Kecurigaan Atas Kasus Bunuh Diri Brigadir RAT
Oleh Handra Deddy Hasan
Satu lagi kasus mencurigakan, dimana polisi bunuh diri. Kali ini ketika Brigadir Ridhal Ali Tomi (Brigadir RAT)Â ditemukan tewas dengan luka tembak di dalam mobil Toyota Alphard di kawasan Mampang, Jakarta Selatan pada Kamis malam 25 April 2024.
Menurut pihak Kepolisian  kasus kematian Brigadir RAT murni merupakan tindakan bunuh diri dan tidak ditemukan unsur pidana.
Berdasarkan keterangan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro kasus kematian Brigadir RATÂ diduga almarhum menembak kepalanya sendiri dengan menggunakan senjata api (senpi).
Kesimpulan demikian, berdasarkan keterangan para saksi dan didukung barang bukti serta hasil pemeriksaan yang dilakukan secara komprehensif.
Oleh karena kesimpulan bahwa tidak ada tindak pidana atas peristiwa bunuh diri Brigadir RAT, maka pihak Kepolisian tidak memerlukan hasil otopsi atas jenazah Brigadir RAT.
Pihak keluargapun keberatan untuk melakukan otopsi, tanpa menyebutkan apa alasannya, padahal pihak keluarga tidak percaya bahwa Brigadir RAT bunuh diri. Seharusnya dengan adanya kecurigaan, maka pihak keluarga justru harus mengambil inisiatif untuk melakukan otopsi.
Sebetulnya kecurigaan pihak keluarga cukup beralasan juga karena pemberitaan dan informasi tentang kasus bunuh diri Brigadir RAT memang cukup controversial.
Dimulai dengan keberadaan almarhum Brigadir RAT di Jakarta yang katanya ada penugasan, kemudian dibantah oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Utara (Polda Sulut) bahwa almarhum sedang menjalani cuti.
Informasi bantahan dari Polda Sulut keluar setelah turun tangannya Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Sulut) memeriksa Kapolresta Manado Kombes Julianto P Sirait sebagai saksi dan atasan almarhum.
Aturan tentang membawa senjata api ketika seorang petugas cuti juga menyebabkan polemik di tengah masyarakat.
Ada juga informasi yang beredar di media bahwa almarhum sedang melakukan pengawalan terhadap suatu keluarga.Â
Diduga almarhum Brigadir RAT merupakan body guard suatu keluarga kaya pemilik tambang yang berdomsili di Jakarta.
Informasi menjadi semakin liar dengan menyatakan atas hasil pekerjaan sampingnya sebagai body guard juga dibagi dengan Kapolresta Manado.
Berita inipun dibantah  secara langsung bahwa Kapolresta Manado tidak mengetahui bahwa almarhum Brigadir RAT mempunyai pekerjaan sampingan dan tidak pernah menerima apapun dari almarhum.
Pentingnya Otopsi Untuk Kematian Yang Mencurigakan.
Otopsi (bedah mayat) merupakan alat bukti yang masuk teterangan ahli dalam suatu peristiwa pidana melalui tindakan ahli dengan melakukan pemeriksaan medis yang dilakukan pada mayat untuk menentukan penyebab kematian seseorang.
Sehingga dengan demikian otopsi dapat memberikan informasi penting kepada pihak penyidik, Jaksa atau Hakim untuk menentukan apakah kematian seseorang merupakan hasil dari kejadian alami, kecelakaan, atau merupakan suatu tindak pidana.
Khusus dalam kasus-kasus kematian yang mencurigakan, otopsi dapat memberikan manfaat, diantaranya dalam penentuan penyebab kematian yang sebenarnya.
Penentuann penyebab kematian sangatlah penting untuk memastikan bahwa tidak ada kejahatan terkait kematian tersebut.
Kecurigaan pihak keluarga Brigadir RAT, harus dijawab dengan tindakan otopsi. Selayaknya melakukan otopsi merupakan langkah yang tepat untuk memberikan penjelasan kepada keluarga atau pihak terkait mengenai penyebab kematian yang sebenarnya.
Dilakukannya tindakan otopsi dapat membantu menghilangkan keraguan atau spekulasi yang mungkin timbul.
Namun anomalinya dalam kasus Brigadir RAT , justru pihak keluarga keberatan untuk dilakukan otopsi terhadap jenazah.
Kita tidak mempunyai informasi yang cukup, kenapa pihak keluarga keberatan melakukan otopsi.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Pihak Kepolisian berdasarkan release resminya menyebutkan bahwa kematian Brigadir RAT semata-mata bunuh diri dan tidak ditemukannya unsur tindak pidana.
Sebenarnya otopsi dapat membantu mengumpulkan bukti fisik yang dapat digunakan dalam penyelidikan lebih lanjut, apabila memang ada kecurigaan atas suatu kematian karena diduga tidak wajar.
Sehingga informasi yang diperoleh dari otopsi dapat membantu apakah kematian Brigadir RAT benar-benar bunuh diri atau dibunuh.
Dengan adanya otopsi dan apabila ada unsur tindak pidana dimana Brigadir RAT ternyata dibunuh akan bisa mengidentifikasi pelaku.
Walaupun pihak Kepolisian telah melakukan pemeriksaan secara komprensif atas alat-alat bukti yang ada, namun untuk sementara ini motif Brigadir RAT melakukan bunuh diri belum diketahui dan masih merupakan spekulasi.
Pihak Kepolisian belum bisa memberikan keterangan pasti dan mengungkap motif dibalik bunuh dirinya Brigadir RAT.
Walaupun secara hukum motif bukanlah merupakan unsur untuk suatu tindak pidana, namun masyarakat kepo (ingin tahu) dan penasaran penyebab sebenarnya kematian Brigadir RAT.
Sebetulnya dengan melakukan otopsi bisa menjawab keinginan tahuan masyarakat dan pihak keluarga untuk mengetahui penyebab kematian yang sebenarnya.
Nampaknya kekepoan masyarakat akan bisa terjawab karena Kapolri membuka kemungkinan perkara bunuh diri Brigadir RAT dibuka kembali.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sebelumnya pihak Kepolisian telah menutup kasus bunuh diri Brigadir RAT dengan kesimpulan penyebab kematian karena bunuh diri semata.
Dengan pernyataan Kapolri bahwa ada peluang untuk membuka kembali kasus kematian Brigadir RAT, maka masalah otopsi akan semakin relevan dilakukan.
Pilihan untuk melakukan otopsi terhadap jenazah Brigadir RAT semakin krusial dan penting untuk dilakukan.
Dalam kondisi dan semakin berkembangnya kasus kematian Brigadir RAT, apakah sekarang pihak keluarga telah mendapat pencerahan dan mengizinkan untuk melakukan otopsi.
Mudah-mudahan pihak keluarga menyadari bahwa otopsi memainkan peran penting dalam investigasi kematian yang mencurigakan untuk memastikan keadilan.
Seharusnya pihak keluarga mengambil inisiatif untuk melakukan otopsi tanpa menunggu pihak Kepolisian melakukannya agar kecurigaan atas kematian Brigadir RAT yang dirasakan pihak keluarga bisa terjawab.
Otopsi Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Di Indonesia.
Di Indonesia, otopsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berikut adalah beberapa ketentuan hukum yang mengatur otopsi menurut hukum pidana Indonesia.
Berdasarkan Pasal 133 ayat 1 KUHAP dalam hal penyidik untuk kepentingan Peradilan suatu kematian yang diduga merupakan tindak pidana, maka penyidik mempunyai kewenangan mengajukan permintaan ahli, dokter atau ahli lainnya.
Kemudian berdasarkan Pasal 133 ayat 2 Keterangan ahli (dokter) tersebut dapat berupa pemeriksaan luka, atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat (otopsi).
Jadi agar suatu otopsi bisa terlaksana berdasarkan perintah penyidik, jaksa, atau hakim apabila diperlukan untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di pengadilan.
Tentunya otopsi harus dilakukan oleh ahli yang berkompeten berupa dokter yang memenuhi syarat, yaitu dokter yang berijazah dokter dan memiliki keahlian di bidang kedokteran forensik.
Jadi dalam hal penyidik Kepolisian dan aparat hukum lainnya memandang perlu melakukan otopsi tidak tergantung kepada semata-mata kepada izin keluarga asalkan penyidik merasa diperlukan untuk kepentingan Peradilan.
Kepentingan Peradilan dimaksud adalah dalam hal  penyidik mencurigai bahwa suatu kematian merupakan tindak pidana.
Namun permasalahannya kasus kematian bunuh diri Brigadir RAT, menurut pihak Kepolisian tidak ada unsur tindak pidananya, sehingga tidak diperlukan otopsi
Apabila pihak Kepolisian mencurigai bahwa kematian bunuh diri Brigadir RAT ada unsur pidananya dan sangat mendesak harus dilakukan otopsi, penyidik hanya sekedar memberitahukan kepada pihak keluarga korban, bukan minta izin (Pasal 134 KUHAP).
Meskipun keluarga keberatan, penyidik wajib menjelaskan secara detil dan masuk akal kepada keluarga, tujuan dilakukannya otopsi.
Selanjutnya apabila tidak ada tanggapan dalam waktu 2 hari dari pihak keluarga, maka penyidik dapat melakukan otopsi (Pasal 134 ayat 2 dan 3 KUHAP).
Begitu juga dalam kasus bunuh diri Brigadir RAT yang senyatanya sekarang telah dikubur, apabila memang penyidik tiba-tiba merasa curiga adanya tindak pidana maka tetap bisa melakukan penggalian kubur untuk melakukan otopsi (Pasal 135 KUHAP).
Kalau seandainya keberatan keluarga untuk melakukan penggalian kubur dalam rangka otopsi terkait dengan biaya, tidak perlu dikawatirkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 136 KUHAP seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan otopsi dan penggalian kubur ditanggung sepenuhnya oleh Negara.
Secara teknis suatu otopsi akan sah menjadi alat bukti dalam suatu peristiwa pidana harus memenuhi beberapa syarat formal.
Salah satu syaratnya harus dibuatkan suatu Berita Acara hasil otopsi yang ditandatangani oleh dokter yang melakukan otopsi, penyidik atau jaksa atau Hakim yang memerintahkan otopsi, serta saksi-saksi yang hadir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H