Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Modus Para Koruptor untuk Mendapat Hukuman Ringan

11 Oktober 2020   15:48 Diperbarui: 13 Oktober 2020   10:58 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendapatkan hukuman merupakan hal yang menyakitkan untuk dirasakan dan pahit untuk ditelan. Termasuk bagi mereka yang jelas2 bersalahpun jarang mau secara sukarela menerima hukuman atas kesalahan yang diperbuatnya. Memahami dan menerima keadilan dengan menerima hukuman bagi yang bersalah tidak bisa begitu saja  gampang diterima. 

Apalagi bagi yang jelas2 tidak berbuat atau tidak bersalah tapi menerima hukuman atas perbuatan orang lain atau atas perbuatan yang tidak salah. Bisa saja suatu ketika proses hukum yang dipercaya untuk menemukan keadilan, justru melahirkan ketidak adilan. Ironis memang, sistim hukum yang diciptakan untuk mencari keseimbangan malah menciptakan kekacauan.

Peristiwa perampokan dan pembunuhan terhadap suami isteri Sulaiman dan Siti Haya yang terjadi pada tahun 1974 di desa Bojong Sari,  Bekasi, sudah hapus dalam ingatan masyarakat. Tapi apabila disebutkan nama Sengkon dan Karta yang dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan, akan dengan cepat membawa memori publik untuk mengingatnya. 

Sengkon dan Karta dihukum atas perbuatan yang tidak dilakukannya dengan hukuman pidana penjara masing2 12 tahun dan 7 tahun penjara. Hakim Pengadilan Negeri Bekasi Djurnetty Soetrisno bergeming dengan pembelaan Sengkon, Karta. Pembelaan bahwa mereka tidak melakukannya dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mereka tanda tangani dihadapan Polisi karena tidak tahan disiksa, diabaikan oleh sang Hakim.

Mereka beruntung karena ketika di penjara bertemu dengan pelaku sebenarnya Genol yang dipenjara karena kasus pencurian. Genol yang kebetulan adalah ponakan Sengkon mengaku bahwa dialah yang merampok dan membunuh pasutri Sulaiman dan Siti Haya. Genom akhirnya pada Oktober 1980 mendapat ganjaran atas perbuatannya dengan hukuman selama 12 tahun pidana penjara.

Bagaimana nasib Sengkon dan Karta yang jelas sesuai fakta hukum, salah orang, salah tangkap, salah hukum ? Mereka tetap masih terkurung dalam penjara, tidak serta merta bebas karena telah ditemukan pelaku kejahatan yang sebenarnya. 

Sistim hukum ketika itu belum mengenal melakukan Peninjauan Kembali atas mereka yang telah dihukum berdasarkan putusan yang sudah mempunyai kekuatan tetap (in kracht van gewijsde). Hukum yang diharapkan memberi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, justru telah mencekik Sengkon dan Karta dengan ketidak adilan. 

Hukum yang sama tidak berdaya mengembalikan keadilan kepada Sengkon dan Karta. Berkat kegigihan Albert Hasibuan seorang pengacara dan anggota DPR, baru pada bulan Januari 1981 Sengkon dan Karta merebut kemerdekaannya kembali. 

Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji memerintahkan keduanya bebas dari penjara lewat jalur Peninjauan Kembali (PK). Publik tersadar bahwa lembaga PK sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan keadilan bila hukum dalam prosesnya keliru. 

Kepastian hukum kadang2 harus diabaikan ketika ada keadaan darurat yang tidak biasa. Butuh pintu darurat, butuh upaya luar biasa untuk mengantisipasi seandainya hukum melakukan kesalahan. Butuh upaya luar biasa yang dinamakan Peninjauan Kembali untuk menemukan keadilan yang sempat terselip.

Peninjauan Kembali Dalam KUHAP

Berdasarkan Pasal 263 Kitab Undang Hukum Acara Pidana Undang2 Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP), terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA). Bahkan lebih dahsyat lagi PK yang semula hanya boleh dilakukan sekali dapat diajukan berkali2. 

Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi (judicial review) yang diajukan oleh Antasari Azhar terhadap Pasal 263 (3) KUHAP. Ketua Majelis Hakim MK Hamdan Zoelva mengabulkan gugatan Antasari, karena ketentuan PK, hanya sekali bertentangan dengan UUD 1945. Pihak pencari keadilan tidak bisa dibatasi dengan waktu, kepastian hukum harus mengalah apabila dihadapkan dengan upaya pencarian keadilan.

Bagaimana kondisi penggunaan PK oleh para terpidana saat ini?


Menurut data Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang diolah dari laporan tahunan MA, ada kecendrungan meningkatnya pengajuan PK oleh para Koruptor ke MA. Tahun 2017 ada 188 PK, tahun 2018 ada 208 PK, tahun 2019 ada 235 PK (Kompas 20 September 2020). 

Apakah kecendrungan PK perkara korupsi menunjukkan pencarian keadilan seperti kasus Sengkon dan Karta yang terabaikan oleh Pengadilan tingkat bawah ? Atau apakah ini hanya sekedar modus para koruptor untuk meringankan hukuman yang diterimanya?

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 2019 hingga September 2020 ada 23 koruptor yang memperoleh keringanan hukuman melalui PK, belum termasuk yang ditangani Kejaksaan Agung dan Polri (Kompas 9 Oktober 2020).

Data diatas menunjukkan adanya hubungan yang selaras meningkatnya para koruptor mengajukan PK ke MA dengan hasil pengurangan hukuman.

Menurut analisa peneliti senior LeIP, Arsil, salah satu penyebab meningkatnya permohonan PK adalah karena Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun. Saat Artidjo masih menjabat, banyak hukuman koruptor diperberat ditingkat kasasi dan PK. Setelah Artidjo turun, muncul banyak PK, terutama masalah  Korupsi (Kompas 26 September 2020).

Meningkatnya pengajuan PK perkara Korupsi tahun demi tahun, sejak Hakim Agung Artidjo pensiun dan kecendrungan putusan PK meringankan hukuman koruptor menarik untuk disimak.

Alasan Untuk Mengajukan PK

Menurut Pasal 263 (2) KUHAP, PK dapat diajukan atas 3 alasan.
a. Terdapat keadaan baru, yang apabila muncul pada waktu sidang berlangsung bisa membuat putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan atau tuntutan jaksa tidak dapat diterima atau hukuman lebih ringan. Keadaan yang baru ditemukan itu dikenal dengan "novum".

b. Apabila terdapat bukti2 yang dijadikan dasar putusan saling bertentangan.

c. Apabila putusan memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan.

Para koruptor dalam upaya mengajukan PK bisa mengajukan semua alasan atau dua alasan atau hanya 1 alasan saja untuk mengajukan PK setiap saat, kapan saja diinginkannya tanpa batas waktu (Pasal 264 (3) KUHAP).

Alasan PK adanya novum, bisa dipahami akan membuat hakim2 sebelumnya akan keliru menjatuhkan hukuman, karena buktinya belum ada pada waktu putusan dibuat. Contoh kasus fenomenal Sengkon dan Karta yang kita uraikan di awal tulisan. Penemuan novum adalah peristiwa luar biasa dan biasanya tidak direncanakan. 

Bahkan seperti kasus Sengkon dan Karta novumnya karena kebetulan dan ada unsur "lucky". Siapa yang bisa mengira Genol masuk penjara lebih dulu karena mencuri bertemu kemudian dengan Sengkon pamannya karena dipenjara atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Kalau seandainya Sengkon bukan pamannya ada kemungkinan  Genol juga tidak akan buka suara. Jadi penemuan novum untuk alasan PK probabilitasnya sangat kecil.

Berdasarkan penelurusan bagaimana novum ditemukan, dapat diyakini bahwa pengajuan PK yang diajukan oleh para koruptor rame2 akhir ini ke MA bukan dengan alasan adanya novum. Jadi putusan2 yang meringankan hukuman atas PK yang diajukan koruptur bukan karena adanya novum.

Selain daripada alasan novum, ada 2 alasan lagi yang dibenarkan oleh KUHAP, yaitu bukti yang saling bertentangan dan karena hakim khilaf atau keliru. 

Perkara2 pengajuan masif PK Koruptur akhir2 ini bisa dipastikan menggunakan 2 alasan diluar novum. Alasan mereka mengajukan PK karena hakim sebelumnya telah melakukan kesalahan menilai bukti, khilaf atau keliru. Artinya mereka beranggapan bahwa mulai dari Majelis Pengadilan Negeri Tipikor (5 orang), Majelis Pengadilan Tinggi (3 orang) pada tingkat banding, Majelis Hakim Agung (3 orang) pada tingkat kasasi telah melakukan kesalahan.

Padahal sebelum diajukan PK, perkara sudah ditelaah oleh 11 orang hakim dalam berbagai tingkat. Agar lebih konservatif anggaplah dari 11 orang itu ada 2 orang hakim dissenting (beda pendapat), jadi tersisa 9 orang hakim yang telah menelaah kasus tsb dan telah menjatuhkan hukuman sehingga telah mempunyai kekuatan yang tetap (in kracht van gewijsde).

Apakah mungkin 9 orang profesional terdidik menjalani profesinya sebagai hakim dalam berbagai strata tingkat pengadilan tidak cermat mengadili perkara, sehingga salah menilai bukti, khilaf atau keliru dan memberikan hukuman yang berat? Jawabnya mungkin saja, hakim juga manusia.

Apakah mungkin seluruh 23 perkara pengajuan PK korupsi sejak 2019 sampai September 2020 semua hakim sebelumnya telah salah menilai bukti, khilaf atau keliru, sehingga PK dikabulkan dan hukuman jadi lebih ringan? Akal sehat tentunya tidak bisa membenarkan kemungkinan tersebut. Tapi kenyataannya itulah yang terjadi saat ini.

Sesuatu yang tidak bisa diterima dengan akal sehat tentu akan menimbulkan kecurigaan.

Ini ibarat kentut di tengah keramaian, bau busuknya tercium oleh semua orang, tapi mencari siapa yang buang angin sukar sekali.
Jawaban Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah dengan mengatakan Majelis Hakim PK selalu mengadili perkara sesuai UU dan rasa keadilan(Kompas 9 Oktober 2020), terasa menghina intelegensia publik tentang keadilan.

Seharusnya "stake holder" keadilan, seperti KPK, Komisi Yudicial, Ketua MA, dll, mulai mengarahkan perhatian untuk mencari sumber "bau busuk" ini, agar publik tidak terus bertanya2. 

Adanya kecendrungan pengurangan hukuman bagi koruptor dengan modus mengajukan PK kepada MA, membuat MA menjadi sorotan publik. Banyak tuduhan yang ditujukan kepada MA yang telah menggergaji upaya pengadilan dibawah MA,  dalam rangka membuat kapok koruptor dengan memberikan hukuman berat.

Kelemahan KUHAP

Pemahaman bahwa mencari keadilan tidak bisa dibatasi waktu sangat bisa dipahami. Berpedoman pada kasus Sengkon dan Karta bahwa novum bisa ketemu kapan saja. Jadi alasan PK yang bisa dilakukan kapan saja tanpa batas waktu dan bisa dilakukan berkali2 sangat masuk akal demi mencari keadilan (Pasal 264 (3) KUHAP).

Tapi menempatkan 3 alasan2 pengajuan PK dalam kualitas yang setara, nampaknya tidak benar. Penemuan novum bisa kapan saja, tapi masalah penilaian bukti dan kekhilafan atau kekeliruan hakim sudah dapat diketahui sejak putusan diterima.

Seharusnya pengajuan PK karena alasan masalah penilaian bukti dan kekhilafan dan kekeliruan hakim dibatasi waktunya, misal dengan 380 hari terhitung sejak putusan diterima.

Berbeda dengan KUHAP yang mengatur masalah pidana, dalam aturan Hukum Acara Perdata membatasi waktu untuk pengajuan PK karena alasan penilaian bukti atau kekhilafan kekeliruan hakim, 380 hari terhitung sejak putusan diterima.

Pasal 163 (2) dan Pasal 264 (3) KUHAP yang menyamaratakan 3 dasar alasan pengajuan PK dan dapat dilakukan setiap waktu, merupakan salah satu sebab masifnya pengajuan PK dari koruptor. Pasal ini memungkinkan para koruptor melakukan "window shopping" untuk mengajukan PK. 

Pada waktu ada Artidjo Alkostar masih di MA sebagai Hakim Agung, mereka pada menahan diri dan takut hukumannya malah bertambah kalau mengajukan PK. Pas liat MA mulai lagi "pesta diskon" hukuman, mereka pada rame2 mengajukan PK. Hal ini memungkinkan karena KUHAP memperbolehkan kapan saja PK diajukan. Seharusnya hanya karena alasan novum saja yang memperbolehkan PK diajukan kapan saja, tanpa batas waktu.  Alasan diluar itu, harus dibatasi waktunya, karena alasan tersebut telah diketahui sejak putusan diterima.

Pasal 263 (2) KUHAP yang menempatkan alasan a. Novum b. Penilaian bukti c. Kekhilafan atau Kekeliruan Hakim, setara dan mengaitkan dengan Pasal 264 (3) yang bisa dilakukan kapan saja, justru menjadikan upaya PK menciptakan ketidak pastian hukum. 

Harusnya alasan "novum" saja yang boleh diajukan kapan saja, berkali2 yaitu ketika novum ditemukan. Khusus alasan b. Penilaian bukti c. Kekhilafan atau Kekeliruan Hakim karena sudah diketahui pada waktu putusan diterima, perlu diatur batasan waktu untuk pengajuannya.

Kelemahan yang terkandung dalam Pasal2 PK dalam KUHAP telah dipergunakan oleh para koruptor alih2 mencari keadilan malah dipergunakan untuk mempermainkan keadilan.

Semoga ada orang perorangan, elemen masyarakat yang merasa dirugikan rasa keadilannya karena KUHAP tidak sesuai dengan UUD 1945 khususnya tentang keadilan yang berkaitan dengan kepastian hukum dan berani mengajukan uji materi (judicial review) terhadap pasal 263 (2) dan Pasal 264 (3) KUHAP Undang2 Nomor 8 tahun 1981.

BERBAGI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun