Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Seluk-beluk Force Majeure dan Relevansinya di Tengah Covid-19

27 Agustus 2020   06:43 Diperbarui: 1 September 2020   09:23 1640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat (Foto : Bening Air Telaga)

Suatu "perjanjian" membuat para pihak saling terikat untuk menuntut hak dan melakukan kewajiban. Menuntut hak adalah suatu hal yang menyenangkan. 

Hasil dari menuntut hak, para pihak akan mendapat dan/atau menikmati sesuatu. Pihak Pembeli akan dengan senang hati menerima apa yang dibelinya karena itulah tujuannya membeli. 

Penyewa akan senang menempati rumah yang disewa karena dengan demikian bisa istirahat, melakukan kegiatan domestik dan terlindungi dari kerahasiaan dan cuaca. 

Debitur sumringah bisa mencairkan kredit yang diajukan, bukan kebayang mau kawin lagi, tetapi kebayang akan makin berkembang usahanya dengan tambahan modal.

Bagaimana dengan melakukan kewajiban?

Ini adalah masalah yang berat. Di mana=mana kalau sudah melakukan kewajiban, alih-alih merasa senang, malah terasa terbebani. Pada waktu mau membayar uang-uang sewa, kalau bisa diundur akan dilakukan.

Mau bayar cicilan hutang? Wah kalau bisa ngemplang saja.

Adakah suatu keadaan yang tidak perlu melakukan kewajiban atau minimal menunda untuk melaksanakan kewajiban?

Ada! Ini baru asyiiik. Keadaan apakah itu? Ini yang dinamakan keadaan Force Majeure. Tunggu dulu bro. Jangan terlalu senang dulu. Tidak semua keadaan bisa dikatagorikan sebagai keadaan Force Majeure.

Force Majeure

Force Majeure adalah suatu keadaan diluar kekuasaan manusia. Keadaan yang terjadi melampaui kemampuan manusia untuk mengatasinya.

Salah satu ciri dari di luar kemampuan manusia, peristiwanya terjadi diluar dugaan baik waktunya maupun kejadiannya sendiri. Kapan terjadinya dan apa peristiwanya tidak ada yang tau.

Selanjutnya pihak yang berkewajiban tidak berperanan sama sekali membuat terjadinya keadaan force majeure. Apabila pihak yang berkewajiban pemicu terjadinya, maka tidak bisa dikatagorikan force majeure, walaupun peristiwanya diluar kemampuan manusia mengatasinya.

Contoh, kebakaran barang dagangan karena kelalaian debitur.  Keadaan ini tidak bisa dijadikan keadaan force majeure bagi debitur.

Selain itu pihak yang berkewajiban sudah melakukan upaya=upaya yang maksimal untuk memenuhi kewajibannya. Apabila tidak ada upaya sama sekali alias hanya berpangku tangan saja menghadapi suatu keadaan, tidak bisa dinamakan keadaan force majeure. Syarat terakhir. Peristiwanya relevan dengan kewajiban.

Boleh dikatakan erat hubungannya antara peristiwa dengan kewajiban. Hubungannya merupakan sebab dan akibat. Syarat relevansi inilah yang mengakibatkan suatu keadaan Force Majeure menjadi unik.

Keadaan force majeure tidak bisa diberlakukan secara umum, harus dilihat kasus demi kasus. Erupsi Gunung Merapi di Yogya, tidak otomatis mengakibatkan seluruh perjanjian di daerah Yogya dalam keadaan force majeure. Harus dilihat kasus per kasus.

Banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu keadaan dinamakan force majeure. Kevalidan suatu force majeure tergantung pemenuhan unsur-unsur yang diuraikan diatas.

 Sumber Aturan Force Majeure.

Ada 2 sumber aturan force majeure yang dikenal sebagai klausula yang mengikat dari suatu perjanjian.

1. Sumber yang pertama diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Dengan adanya Pasal2 ini menjadikan aturan Force Majeure berlaku terhadap setiap perjanjian. 

Tidak perduli apakah dalam perjanjian diatur atau tidak sama sekali ketentuannya, namun klausula force majeure tetap mengikat para pihak. Tidak ada alasan bahwa force majeure tidak mengikat karena tidak diperjanjikan. 

Kenapa? Karena Pasal2 UU Hukum Perdata telah mengaturnya. Dari sumber inilah yang membuat setiap perjanjian mengandung ketentuan force majeure secara umum.

2. Sumber berikutnya berasal dari perjanjian itu sendiri. Lho ? Katanya mau dicantumkan atau tidak dalam perjanjian, klausula force majeure mengikat para pihak. Kok ada yang iseng mencantumkan dalam perjanjian, kan pekerjaan mubazir. Apa hanya untuk gaya-gayaan aja biar rame. Tidak, ini bukan gaya-gayaan. Ada perbedaan antara force majeure karena UU dan perjanjian.

Kalau yang bersumber dari UU berlaku umum, sedangkan yang bersumber dari perjanjian berlaku khusus. Bagi para pihak yang ingin lebih spesifik, baik tentang kekuatan berlakunya maupun tentang peristiwanya dapat menuangkannya dalam perjanjian. Perjanjian menganut azaz kebebasan berkontrak. 

Apa saja boleh diperjanjikan dan akan mengikat para pihak sebagai UU bagi mereka (Pasal 1338 KUHPerdata).

Selain itu dikenal azaz lex speciale derogat lex generale, hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum. Force majeure karena perjanjian, akan membuat keadaan-keadaan tertentu yang disepakati saja menjadi keadaan force majeure. 

Apa saja keadaan tersebut dapat terlihat rinciannya dalam perjanjian. Diluar keadaan yang telah disepakati bukan katagori force majeure.

Akibat hukum dari keadaan force majeure-pun dapat disepakati dalam perjanjian. Kalau tidak diperjanjikan, secara umum keadaan force majeure tidak menghapuskan kewajiban, hanya menunda melaksanakan kewajiban. 

Paling yang bisa dihapus adalah kewajiban bunga dan kerugian. Tapi kalau diperjanjikan para pihak diperbolehkan mensepakati perjanjian menjadi batal. Kalau perjanjian batal berarti perjanjian tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi untuk para pihak. Keadaan kembali kepada keadaan semula sebelum perjanjian dibuat.

Force Majeure dalam praktek.

Cara memahami force majeure dalam praktek adalah dengan cara mengamati yurisprudensi putusan-putusan Pengadilan tentang force majeure.

Putusan no 2914 K/Pdt/ 2001 (kerusuhan sosial 14 Mei 1998).

Perusahaan kertas menggugat bank dan asuransi karena barang-barang perusahaan terbakar dalam kerusuhan 14 Mei 1998. Majelis Hakim memutuskan setuju dengan perusahaan asuransi untuk tidak membayar klaim karena yang terbakar bukan obyek yang diasuransikan. Majelis juga menolak kebakaran karena kerusuhan merupakan keadaan force majeure.

Putusan No 3087 K/Pdt/2001 (krisis moneter). Penggugat pembeli apartemen dan sudah melunasi pembayarannya. Developer sebagai Tergugat tidak sanggup menyerahkan unit yang dibeli dengan alasan force majeure krisis moneter. 

Majelis Hakim berpendapat krisis moneter tidak memenuhi syarat keadaan force majeure bagi developer. Developer telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dihukum membayar ganti rugi dan mengembalikan seluruh uang pembayaran unit apartemen.

Putusan Kasasi no 1787/K/Pdt/2005 (krisis Indonesia 1998) antara Pertamina vs PT Wahana Seno Utama (PT WSU). Pertamina mempunyai kontrak Pembangunan, Pengoperasian dan Pengelolaaan dengan PT WSU untuk gedung Menara Gas pada tahun 2003. 

Dalam pekerjaannya PT WSU tidak sanggup melaksanakan sesuai waktu yang disepakati. PT WSU mengemukakan alasan krisis tahun 1998 sebagai force majeure. Majelis hakim membuat putusan dengan menyetujui alasan PT WSU.

Sehingga PT WSU tidak dikatagorikan melakukan kelalaian (wanprestasi). Keadaan krisis 1998 membuat bank sebagai penyandang dana dan investor tidak berdaya.

Putusan 285 K/Pdt/2010 (krisis ekonomi dan keadilan)

Tiga Perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan sistim Perkebunan Inti Rakyat - Transmigrasi (PIR Trans) menggugat bank pemerintah karena tidak sanggup membayar kewajiban hutangnya. Alasan gugatan  karena adanya krisis ekonomi sehingga membuat keadaan force majeure. Gugatan disetujui oleh Majelis Hakim.

Putusan no 587 PK/Pdt/2010 (banjir).

Tergugat membela diri dari kelalaian pengiriman batubara dengan keadaan force majeure karena hujan deras terus menerus sehingga terjadi banjir. Pengiriman batubara yang seharusnya dikirim ke Filipina dan Thailand dengan beberapa kali pengiriman hanya dipenuhi 1 kali pengiriman ke Thailand.

Pembelaan diri keadaan force majeure banjir ini ditolak. Majelis hakim berpendapat keadaan banjir tidak bisa dijadikan alasan keadaan force majeure, karena bisa diprediksi.

Pendemi Covid-19 apakah keadaan force majuere?

Pendemi Covid-19 punya potensi yang bisa diandalkan sebagai alasan menunda atau menghilangkan kewajiban dari perjanjian. Persyaratan di luar kemampuan manusia yang tidak bisa diprediksi sebelumnya terpenuhi.

Sudah pengetahuan umum yang tidak perlu dibuktikan bahwa penyebab pendemi adalah virus yang tidak kasat mata. 

Adanya kebijakan pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan alasan yang valid membuat beberapa perusahaan tertentu mati kutu. 

Bisnis penerbangan, restoran, perusahaan bus, bisnis hiburan, jasa-jasa yang sifatnya tatap muka (misal salon) dan yang terkait akan berakibat langsung dengan kebijakan PSBB karena pendemi. Perjanjian yang pernah dibuat dengan bisnis seperti yang disebutkan diatas mempunyai alasan yang kuat untuk force majeure. 

Perjanjian kredit bank, perjanjian supply ke bisnis terkait, perjanjian pembelian ticket pesawat (bus), perjanjian perawatan pesawat (bus), perjanjian kontrak sewa tempat dengan bisnis terkait, belum lagi perjanjian ikutan dari pegawai perusahaan terkait bila ada PHK atau pengurangan penghasilan pegawai, berpotensi dalam keadaan force majeure.

Sedangkan pihak-pihak yang mengatur secara khusus keadaan dan akibat hukum force majeurenya, siap-siap mengeksekusi kesepakatan mereka. Bagi pihak yang setuju bahwa pendemi bukan hal yang mengakibatkan force majeure, maka kondisi saat ini tidak mempengaruhi keadaan hukum mereka. 

Kalau ada kewajiban harus dilaksanakan, kalau tidak bisa dipenuhi maka terjadi kelalaian atau perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHperdata). Akibatnya pihak yang lalai bisa didenda atau membayar ganti rugi selain dari kewajiban yang seharusnya dilakukan.

Bagi yang sepakat keadaan pendemi merupakan syarat hapusnya perjanjian. Siap-siap mengembalikan keadaan pada kondisi semula. Para pihak tidak perlu lagi memenuhi kewajiban yang disebutkan dalam perjanjian. Hal-hal yang sudah diterima oleh pihak-pihak harus dikembalikan.

Akibat dari force majeure sangat kasuistis, pihak yang mempunyai hak tentunya tidak bisa juga menderita kerugian karena adanya force majeure. Sehingga tidak semua keadaan force majeure harus berakhir di Pengadilan. Dibutuhkan kebijaksanaan dari pihak-pihak yang berhadapan agar sama-sama mengerti bahwa ini suatu keadaan darurat di luar kemampuan manusia. 

Para pihak bisa berunding untuk mencari solusi mengatasi keadaan force majeure. Misalnya pihak bank tentunya tidak mau menerima kerugian karena adanya penundayaan pembayaran, kehilangan penghasilan dari pembayaran bunga. Sehingga akan dicari win-win solution dengan cara rechedulling, restructuring, reconditioning. 

Pembeli ticket promo walau sesuai aturan seharusnya ticket hangus, dapat menuntut reschedulling terhadap jadwal penerbangan. Pemilik mall walau sadar tenantnya kesulitan membayar sewa, tetap minta jadwal kepastian pembayaran untuk merencanakan arus kas perusahaan. Penerbit kartu kredit bila berhadapan dengan pemegang kartu bisnis terkait bisa memberi waktu beberapa bulan untuk menunda cicilan.

Force majeure merupakan keadaan yang luar biasa, kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi bisa tertunda atau hapus sama sekali. Pendemi Covid19 merupakan salah satu peristiwa yang luar biasa mempengaruhi kehidupan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun