Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Stop Berkelahi dan Saling Membenci Setelah Pemilu Usai

18 Februari 2024   19:03 Diperbarui: 18 Februari 2024   19:18 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar photo dan ilustrasi Humas Polri

Stop Berkelahi Dan Saling Membenci Setelah Pemilu Usai

Oleh Handra Deddy Hasan

Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia untuk Pemilihan Presiden/Wakil, Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat-DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah usai. Rakyat telah melaksanakan haknya untuk menentukan secara bebas pendapatnya berupa mencoblos/memilih dalam surat suara Pemilu pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2024.

Hal ini merupakan pengejawantahan apa yang dimaksud dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang mengamanatkan,

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi.

Oleh karena itu Asas Pemilu di Indonesia adalah Luber Jurdil merupakan kependekan dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Asas Pemilu ini saling melengkapi, menciptakan fondasi yang kokoh untuk melibatkan masyarakat secara langsung dan menyeluruh dalam proses demokrasi.

Kebebasan berpendapat yang terlihat secara spesifik dengan memberikan hak suara dalam proses Pemilu merupakan refleksi hak setiap individu untuk menyatakan pendapat, gagasan, atau keyakinan mereka tanpa takut akan penindasan, penahanan, atau hambatan dari pihak lain, termasuk pemerintah.

Prinsip kebebasan berpendapat adalah salah satu pilar utama dalam masyarakat demokratis dan dianggap sebagai hak asasi manusia yang fundamental.

Kebebasan berpendapat membuat seseorang memiliki kebebasan untuk menyatakan pandangan politik (memilih dalam Pemilu), agama, atau ideologi mereka tanpa takut akan represi atau ancaman dari pihak manapun.

Hal ini juga mencakup hak untuk mengkritik pemerintah atau institusi, serta untuk menyuarakan pendapat yang mungkin kontroversial atau tidak populer. Misalnya dengan mengawasi jalannya proses Pemilu, melihat dan mencatat kecurangannya, mengkritik dan mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hak-hak demikian juga dijamin oleh Undang-Undang melalui jalur legal dengan melaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan/atau mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, perlu untuk diingat bahwa kebebasan berpendapat juga memiliki batas-batas tertentu, seperti larangan terhadap penyebaran kebencian (hate speech), diskriminasi, atau penyebaran informasi palsu (hoaks) yang dapat menyebabkan kerusakan atau membahayakan orang lain.

Di media sosial masih banyak kita lihat hak kebebasan berpendapat ini digunakan kebablasan dengan melakukan ujaran kebencian (hate speech), diskriminatif atau menyebarkan informasi palsu (hoaks).

Sebagaimana kita ketahui, dalam kebebasan berpendapat, terdapat tanggung jawab bersama untuk menggunakan hak tersebut dengan bijak secara bertanggung jawab.

Seharusnya siapapun menyadari bahwa kebenaran, bukanlah eklusif dimiliki oleh seseorang/kelompok/golongan. Oleh karena kebenaran itu relatif sifatnya, sehingga seharusnya kita juga membuka hati untuk mendengarkan, walakin ngotot merasa benar sendiri.

Memaksakan kebenaran sendiri dengan membabi buta dengan melampiaskan dengan caci maki, rasis dan menyebarkan hoaks bukanlah merupakan langkah bijak dan keluar dari prinsip kebebasan berpendapat.

Tujuan Kebebasan Berpendapat

Kebebasan Berpendapat yang kebablasan seperti memaki-maki dengan kata kasar dan tidak pantas terhadap Pasangan Calon (Paslon) yang bukan preferensi pilihan kita, bisa akan menjadi boomerang bagi yang melontarkan.

Menuduh Paslon pihak lain tanpa data konkrit dengan nada rasis, misalnya merendahkan etnis asal usul, memasalahkan agama yang dianut, bukanlah merupakan cara menyampaikan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab.

Apalagi, apabila menyebarkan berita bohong (hoaks) seperti menyebarkan data hasil Pemilu (quick count, real count yang sedang berjalan) tanpa referensi yang benar, untuk hanya sekedar memuaskan nafsu takut dikatakan kalah, merupakan tindakan ilegal melanggar ketentuan.

Sehingga kebebasan berpendapat yang benar adalah kebebasan berpendapat yang patuh dengan batas-batas tertentu.

Batasan seperti larangan ujaran kebencian (hate speech), tuduhan diskriminatif, politik identitas atau penyebaran informasi palsu, merupakan batasan yang harus dipatuhi

Adapun kebebasan berpendapat yang dimiliki warga negara dan dilindungi oleh konstitusi senyatanya memiliki beberapa tujuan yang penting dalam sebuah masyarakat agar tercipta perdamaian.

Adanya batasan-batasan kebebasan berpendapat  tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak individu dari penyebaran ujaran kebencian (hate speech) atau tindakan yang merugikan, diskriminatif, atau berbahaya bagi kelompok atau individu yang dituju.

Dengan demikian, kebebasan berpendapat yang dibatasi ini membantu menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Batasan-batasan tersebut dapat membantu mempertahankan kedamaian dan mendorong toleransi di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.

Hal ini penting untuk mencegah konflik serta memupuk rasa saling menghormati di antara anggota masyarakat yang memiliki latar belakang, agama dan  keyakinan, serta identitas yang beragam.

Adanya batasan terhadap penyebaran informasi palsu bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran berita palsu, hoaks, atau disinformasi. Hal ini berguna untuk memastikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap informasi yang akurat dan dapat dipercaya serta bertanggung jawab.

Dengan demikian, kebebasan berpendapat yang diiringi dengan batasan-batasan tertentu memiliki tujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan umum, serta untuk memastikan bahwa kebebasan tersebut digunakan secara bertanggung jawab demi kebaikan bersama.

Sanksi Hukum Bagi Pihak Yang Melakukan Kebebasan Berpendapat Yang Kebablasan.

Kebebasan berpendapat yang kebablasan selain tidak elok juga berpotensi bagi pihak yang melakukannya melanggar hukum dan bisa dikenakan sanksi hukum pidana penjara dan denda.

Melakukan ujaran kebencian (hate speech) merupakan pelanggaran hukum. Ujaran kebencian diatur dalam Pasal 28 ayat 2 jo. Pasal 45A ayat 2 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008  tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pelanggaran terhadap aturan mengenai ujaran kebencian dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

UU ITE memberikan rambu-rambu untuk kebebasan berekspresi, sehingga perlu diperhatikan masyarakat untuk menggunakan hak-hak tersebut secara bertanggung jawab dan menghindari menyebarkan ujaran kebencian atau konten yang melanggar hukum.

Di Indonesia, larangan terhadap ujaran rasis dan politik identitas diatur dalam berbagai undang-undang.

Selain diatur dalam UU ITE juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU SARA).

Undang-Undang ini bertujuan untuk melindungi setiap orang dari tindakan diskriminasi ras dan etnis. Penyebaran ujaran rasis atau tindakan diskriminatif berdasarkan ras dan etnis dapat melanggar UU SARA.

Khusus bagi kalangan pers juga diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penyiaran. Peraturan ini mengatur tentang larangan terhadap konten yang memuat ujaran kebencian, rasis, atau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).

Sementara untuk aturan yang mengatur berita bohong atau hoaks selain diatur dalam UU ITE terdapat juga dan khusus bagi pers berlaku juga  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU PERS).

Pasal-pasal yang berkaitan dengan penyebaran berita bohong antara lain ;

Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.

Pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut berdasarkan Pasal 45A UU ITE  dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)


Selain itu, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) juga memiliki peran dalam mengawasi dan menindak penyebaran berita bohong atau hoaks di ranah daring (online)

Khusus untuk pers berlaku Pasal 4 ayat (1) UU PERS yang menyatakan bahwa pers nasional mempunyai tugas menyampaikan informasi yang benar dan obyektif.

Pasal 5 ayat (1) UU PERS yang menyatakan bahwa dalam menyampaikan informasi, pers nasional wajib membedakan antara fakta dan opini.

Namun ada yang menarik dari reportase harian Kompas, Minggu tanggal 18 Februari 2024. Dalam salah satu Head Line nya berjudul Tiga Kubu Dalam Satu Keluarga, Keutuhan Tetap Utama menggambarkan beberapa keluarga dan komunitas  bisa memperlihatkan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab.

Salah satu keluarga yang dibicarakan adalah Keluarga Tedjo Haryotomo alias Tomo dari Tanggerang. Menurut Kompas keluarga tersebut sudah tiga kali berbeda pendapat dalam Pemilu antara suami-istri. 

Pada Pemilu kali ini pihak suami memilih Paslon Nomor 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sedangkan istrinya Yasmine De Saire memilih Paslon Nomor 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. 

Perbedaan tersebut sering membuat perdebatan panas sampai ke ruang makan, bahkan mereka kadang-kadang saling membujuk untuk pindah pilihan. 

Namun perbedaan tidak mengganggu keseharian mereka. Tidak ada perkelahian dan tidak ada uang belanja istri yang dipotong, tidak ada aksi suami yang mengeluarkan istri dari Kartu Keluarga (KK). Menurut Tomo sang suami, pilihan boleh beda, tapi rasa sayang sama istri tetap sama.

Demikian juga komunitas seniman Yogyakarta, walau berbeda-beda pilihan, mereka tetap rukun dan Guyub.

Dalam reportase Kompas tersebut yang memberitakan beberapa keluarga inti dan komunitas berbeda pilihan dalam Pemilu merupakan representasi dari kebebasan berpendapat ideal sebagaimana yang seharusnya. 

Walau berbeda pendapat tetap bersatu dan saling menghargai serta menyayangi dalam satu Keluarga/Kelompok.

Sudah seharusnya masyarakat meniru keluarga-keluarga dan komunitas tersebut agar bangsa Indonesia tetap bersatu dalam menghadapi tantangan masa depan agar Indonesia menjadi maju dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun