Jadi agar suatu otopsi bisa terlaksana berdasarkan perintah penyidik, jaksa, atau hakim apabila diperlukan untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di pengadilan.
Tentunya otopsi harus dilakukan oleh ahli yang berkompeten berupa dokter yang memenuhi syarat, yaitu dokter yang berijazah dokter dan memiliki keahlian di bidang kedokteran forensik.
Jadi dalam hal penyidik Kepolisian dan aparat hukum lainnya memandang perlu melakukan otopsi tidak tergantung kepada semata-mata kepada izin keluarga asalkan penyidik merasa diperlukan untuk kepentingan Peradilan.
Kepentingan Peradilan dimaksud adalah dalam hal  penyidik mencurigai bahwa suatu kematian merupakan tindak pidana.
Namun permasalahannya kasus kematian bunuh diri Brigadir RAT, menurut pihak Kepolisian tidak ada unsur tindak pidananya, sehingga tidak diperlukan otopsi
Apabila pihak Kepolisian mencurigai bahwa kematian bunuh diri Brigadir RAT ada unsur pidananya dan sangat mendesak harus dilakukan otopsi, penyidik hanya sekedar memberitahukan kepada pihak keluarga korban, bukan minta izin (Pasal 134 KUHAP).
Meskipun keluarga keberatan, penyidik wajib menjelaskan secara detil dan masuk akal kepada keluarga, tujuan dilakukannya otopsi.
Selanjutnya apabila tidak ada tanggapan dalam waktu 2 hari dari pihak keluarga, maka penyidik dapat melakukan otopsi (Pasal 134 ayat 2 dan 3 KUHAP).
Begitu juga dalam kasus bunuh diri Brigadir RAT yang senyatanya sekarang telah dikubur, apabila memang penyidik tiba-tiba merasa curiga adanya tindak pidana maka tetap bisa melakukan penggalian kubur untuk melakukan otopsi (Pasal 135 KUHAP).
Kalau seandainya keberatan keluarga untuk melakukan penggalian kubur dalam rangka otopsi terkait dengan biaya, tidak perlu dikawatirkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 136 KUHAP seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan otopsi dan penggalian kubur ditanggung sepenuhnya oleh Negara.
Secara teknis suatu otopsi akan sah menjadi alat bukti dalam suatu peristiwa pidana harus memenuhi beberapa syarat formal.