Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyoal UU Omnibus Law

7 Oktober 2020   05:59 Diperbarui: 8 Oktober 2020   06:35 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah buruh berunjuk rasa di kawasan EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020). Pada aksinya itu mereka menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dan mengancam akan melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/pras. (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah)

Kepentingan mereka direpresensikan oleh pemimpin-pemimpin kaum buruh. Jadi perjuangan sebenarnya sangat digantungkan kepada niat tulus segelintir pemimpin kaum pekerja. Kadang-kadang demi kepentingan pribadi pemimpin kaum pekerja "menjual" kepentingan kaum pekerja yang diwakilinya kepada kapitalis atau negara.

Dilapangan banyak praktik-praktik dimana pemimpin pekerja menggunakan posisinya untuk menggertak para pengusaha untuk mendapatkan sesuatu dengan ancaman pemogokan. Senjata pemogokan massal bukan dipergunakan untuk memperjuangkan kepentingan pekerja, malah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

Hampir saja masyarakat percaya isu yang beredar bahwa pada waktu pengesahan rancangan UU Omnibus Cipta Kerja tanggal 5 Oktober 2020, pada saat yang berbarengan Said Iqbal Presiden Konfederasi Serikat Pekerja (KSPI) diundang Presiden Jokowi ke istana negara dalam rangka tawaran jabatan wakil menteri. 

Untunglah Mentri Sekretaris Negara Pratikno lekas membantah bahwa isu tersebut tidak benar.

Ironisnya kadang-kadang di negara yang partai buruhnya berkuasa masih ada demonstrasi buruh untuk memperjuangkan haknya. Padahal seharusnya sesuai akal sehat partai buruh yang berkuasa di suatu negara akan memenuhi seluruh keinginan kaum pekerja.

Kondisi seperti ini kadang membuat kualitas perjuangan kaum pekerja suka dipertanyakan. Ada kemungkinan aksi-aksi demo dan kemurnian tuntutan kaum pekerja menjadi artifisial dan dianggap hanya  sebagai menaikkan posisi tawar pemimpin-pemimpin pekerja di mata kapitalis dan negara.

Sebaliknya, Negara melalui Pemerintah dan DPR merasa telah menjadi wasit yang adil dengan mensahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja menjadi UU tanggal 5 Oktober 2020. 

Pemerintah merasa yakin telah menciptakan Undang-Undang yang menghapus ego sektoral, memudahkan UMKM berkembang dan mempunyai aturan yang ringkas untuk menciptakan lapangan kerja dan kondisi investasi yang kondusif.

Pemerintah dan DPR telah merasa berjasa membuat satu Undang-Undang yang mengatur banyak hal. Dari 79 Undang-Undang yang ada dengan 1.244 pasal telah dirampingkan menjadi satu Undang-Undang dalam 15 Bab dan  174 Pasal. 

Klaim ini perlu dipertanyakan karena untuk menindak lanjuti Undang-Undang Cipta Kerja diperlukan kira-kira 400 Peraturan Pemerintah. Pemerintah memerlukan waktu 2 bulan untuk menciptakan aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah. 

Apakah aturan-aturan yang diatur Peraturan Pemerintah yang akan dibuat bukan sekedar merubah kualitas yang tadinya berupa Undang-Undang diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun