Mendapatkan hukuman merupakan hal yang menyakitkan untuk dirasakan dan pahit untuk ditelan. Termasuk bagi mereka yang jelas2 bersalahpun jarang mau secara sukarela menerima hukuman atas kesalahan yang diperbuatnya. Memahami dan menerima keadilan dengan menerima hukuman bagi yang bersalah tidak bisa begitu saja  gampang diterima.Â
Apalagi bagi yang jelas2 tidak berbuat atau tidak bersalah tapi menerima hukuman atas perbuatan orang lain atau atas perbuatan yang tidak salah. Bisa saja suatu ketika proses hukum yang dipercaya untuk menemukan keadilan, justru melahirkan ketidak adilan. Ironis memang, sistim hukum yang diciptakan untuk mencari keseimbangan malah menciptakan kekacauan.
Peristiwa perampokan dan pembunuhan terhadap suami isteri Sulaiman dan Siti Haya yang terjadi pada tahun 1974 di desa Bojong Sari, Â Bekasi, sudah hapus dalam ingatan masyarakat. Tapi apabila disebutkan nama Sengkon dan Karta yang dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan, akan dengan cepat membawa memori publik untuk mengingatnya.Â
Sengkon dan Karta dihukum atas perbuatan yang tidak dilakukannya dengan hukuman pidana penjara masing2 12 tahun dan 7 tahun penjara. Hakim Pengadilan Negeri Bekasi Djurnetty Soetrisno bergeming dengan pembelaan Sengkon, Karta. Pembelaan bahwa mereka tidak melakukannya dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mereka tanda tangani dihadapan Polisi karena tidak tahan disiksa, diabaikan oleh sang Hakim.
Mereka beruntung karena ketika di penjara bertemu dengan pelaku sebenarnya Genol yang dipenjara karena kasus pencurian. Genol yang kebetulan adalah ponakan Sengkon mengaku bahwa dialah yang merampok dan membunuh pasutri Sulaiman dan Siti Haya. Genom akhirnya pada Oktober 1980 mendapat ganjaran atas perbuatannya dengan hukuman selama 12 tahun pidana penjara.
Bagaimana nasib Sengkon dan Karta yang jelas sesuai fakta hukum, salah orang, salah tangkap, salah hukum ? Mereka tetap masih terkurung dalam penjara, tidak serta merta bebas karena telah ditemukan pelaku kejahatan yang sebenarnya.Â
Sistim hukum ketika itu belum mengenal melakukan Peninjauan Kembali atas mereka yang telah dihukum berdasarkan putusan yang sudah mempunyai kekuatan tetap (in kracht van gewijsde). Hukum yang diharapkan memberi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, justru telah mencekik Sengkon dan Karta dengan ketidak adilan.Â
Hukum yang sama tidak berdaya mengembalikan keadilan kepada Sengkon dan Karta. Berkat kegigihan Albert Hasibuan seorang pengacara dan anggota DPR, baru pada bulan Januari 1981 Sengkon dan Karta merebut kemerdekaannya kembali.Â
Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji memerintahkan keduanya bebas dari penjara lewat jalur Peninjauan Kembali (PK). Publik tersadar bahwa lembaga PK sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan keadilan bila hukum dalam prosesnya keliru.Â
Kepastian hukum kadang2 harus diabaikan ketika ada keadaan darurat yang tidak biasa. Butuh pintu darurat, butuh upaya luar biasa untuk mengantisipasi seandainya hukum melakukan kesalahan. Butuh upaya luar biasa yang dinamakan Peninjauan Kembali untuk menemukan keadilan yang sempat terselip.
Peninjauan Kembali Dalam KUHAP