Poliandri Yang Melatar Belakangi Pembunuhan.
Media geger dengan berita pembunuhan yang terjadi di Bone, Sulawesi Selatan.
Berita pembunuhan menjadi menarik perhatian publik, Â karena dianggap sebagai pembunuhan luar biasa dengan latar belakang yang unik.
Media mengabarkan bahwa pembunuh dan korban terkoneksi secara unik karena pembunuh merupakan suami ketiga dan korban statusnya sebagai suami kedua dari seorang perempuan.
Peristiwa pembunuhan dilakukan oleh SN (35) suami ketiga dengan menikam AS (31) yang merupakan suami kedua dari seorang perempuan bernama Suriani (22) pada hari Senin (21/8/2023) sekitar pukul 04.10 WITA di Bone Sulawesi Selatan.
Media berkesimpulan bahwa  peristiwa pidana pembunuhan mempunyai latar belakang perkawinan poliandri yang dianut oleh keluarga tersebut.
Poliandri adalah suatu keadaan dalam perkawinan di mana seorang wanita memiliki lebih dari satu suami secara bersamaan.
Ini merupakan kebalikan dari poligami yang tidak disukai oleh kaum wanita, di mana seorang pria memiliki lebih dari satu istri.
Poliandri dapat ditemukan dalam beberapa budaya masyarakat tertentu di dunia, meskipun lebih jarang dibandingkan poligami, diantaranya terjadi di kalangan suku Nepal dan Tibet.
Selain itu juga terdapat di beberapa kelompok etnis di Afrika, seperti suku Maasai di Kenya dan Tanzania yang ditengarai memiliki bentuk poliandri terbatas.
Poliandri yang ditemukan dalam beberapa budaya dan wilayah di dunia, terutama berlokasi di daerah pegunungan yang memiliki keterbatasan sumber daya dan lahan.
Konon kabarnya faktor-faktor yang memicu adanya poliandri karena keterbatasan sumber daya, pembagian warisan, dan kondisi lingkungan yang keras.
Makanya ketika ada pemberitaan adanya praktik budaya poliandri yang dilakukan oleh Suriani di Bone Sulawesi Selatan membuat heboh masyarakat, karena dalam masyarakat Indonesia selama ini tidak dikenal praktik dan budaya poliandri.
Sehingga seharusnya dalam kasus ini berita tentang pembunuhan yang perlu dibahas karena merupakan masalah yang utama, namun justru terjadi sebaliknya.
Pemberitaan masalah pembunuhan walau tetap ada tapi menjadi semakin meredup, malah sekarang berita poliandrinya semakin marak dibahas baik oleh Pejabat Publik maupun oleh Ulama.
Apakah Poliandri Legal di Indonesia?
Berdasarkan aturan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia seharusnya praktik dan budaya perkawinan poliandri tidak akan pernah terjadi di Indonesia.
Dengan demikian kalau seandainya ada praktik poliandri di Indonesia dapat dipastikan bahwa hal tersebut merupakan poliandri ilegal.
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, dimana pria hanya boleh mempunyai seorang istri begitupun sebaliknya dalam waktu tertentu.
Hal ini tampak dari ketentuan dalam Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Â
Hal ini ditegaskan dalam salah satu syarat perkawinan yakni Pasal 9 UUP, bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 UUP.
Pengecualian yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 UUP, merupakan pengecualian khusus yang ditujukan hanya buat kaum pria, bukan untuk kaum wanita.
Sehingga dengan demikian secara hukum tertutup kemungkinan bagi seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu pada saat yang bersamaan (poliandri).
Bahkan lebih jauh apabila terdeteksi akan terjadi praktik perkawinan poliandri maka ada mekanisme pencegahan dan pegawai pencatat perkawinan akan menolak melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 21 UUP.
Demikian kerasnya hukum Indonesia terhadap praktik poliandri dimana walaupun telah dilarang dan ternyata tetap nekat melakukannya akan terancam dengan pidana karena poliandri merupakan bagian dari perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 279 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa ;
 "Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa mengadakan perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu."
Suriani Melakukan Praktik Poliandri Di Bone Sulawesi Selatan.
Sebagaimana yang kita serap dari berbagai media di Indonesia bahwa peristiwa pembunuhan yang dilakukan SN suami ketiga terhadap AS suami kedua di Bone Sulawesi Selatan dikarenakan perempuan yang bernama Suriani melakukan praktik perkawinan poliandri.
Bagaimana menjelaskan fenomena bahwa praktik dan budaya poliandri di Indonesia ternyata ada, padahal secara hukum nyaris tidak akan bisa terlaksana.
Oleh karena terbatasnya informasi hukum atas perkawinan Suriani yang disampaikan media, maka agar bisa menjelaskan fenomena poliandri yang dilakukannya terpaksa menggunakan asumsi dengan beberapa skenario.
Sebelum menjelaskan fenomena perkawinan poliandri Suriani dengan beberapa skenario terpaksa harus membahas terlebih dulu apa yang dimaksud dengan perkawinan secara hukum di Indonesia.
Dalam aturan hukum di Indonesia perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian berupa ikatan lahir bathin sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 UUP. Konsekwensinya apabila akan melakukan perkawinan semua syarat-syarat sah suatu perjanjian harus dipenuhi.
Namun hukum perjanjian perkawinan yang dikenal dalam Undang-Undang perkawinan merupakan bentuk perjanjian formil, dimana keabsahannya tidak saja harus memenuhi syarat-syarat sah (Pasal 2 ayat 1 UUP), tapi harus dibarengi atau dilanjutkan dengan perbuatan formil lainnya yaitu pencatatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat 2 UUP.
Penjelasan sederhananya begini, agar perjanjian perkawinan sah, mengikat dan mempunyai kekuatan hukum di Indonesia maka prosedur ijab kabulnya mengikuti syarat sahnya berdasarkan hukum agama masing-masing (Islam ; syaratnya antara lain ada mempelai, wali dan saksi) kemudian harus dicatat secara formil.
Dengan demikian perkawinan yang sah dan mengikat harus memenuhi persyaratan keabsahan yang diwajibkan oleh agama masing-masing (Pasal 2 ayat 1 UUP) kemudian dilanjutkan dengan pembuktian Kutipan Akta Nikah, yang diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Kutipan Akta Perkawinan oleh Pegawai Catatan Sipil (Pasal 2 ayat 2 UUP).
Kemudian dalam peristiwa sehari-hari kita mendengar tentang Nikah Siri yang merupakan nikah yang tidak dicatatkan secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah dalam hal ini di Kantor Urusan Agama (KUA).
Sehingga Nikah Siri tidak mempunyai kekuatan hukum dan tentunya akan merugikan bagi ibu dan anaknya (kalau ada) karena tidak akan mempunyai hak mendapatkan kehidupan yang layak, hak pendidikan, hak waris dan lain-lain.
Jangan tertipu dengan adanya buku nikah (Kutipan Akta Nikah) walaupun buku nikah merupakan salah satu bukti adanya pencatatan perkawinan.Â
Hal ini dikarenakan banyaknya buku nikah palsu yang beredar, sehingga ada beberapa perkawinan siri menggunakan buku nikah, namun tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA.
Padahal secara hukum bentuk formalitas yang diinginkan adalah pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA (agama Islam) atau Kantor Pencatatan Sipil (agama selain Islam).
Kembali kepada kasus Suriani, asumsi skenario pertama perkawinan Suriani dengan suami kedua AS dan suami ketiga SN tidak pernah tercatat (suami pertama meninggal) sehingga pada dasarnya tidak pernah ada perkawinan diantara mereka sebagaimana yang dimaksud UUP.Â
Sehingga ketika mereka dulu melangsungkan perkawinan tidak bisa dilakukan pencegahan akan terjadinya poliandri sebagaimana yang bisa dilakukan berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 11 UUP.
Dalam skenario pertama ini Suriani tidak bisa dijangkau dengan Undang-Undang Perkawinan Indonesia, karena perkawinannya baik dengan suami kedua maupun suami ketiga dianggap tidak pernah ada.
Bagaimana dengan kenyataannya bahwa Suriani mempunyai dua orang suami saat bersamaan?
Sebagaimana kita ketahui masyarakat tidak hanya terikat dengan hukum positif (hukum negara), namun juga terikat dengan norma lain seperti norma sosial dan agama.
Sudah selayaknya Suriani yang hidup dalam lingkungan sosial yang beragama di Bone Sulawesi Selatan akan dikontrol tingkah lakunya oleh masyarakat/ulama dimana dia bertempat tinggal.Â
Kita tidak mempunyai informasi yang cukup apakah masyarakat sekitarnya (tokoh agama) secara sosial dan agama sudah memperingatkan atau menghukum akibat praktik poliandrinya.
Sebagaimana kita ketahui dalam agama Islam poliandri haram hukumnya, maka apabila Suriani beragama Islam, sanksi hukum agamalah yang akan diterimanya yaitu berupa dosa karena melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Kemudian dilanjutkan dengan skenario kedua dengan asumsi perkawinan kedua Suriani dengan AS tercatat kemudian perkawinan ketiganya dengan SN tidak tercatat.Â
Dalam alternatif kedua ini kurang lebih sama dengan alternatif pertama, dimana pencegahan tidak dapat dilakukan dan poligami yang dilakukan Suriani masuk ke wilayah norma sosial dan agama.
Perbedaannya terletak pada Suriani bisa dijangkau dengan ketentuan pidana Zina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 KUHP karena hubungan Suriani dengan suami ketiga SN dianggap dilakukan dengan suami yang tidak sah.
Namun masalahnya Zina yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP merupakan delik aduan, hanya AS (suami kedua) sebagai suami yang sah bisa mengadukan ke Polisi bahwa Suriani telah berzina dengan SN (suami ketiga) dan dengan demikian barulah Polisi bisa melanjutkan perkara pidananya.
Dalam kenyataannya, sebelum terjadi pembunuhan, nampaknya AS tidak keberatan atas hubungan Suriani dengan SN.
Skenario ketiga sekaligus merupakan skenario terakhir dimana seluruh perkawinan yang dilakukan oleh Suriani dengan suami keduanya AS dan suami ketiganya SN tercatat.
Dalam skenario ketiga ini ada beberapa Pasal pidana yang telah terlanggar oleh mereka yang terlibat poliandri.
Yang pertama adalah perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 279 ayat (1) KUHP karena telah melakukan poliandri.
Selain itu pihak-pihak yang memalsukan indentitasnya agar poliandri bisa dilaksanakan juga bisa dikenakan Pasal 277 KUHP.
Sebagaimana telah kita bahas diatas bahwa Undang-Undang Perkawinan Indonesia tidak memperbolehkan adanya poligami.
Agar poligami tetap terlaksana dan dicatat oleh pejabat biasanya pihak-pihak yang terlibat memalsukan data-data dirinya.
Data pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan yang senyatanya berstatus terikat dalam perkawinan dirubah dengan bujangan atau janda/duda.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa poliandri berdasarkan hukum Indonesia tidak diperbolehkan.
Begitu juga berdasarkan agama, khususnya agama Islam perbuatan poliandri merupakan perbuatan yang diharamkan.
Apabila ternyata dalam kenyataannya di Indonesia terjadi praktik poligami bisa dikatakan bahwa praktik demikian merupakan praktik ilegal dan merupakan tindak pidana yang bisa dijangkau dan diberi sanksi berdasarkan KUHP.
Seandainya tidak bisa dijangkau oleh KUHP karena tidak memenuhi unsur, bisa dijangkau dan dikenakan sanksi berdasarkan norma sosial dan agama.
Namun terlepas dari segala sanksi yang bisa diberikan, ada kemungkinan beberapa masyarakat tidak paham bahwa praktik poliandri tidak dibolehkan oleh negara dan agama, sehingga tugas Pemerintah dan para Ulama memberikan pencerahan agar poliandri tidak berkembang menjadi suatu kebudayaan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H