dengan kualifikasi tertentu tidak perlu lagi gajinya dipotong untuk simpanan. Bisa saja dengan sistim subsidi silang atau subsidi Pemerintah dan lain-lain.
Agar program Tapera berhasil memang dibutuhkan aturan-aturan pelaksana yang sifatnya memudahkan dan berpihak ke rakyat kecil.
Misalnya bagi karyawan dan PNS dengan kualifikasi tertentu yang saat ini telah membeli rumah dengan cara mencicil dengan pembiayaan dari Bank Komersil diberi kemudahan untuk mengalihkan pinjamannya kepada BP Tapera.
Itupun dengan asumsi bahwa pengadaan rumah oleh BP Tapera bagi masyarakat memang lebih mudah, murah, hemat, berkualitas dibandingkan dengan pengadaan rumah secara komersial sebagaimana yang ada saat ini.
Apabila nanti dari turunan aturan pelaksanaan PP 21/2024 ternyata lahir aturan kreatif yang memihak kepada wong cilik, maka BP Tapera bisa menyaingi bahkan mengalahkan popularitas BPJS Kesehatan.
Apabila hal tersebut terjadi dan menjadi kenyataan, maka dua kebutuhan pokok rakyat Indonesia yaitu kesehatan dan tempat tinggal (rumah) terpenuhi dan bisa dijadikan landasan untuk menatap Indonesia emas pada tahun 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H