Bahkan lebih jauh apabila terdeteksi akan terjadi praktik perkawinan poliandri maka ada mekanisme pencegahan dan pegawai pencatat perkawinan akan menolak melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 21 UUP.
Demikian kerasnya hukum Indonesia terhadap praktik poliandri dimana walaupun telah dilarang dan ternyata tetap nekat melakukannya akan terancam dengan pidana karena poliandri merupakan bagian dari perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 279 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa ;
 "Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa mengadakan perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu."
Suriani Melakukan Praktik Poliandri Di Bone Sulawesi Selatan.
Sebagaimana yang kita serap dari berbagai media di Indonesia bahwa peristiwa pembunuhan yang dilakukan SN suami ketiga terhadap AS suami kedua di Bone Sulawesi Selatan dikarenakan perempuan yang bernama Suriani melakukan praktik perkawinan poliandri.
Bagaimana menjelaskan fenomena bahwa praktik dan budaya poliandri di Indonesia ternyata ada, padahal secara hukum nyaris tidak akan bisa terlaksana.
Oleh karena terbatasnya informasi hukum atas perkawinan Suriani yang disampaikan media, maka agar bisa menjelaskan fenomena poliandri yang dilakukannya terpaksa menggunakan asumsi dengan beberapa skenario.
Sebelum menjelaskan fenomena perkawinan poliandri Suriani dengan beberapa skenario terpaksa harus membahas terlebih dulu apa yang dimaksud dengan perkawinan secara hukum di Indonesia.
Dalam aturan hukum di Indonesia perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian berupa ikatan lahir bathin sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 UUP. Konsekwensinya apabila akan melakukan perkawinan semua syarat-syarat sah suatu perjanjian harus dipenuhi.
Namun hukum perjanjian perkawinan yang dikenal dalam Undang-Undang perkawinan merupakan bentuk perjanjian formil, dimana keabsahannya tidak saja harus memenuhi syarat-syarat sah (Pasal 2 ayat 1 UUP), tapi harus dibarengi atau dilanjutkan dengan perbuatan formil lainnya yaitu pencatatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat 2 UUP.
Penjelasan sederhananya begini, agar perjanjian perkawinan sah, mengikat dan mempunyai kekuatan hukum di Indonesia maka prosedur ijab kabulnya mengikuti syarat sahnya berdasarkan hukum agama masing-masing (Islam ; syaratnya antara lain ada mempelai, wali dan saksi) kemudian harus dicatat secara formil.
Dengan demikian perkawinan yang sah dan mengikat harus memenuhi persyaratan keabsahan yang diwajibkan oleh agama masing-masing (Pasal 2 ayat 1 UUP) kemudian dilanjutkan dengan pembuktian Kutipan Akta Nikah, yang diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Kutipan Akta Perkawinan oleh Pegawai Catatan Sipil (Pasal 2 ayat 2 UUP).