ILLICIT ENRICHMENT (Peningkatan Kekayaan Pejabat Publik Secara Tidak Sah).
oleh Handra Deddy Hasan
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat menjadi pintu masuk untuk mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pejabat negara. Namun menurut Kompas hari Kamis tanggal 16 Maret 2023 agar lebih efektif diperlukan pengaturan illicit enrichment seperti yang direkomendasikan oleh United Nations Convention against Corruption/UNCAC) Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa2.
Illicit enrichment (peningkatan kekayaan secara tidak sah) adalah istilah hukum yang mengacu pada peningkatan kekayaan seseorang secara tidak sah atau tidak wajar yang tidak dapat dijelaskan dengan sumber pendapatan yang sah. Peningkatan kekayaan secara tidak sah terjadi ketika seseorang memperoleh harta secara tidak wajar atau tidak sah, misalnya dengan menerima suap, menyelewengkan dana publik, atau melakukan tindakan korupsi lainnya.
Di beberapa negara, Â illicit enrichment dianggap sebagai tindak pidana dan dapat dikenakan sanksi hukum, seperti denda, pidana penjara, atau pengembalian harta yang tidak sah tersebut. Tujuannya adalah untuk mencegah korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya serta memastikan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh individu dan perusahaan didapatkan dengan cara yang sah dan adil.
Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention against Corruption/UNCAC) adalah sebuah perjanjian internasional yang disahkan oleh PBB pada tahun 2003 untuk memerangi korupsi. Konvensi ini memberikan kerangka kerja hukum yang komprehensif untuk mengatasi korupsi di seluruh dunia.
UNCAC merekomendasikan  peningkatan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment) merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 Konvensi tersebut. Pasal ini mendorong negara-negara yang meratifikasi konvensi untuk mengadopsi tindakan hukum yang diperlukan untuk menjadikan pidana peningkatan kekayaan secara tidak sah sebagai tindakan korupsi. Selain itu, UNCAC juga mendorong negara-negara untuk memastikan bahwa tindakan hukum yang diterapkan dalam hal peningkatan kekayaan secara tidak sah dapat memberikan hukuman yang efektif dan memadai.
UNCAC diadopsi pada 31 Oktober 2003 dan mulai berlaku pada 14 Desember 2005 setelah memperoleh ratifikasi dari 30 negara. Saat ini, UNCAC telah diratifikasi oleh 187 negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang meratifikasi UNCAC, Indonesia diharapkan untuk mengadopsi tindakan hukum yang diperlukan untuk melawan korupsi dan mematuhi ketentuan konvensi tersebut, termasuk menjadikan pidana korupsi peningkatan kekayaan secara tidak sah.
Indonesia meratifikasi UNCAC pada 6 November 2006 dan secara resmi menjadi pihak UNCAC pada 9 Desember 2006. Dalam hal peningkatan kekayaan secara tidak sah, Indonesia mengadopsi tindakan hukum yang diperlukan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).
Dengan adanya ratifikasi UNCAC, Indonesia diharuskan mematuhi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut dan melaksanakan tindakan hukum yang diperlukan untuk memerangi korupsi. Hal ini termasuk mempidanakan peningkatan kekayaan secara tidak sah sebagai tindakan korupsi, serta pemberian hukuman yang memadai bagi pelaku illicit enrichment.
Akibat hukum dari adanya ratifikasi UNCAC adalah Indonesia diwajibkan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut dan memberikan tindakan hukum yang efektif dan memadai terhadap tindakan korupsi, termasuk illicit enrichment.
Meratifikasi UNCAC belum mempunyai dampak signifikan menegakkan UU Korupsi, karena dengan meratifikasi UNCAC Pasal 20 baru sebatas memberikan kewenangan kepada aparat untuk mencurigai pejabat publik yang mempunyai harta tidak wajar. Untuk menjadikan tersangka belum bisa. Aparat harus bisa membuktikan pidana suap dan atau pidana penyalah gunaan kewenangan, barulah bisa menjadikan pejabat publik menjadi tersangka tindak pidana korupsi
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa UU Korupsi walaupun katanya telah mengadopsi akan tetapi  tidak mengatur secara detil tentang illicit enrichtment, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian walaupun telah punya LKHPN, bahkan telah punya data transaksi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga tidak berdaya untuk menetapkan pejabat publik yang dicurigai menjadi Tersangka tindak pidana korupsi. Akibatnya ketentuan  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menjadi mandul.
Hal ini disebabkan karena menurut Pasal 3 Ayat (2) UU TPPU, pidana pencucian uang dapat dilakukan apabila telah terjadi tindak pidana asal yang menjadi sumber uang yang dicucikan.
Sepanjang tahun 2019-2022, KPK hanya memfollow up 411 kasus dari 1.635 LKHPN (Kompas Kamis 16 Maret 2023). Minimnya kasus yang dilanjutkan KPK dari LKHPN karena tidak mempunyai instrumen hukum yang kuat membidik rekening2 gendut pejabat negara. UU Korupsi dan UU TPPU belum bisa menjaring secara efektif, walaupun KPK sudah punya LKHPN bahkan sudah punya alur transaksi keuangan (PPATK) sekalipun.
Sebagaimana yang kita lihat, apa yang bisa dilakukan oleh KPK sekedar memanggil pejabat yang dicurigai untuk klarifikasi. Sedangkan tindakan untuk menetapkan jadi tersangka, masih membutuhkan prosedur yang panjang atau malah tidak ada sama sekali kelanjutannya. Kondisi mandek seperti ini membikin publik  curiga dan bertanya2 dengan gemas. Udah jelas hartanya tidak wajar dan tidak sesuai dengan profile penghasilannya masih bebas berkeliaran menikmati hartanya yang diduga berasal dari harta haram.
Keheranan dan tanda tanya masyarakat awam karena mereka tidak mengetahui bahwa sebetulnya aparat sedang bekerja keras. Dengan pemanggilan pejabat yang dicurigai mempunyai harta kekayaan tidak wajar, aparat berusaha mengejar tindak pidana korupsinya, misal pidana suap atau penyalah gunaan kewenangan. Aparat berusaha mencari minimal ada dua alat bukti, penyuapnya siapa, nilai suapnya berapa, dimana terjadinya, suapnya dalam konteks apa dan sebagainya. Demikian juga apabila aparat mengejar pidana korupsi penyalah gunaan kekuasaan. Agar bisa dijadikan tersangka aparat harus menemukan minimal dua alat bukti yang berkaitan dengan jabatan apa yang diselewengkan, siapa yang diuntungkan, apakah negara dirugikan dan sebagainya. Upaya keras aparat tersebut tidak bisa dimengerti oleh rakyat awam. Mereka hanya melihat ada pejabat berfoya2 dan pamer kekayaan yang tidak sesuai dengan profile gajinya, tapi tidak dijadikan tersangka korupsi. Kenapa? Karena upaya keras aparat tidak didukung oleh instrumen hukum yang memadai untuk mengejar pejabat yang harta kekayaannya tidak wajar.Â
Disinilah diperlukan aturan setingkat Undang2 yang mengatur bahwa peningkatan harta kekayaan secara tidak sah merupakan tindak pidana korupsi. Teknisnya bisa Pemerintah dan DPR membuat Undang2 tentang peningkatan harta kekayaan tidak sah atau merubah/merevisi UU Korupsi dengan menambahkan satu bab lagi tentang tindak pidana korupsi yaitu peningkatan harta kekayaan secara tidak sah pejabat publik.
Undang2 illicit enrichment.
Untuk mempidanakan seseorang atas tuduhan korupsi berkaitan dengan adanya peningkatan kekayaan secara tidak sah tidak cukup hanya dengan meratifikasi illicit enrichment yang diatur dalam UNCAC. Diperlukan undang-undang yang lebih spesifik dan detail yang mengatur tentang peningkatan kekayaan pejabat publik. Hal tersebut bisa terwujud minimal dengan cara merubah/merevisi UU Korupsi dengan menambah Bab baru yang mengatur bahwa illicit enrichment salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
Di Indonesia UU Korupsi tidak mengatur secara jelas dan tegas tentang peningkatan kekayaan secara tidak sah pejabat publik. Diperlukan aturan setingkat undang-undang yang mengatur lebih spesifik terkait dengan peningkatan  kekayaan secara tidak sah pejabat publik, yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang batas-batas wajar peningkatan kekayaan, sumber-sumber pendapatan yang sah, dan kewajiban pelaporan harta kekayaan.
Misalnya dalam aturan UU seharusnya ada pasal yang mengatur tentang batas2 wajar peningkatan kekayaan seorang pejabat.
Setiap pejabat publik wajib melaporkan harta kekayaannya secara berkala dan melaporkan setiap perubahan pada hartanya dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh hukum. Hal ini sudah dilaksanakan dengan adanya aturan LHKPN. Namun LHKPN sejauh ini lebih bersifat formalitas, terbukti banyak pejabat2 publik ternyata memanipulasi LHKPN, bahkan tidak menyampaikan LHKPN tanpa menerima konsekwensi apa2.
LHKPN akan bisa efektif apabila ada aturan setingkat Undang2 yang mengatur tentang peningkatan kekayaan secara tidak sah pejabat publik. Salah satu aturan detil misalnya dapat dianggap peningkatan kekayaan  tidak wajar jika misalnya nilai harta kekayaan melebihi dua kali lipat pendapatan resmi mereka selama periode pelaporan.
Selain itu perlu suatu aturan detil batasan yang jelas kewajaran peningkatan kekayaan pejabat publik.
Misalnya ditentukan berdasarkan kriteria berikut:
1. Pendapatan resmi pejabat publik selama periode pelaporan.
Setiap pejabat publik wajib melaporkan sumber-sumber pendapatannya secara terperinci kepada instansi yang berwenang.
Sumber-sumber pendapatan yang dianggap sah adalah sebagai berikut:
- Gaji atau upah dari jabatan resmi yang diemban.
- Tunjangan atau fasilitas yang diberikan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan yang berlaku.
- Pendapatan dari bisnis atau usaha yang dilakukan sebelum menjadi pejabat publik.
- Warisan atau hadiah yang diterima dan telah dilaporkan kepada instansi yang berwenang.
- Pendapatan lain yang telah dilaporkan kepada instansi yang berwenang.
2. Kenaikan harga rata-rata properti di wilayah yang bersangkutan.
3. Tingkat inflasi dan biaya hidup.
Dengan adanya batasan kriteria yang jelas dan transparan sebagaimana disebutkan diatas, Â peningkatan kekayaan pejabat publik yang melebihi batas wajar yang ditetapkan dapat dianggap sebagai tindak pidana peningkatan kekayaan secara tidak sah dan pejabatnya langsung bisa dijadikan tersangka.
Pihak yang berwenangpun dapat melangkah dengan pasti dengan melakukan investigasi dan meminta keterangan dari pejabat publik terkait dengan asal usul harta kekayaan mereka. Jika terbukti bahwa peningkatan kekayaan pejabat publik tidak wajar dan tidak dapat dijelaskan dengan sumber-sumber pendapatan yang sah, maka pejabat publik tersebut dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi.
Konsekwensinya publik tidak akan bertanya2 penasaran lagi tentang harta tidak wajar pejabat publik. Apabila ada pejabat publik yang pamer harta, merekayasa LKHPN atau tidak melaporkan LKHPN, aparat tinggal cokok dan tanpa waktu berlama2 menjadikannya tersangka tindak pidana korupsi.
Permasalahannya mungkin kita menunggu aturan illicit enrichment setingkat Undang2 seperti merindukan pungguk merindukan bulan. Apakah Pemerintah dan DPR mempunyai kemauan politik untuk mengujudkannya, karena bisa saja illicit enrichment menjadi senjata makan tuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H