Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Illicit Enrichment (Peningkatan Kekayaan Pejabat Publik Secara Tidah Sah)

16 Maret 2023   17:29 Diperbarui: 16 Maret 2023   18:57 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: industry.co.id

Akibat hukum dari adanya ratifikasi UNCAC adalah Indonesia diwajibkan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut dan memberikan tindakan hukum yang efektif dan memadai terhadap tindakan korupsi, termasuk illicit enrichment.
Meratifikasi UNCAC belum mempunyai dampak signifikan menegakkan UU Korupsi, karena dengan meratifikasi UNCAC Pasal 20 baru sebatas memberikan kewenangan kepada aparat untuk mencurigai pejabat publik yang mempunyai harta tidak wajar. Untuk menjadikan tersangka belum bisa. Aparat harus bisa membuktikan pidana suap dan atau pidana penyalah gunaan kewenangan, barulah bisa menjadikan pejabat publik menjadi tersangka tindak pidana korupsi

Namun sebagaimana kita ketahui bahwa UU Korupsi walaupun katanya telah mengadopsi akan tetapi  tidak mengatur secara detil tentang illicit enrichtment, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian walaupun telah punya LKHPN, bahkan telah punya data transaksi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga tidak berdaya untuk menetapkan pejabat publik yang dicurigai menjadi Tersangka tindak pidana korupsi. Akibatnya ketentuan  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menjadi mandul.

Hal ini disebabkan karena menurut Pasal 3 Ayat (2) UU TPPU, pidana pencucian uang dapat dilakukan apabila telah terjadi tindak pidana asal yang menjadi sumber uang yang dicucikan.

Sepanjang tahun 2019-2022, KPK hanya memfollow up 411 kasus dari 1.635 LKHPN (Kompas Kamis 16 Maret 2023). Minimnya kasus yang dilanjutkan KPK dari LKHPN karena tidak mempunyai instrumen hukum yang kuat membidik rekening2 gendut pejabat negara. UU Korupsi dan UU TPPU belum bisa menjaring secara efektif, walaupun KPK sudah punya LKHPN bahkan sudah punya alur transaksi keuangan (PPATK) sekalipun.

Sebagaimana yang kita lihat, apa yang bisa dilakukan oleh KPK sekedar memanggil pejabat yang dicurigai untuk klarifikasi. Sedangkan tindakan untuk menetapkan jadi tersangka, masih membutuhkan prosedur yang panjang atau malah tidak ada sama sekali kelanjutannya. Kondisi mandek seperti ini membikin publik  curiga dan bertanya2 dengan gemas. Udah jelas hartanya tidak wajar dan tidak sesuai dengan profile penghasilannya masih bebas berkeliaran menikmati hartanya yang diduga berasal dari harta haram.

Keheranan dan tanda tanya masyarakat awam karena mereka tidak mengetahui bahwa sebetulnya aparat sedang bekerja keras. Dengan pemanggilan pejabat yang dicurigai mempunyai harta kekayaan tidak wajar, aparat berusaha mengejar tindak pidana korupsinya, misal pidana suap atau penyalah gunaan kewenangan. Aparat berusaha mencari minimal ada dua alat bukti, penyuapnya siapa, nilai suapnya berapa, dimana terjadinya, suapnya dalam konteks apa dan sebagainya. Demikian juga apabila aparat mengejar pidana korupsi penyalah gunaan kekuasaan. Agar bisa dijadikan tersangka aparat harus menemukan minimal dua alat bukti yang berkaitan dengan jabatan apa yang diselewengkan, siapa yang diuntungkan, apakah negara dirugikan dan sebagainya. Upaya keras aparat tersebut tidak bisa dimengerti oleh rakyat awam. Mereka hanya melihat ada pejabat berfoya2 dan pamer kekayaan yang tidak sesuai dengan profile gajinya, tapi tidak dijadikan tersangka korupsi. Kenapa? Karena upaya keras aparat tidak didukung oleh instrumen hukum yang memadai untuk mengejar pejabat yang harta kekayaannya tidak wajar. 

Disinilah diperlukan aturan setingkat Undang2 yang mengatur bahwa peningkatan harta kekayaan secara tidak sah merupakan tindak pidana korupsi. Teknisnya bisa Pemerintah dan DPR membuat Undang2 tentang peningkatan harta kekayaan tidak sah atau merubah/merevisi UU Korupsi dengan menambahkan satu bab lagi tentang tindak pidana korupsi yaitu peningkatan harta kekayaan secara tidak sah pejabat publik.

Undang2 illicit enrichment.

Untuk mempidanakan seseorang atas tuduhan korupsi berkaitan dengan adanya peningkatan kekayaan secara tidak sah tidak cukup hanya dengan meratifikasi illicit enrichment yang diatur dalam UNCAC. Diperlukan undang-undang yang lebih spesifik dan detail yang mengatur tentang peningkatan kekayaan pejabat publik. Hal tersebut bisa terwujud minimal dengan cara merubah/merevisi UU Korupsi dengan menambah Bab baru yang mengatur bahwa illicit enrichment salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

Di Indonesia UU Korupsi tidak mengatur secara jelas dan tegas tentang peningkatan kekayaan secara tidak sah pejabat publik. Diperlukan aturan setingkat undang-undang yang mengatur lebih spesifik terkait dengan peningkatan  kekayaan secara tidak sah pejabat publik, yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang batas-batas wajar peningkatan kekayaan, sumber-sumber pendapatan yang sah, dan kewajiban pelaporan harta kekayaan.

Misalnya dalam aturan UU seharusnya ada pasal yang mengatur tentang batas2 wajar peningkatan kekayaan seorang pejabat.

Setiap pejabat publik wajib melaporkan harta kekayaannya secara berkala dan melaporkan setiap perubahan pada hartanya dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh hukum. Hal ini sudah dilaksanakan dengan adanya aturan LHKPN. Namun LHKPN sejauh ini lebih bersifat formalitas, terbukti banyak pejabat2 publik ternyata memanipulasi LHKPN, bahkan tidak menyampaikan LHKPN tanpa menerima konsekwensi apa2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun