Kenaikan harga barang-barang konsumsi otomatis akan mengakibatkan penurunan daya beli, karena sumber pembiayaan dari gaji.
Kenaikan gaji tidak sejalan dan tidak selaras dengan tingkat inflasi, maka akibatnya akan timbul penurunan daya beli. Nominal gaji yang telah kecil, dipotong sana sini kemudian masih tergerus nilainya karena inflasi.
Sementara gaji yang rendah identik dengan kurangnya keterampilan dan pendidikan yang dibutuhkan dalam pasar kerja.
Pekerja dengan skill dan edukasi yang lebih tinggi cenderung mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Padahal tenaga kerja yang tersedia di Indonesia karena bonus demografi, Â prosentase terbesar diisi oleh tenaga kerja dengan ketrampilan dan pendidikan rendah.
Dalam kehidupan yang kembang kempis demikian, sekarang muncul potensi, gaji akan dipotong lagi untuk menjadi peserta Tapera.
Dengan ikut sertanya jadi peserta Tapera maka gaji akan dipotong lagi sebesar 3 % dari gaji atau lebih tepatnya sebesar 2,5 % dari gaji, karena beban 0,5% merupakan beban Pemberi Kerja.
Pemerintah apakah telah memikirkan, sejauh mana kelenturan struktur gaji pegawai rendahan untuk bisa tahan dipotong lagi sebesar 2,5% untuk simpanan sebagai peserta Tapera.
Mungkin dalam aturan pelaksaan PP 21/2024 perlu diatur mekanisme yang memberikan ruang bagi pegawai yang pas-pasan (dirumuskan kriterianya) untuk tetap berpartisipasi dalam program Tapera tanpa harus memotong gaji.
Mungkin sekedar analogi, BP Tapera perlu belajar kepada BPJS Kesehatan, dimana peserta BPJS Kesehatan yang memenuhi kualifikasi tertentu bebas alias gratis membayar iuran.
Memang secara prinsip ada perbedaan kepesertaan antara Tapera dan BPJS Kesehatan, dimana Tapera berupa simpanan dan BPJS Kesehatan berupa iuran, makanya digunakan analogi.
Intinya bagaimana supaya peserta Tapera dengan kualifikasi tertentu tidak perlu lagi gajinya dipotong untuk simpanan. Bisa saja dengan sistim subsidi silang atau subsidi Pemerintah dan lain-lain.