b. Apabila terdapat bukti2 yang dijadikan dasar putusan saling bertentangan.
c. Apabila putusan memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan.
Para koruptor dalam upaya mengajukan PK bisa mengajukan semua alasan atau dua alasan atau hanya 1 alasan saja untuk mengajukan PK setiap saat, kapan saja diinginkannya tanpa batas waktu (Pasal 264 (3) KUHAP).
Alasan PK adanya novum, bisa dipahami akan membuat hakim2 sebelumnya akan keliru menjatuhkan hukuman, karena buktinya belum ada pada waktu putusan dibuat. Contoh kasus fenomenal Sengkon dan Karta yang kita uraikan di awal tulisan. Penemuan novum adalah peristiwa luar biasa dan biasanya tidak direncanakan.Â
Bahkan seperti kasus Sengkon dan Karta novumnya karena kebetulan dan ada unsur "lucky". Siapa yang bisa mengira Genol masuk penjara lebih dulu karena mencuri bertemu kemudian dengan Sengkon pamannya karena dipenjara atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Kalau seandainya Sengkon bukan pamannya ada kemungkinan  Genol juga tidak akan buka suara. Jadi penemuan novum untuk alasan PK probabilitasnya sangat kecil.
Berdasarkan penelurusan bagaimana novum ditemukan, dapat diyakini bahwa pengajuan PK yang diajukan oleh para koruptor rame2 akhir ini ke MA bukan dengan alasan adanya novum. Jadi putusan2 yang meringankan hukuman atas PK yang diajukan koruptur bukan karena adanya novum.
Selain daripada alasan novum, ada 2 alasan lagi yang dibenarkan oleh KUHAP, yaitu bukti yang saling bertentangan dan karena hakim khilaf atau keliru.Â
Perkara2 pengajuan masif PK Koruptur akhir2 ini bisa dipastikan menggunakan 2 alasan diluar novum. Alasan mereka mengajukan PK karena hakim sebelumnya telah melakukan kesalahan menilai bukti, khilaf atau keliru. Artinya mereka beranggapan bahwa mulai dari Majelis Pengadilan Negeri Tipikor (5 orang), Majelis Pengadilan Tinggi (3 orang) pada tingkat banding, Majelis Hakim Agung (3 orang) pada tingkat kasasi telah melakukan kesalahan.
Padahal sebelum diajukan PK, perkara sudah ditelaah oleh 11 orang hakim dalam berbagai tingkat. Agar lebih konservatif anggaplah dari 11 orang itu ada 2 orang hakim dissenting (beda pendapat), jadi tersisa 9 orang hakim yang telah menelaah kasus tsb dan telah menjatuhkan hukuman sehingga telah mempunyai kekuatan yang tetap (in kracht van gewijsde).
Apakah mungkin 9 orang profesional terdidik menjalani profesinya sebagai hakim dalam berbagai strata tingkat pengadilan tidak cermat mengadili perkara, sehingga salah menilai bukti, khilaf atau keliru dan memberikan hukuman yang berat? Jawabnya mungkin saja, hakim juga manusia.
Apakah mungkin seluruh 23 perkara pengajuan PK korupsi sejak 2019 sampai September 2020 semua hakim sebelumnya telah salah menilai bukti, khilaf atau keliru, sehingga PK dikabulkan dan hukuman jadi lebih ringan? Akal sehat tentunya tidak bisa membenarkan kemungkinan tersebut. Tapi kenyataannya itulah yang terjadi saat ini.