Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sepuluh Hari Bersama Kapal Pelni (Bagian Kedua)

25 Juni 2022   05:16 Diperbarui: 25 Juni 2024   23:33 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal Pelni (www.tribunnews.com)

2006. Kepulauan Tanimbar, Maluku -- Bitung, Sulawesi Utara

Kapal Pelni yang saya tumpangi akhirnya merapat di Pelabuhan Kota Merauke. Waktu singgah yang sekitar enam jam, membuat saya mempunyai waktu lebih leluasa untuk turun dari kapal dan sedikit berjalan-jalan. Tentu juga mencari ATM untuk kebutuhan uang tunai.

Saya sedikit santai keluar kapal, duduk-duduk sebentar di pelabuhan, kemudian mulai berjalan ke arah barat. Ini jalan yang paling besar dari pelabuhan, jadi asumsi saya saat itu, jalan besar akan menuju ke arah kota.

Hampir satu jam berjalan kaki, saya belum melihat sesuai yang ramai, entah itu pasar, pusat pertokoan, atau apa pun, kecuali rumah-rumah yang jarang. Namun jalan tetap lebar.

Beberapa toko terlihat. Untungnya ada toko buku kecil yang menjual koran dan majalah. Saya sengaja singgah dan membeli majalah Intisari, yang tentu akan menemani perjalanan saya yang masih jauh beberapa hari lagi.

Saya agak takut bertanya saat itu. Sekali lagi, karena memang saya tidak memegang uang tunai yang cukup. Saya tidak berani menggunakan ojek, taksi, apalagi angkot, karena saya benar-benar buta daerah ini. Saya berpikir, kalau saya tersesat, tidak bisa balik ke kapal, bagaimana.

Jadilah saya hanya berjalan kaki berputar-putar, berharap bertemu keajaiban munculnya ATM. Namun sayang, itu pun tidak terjadi.

Menjelang siang akhirnya saya kembali ke pelabuhan. Lapar dan gontai. Saya bisa saja kembali ke atas kapal dan makan siang. Namun ya, sudah sampai daratan lama, masa tidak jajan sedikit pun. Jadilah saya makan bakso di pelabuhan.

Lewat tengah hari, saya kembali ke atas kapal, pasrah dengan keadaan uang tunai yang makin menipis. Sesekali lewat kembali ke depan tumpukan kardus-kardus bagasi saya. Semua masih tetap pada posisinya.

Enaknya kapal Pelni juga adalah, biasanya terdapat semacam caf di bagian belakang kapal, dengan alunan musik-musik pop terkini yang terdengar keras, namun masih nyaman di telinga.

Untuk membunuh waktu, saya kadang-kadang sekadar duduk-duduk di caf ini, walaupun tidak membeli sesuatu, mengamati ombak putih bergulung akibat putaran baling-baling kapal, atau pun mengamati orang lain seperti saya, sendirian, termenung, ngelamun, sambil ada yang sebagian komat kamit mengikuti lirik lagu.

Dari Merauke, kapal kembali ke Agats. Pada hari keenam perjalanan, pagi hari kami tiba di pelabuhan Timika, di Kabupaten Mimika. Kapal sandar di pelabuhan. Buruh bagasi Papua yang besar-besar pun segera merangsek naik. Saya waspada.

Dari kejauhan saya berjalan hilir mudik melihat kardus-kardus bagasi saya. Tiba-tiba salah seorang buruh bagasi yang tinggi besar berdiri di samping tumpukan kardus saya, mencoba menggeser-geser dan sedikit mengangkat. Dia celingukan, saya pura-pura tidak melihatnya dari kejauhan.

Hati saya sesungguhnya berdebar-debar. Apa jadinya jika buruh bagasi itu nekad, membawa salah satu kardus saya yang super berat itu ke luar kapal, berharap pemiliknya komplain.

Jika itu terjadi, saya akan tetap membutuhkan buruh bagasi tadi untuk mengangkat kardus kembali ke kapal, karena jelas saya tidak akan kuat mengangkat sendirian. Tentu, perlu membayar. Untunglah itu tidak terjadi, karena selain berat, di sebagian kardus jelas tertulis tujuan: Bitung.

Kapal bersandar cukup lama, satu jam lebih. Penumpang turun dan naik telah selesai. Pelabuhan perlahan sepi. Saya pun turun sebentar ke pelabuhan, sekadar kembali menyatakan diri, saya sudah menginjakkan kaki di bumi Papua, walaupun yang saya injak adalah beton pelabuhan.

Saya juga tidak berusaha mencari ATM lagi di sini, karena jelas terlihat dari atas kapal, pelabuhan ini terpencil dan terkurung dengan hutan bakau, jauh dari permukiman.

Hari ketujuh siang, kami tiba di Pelabuhan Kota Fakfak. Waktu singgah kali ini diumumkan hanya sekitar setengah jam. Dari kejauhan telah tampak bukit-bukit yang sesak dengan permukiman. Jalan melingkar sampai ke tebing-tebing terlihat di teluk kecil, tempat pelabuhan berada.

Bertahun-tahun setelah saya singgah di Fakfak ini, saya mengetahui bahwa daerah ini merupakan bagian dari Kesultanan Tidore di Maluku Utara, secara historis maupun budaya sampai sekarang. Penduduk muslim telah dikenal dan tercatat oleh para penjelajah Spanyol pada awal abad ke-17 yang singgah di kota ini.

Saya mencoba turun dari kapal, sekadar duduk-duduk di pelabuhan. Mengamati permukiman sampai ke tebing-tebing tinggi, sampai kapal stom dua kali, saya kembali masuk ke kapal.

Pada pergantian hari ke delapan dan sembilan, tengah malam buta, kapal kami singgah di Pelabuhan Babang di Pulau Bacan, Maluku Utara. Tidak banyak penumpang turun naik di sini. Saya menyempatkan diri bangun dan melihat ke luar, bahkan turun sebentar ke dermaga pelabuhan. Sepi.

Akhirnya kapal berangkat, menuju pelabuhan akhir di Bitung. Bagasi saya masih aman tenteram.

Pagi hari cerah, selepas subuh saya menuju anjungan depan kapal. Kapal kami melewati celah-celah selat sempit antar pulau karang, air laut membiru hitam.

Sekumpulan lumba-lumba silih berganti kanan kiri. Beberapa anak riang berseliweran bolak balik di atas anjungan kapal, memperhatikan sang lumba-lumba beradu cepat dengan kapal. Ini pemandangan laut paling indah yang pernah saya lihat saat itu.

Tanpa saya sadari, sebenarnya perilaku saya yang selalu berjalan hilir mudik di antara lorong-lorong kelas ekonomi, khususnya saat-saat kapal sandar di pelabuhan, ternyata telah diperhatikan seseorang. Hingga suatu saat, yang saya khawatirkan terjadi.

"Itu barang-barang punya Mas?", deg, jantung saya berdegub kencang, karena saya tahu yang bertanya ini adalah petugas kapal.

Sesungguhnya saya juga sudah sering memperhatikan si petugas ini dalam beberapa hari. Dia selalu memperhatikan para penumpang hilir mudik di depan pintu masuk kapal. Sesekali berbicara serius dengan penumpang yang membawa banyak barang. Dan, saya tahu juga bahwa dia pernah memperhatikan kardus-kardus saya dengan saksama.

(www.pelni.co.id)
(www.pelni.co.id)

"Iya Pak", jawab saya.

"Bagasi tidak boleh ditaruh di lorong penumpang, ini mengganggu orang lewat", katanya.

Saya tahu itu juga sih, tapi sebagian besar penumpang lain juga melakukan hal yang sama. Oke, memang itu salah.

"Iya Pak, maaf. Sudah mau sampai Bitung juga sebentar lagi", jawab saya. Saya paham juga, masalah ini adalah masalah uang.

Kami pun beradu argumen, sampai akhirnya saya nyatakan bahwa saya punya tiket bagasi dan sudah membayar untuk bagasi. Namun tentu saja itu tidak cukup, karena tiket bagasi saya menunjukkan jumlah kardus yang lebih sedikit.

Kesalahan saya waktu itu adalah memberikan tiket bagasi ke petugas tersebut. Tiket itu pun akhirnya dipegang dan tidak mau saya minta kembali. Dia memaksa saya membayar kekurangan bayar tiket bagasi.

Saya berpikir, mau berkeras dengan mengatakan "iya akan saya bayar dan tolong siapkan bukti pembayaran", namun sayang, saya pun tidak punya uang cukup saat itu. Uang yang ada, saya perhitungkan hanya cukup untuk membayar buruh bagasi saat turun nanti di Bitung.

"Iya pak, nanti saya bayar, tapi saya tidak ada uang sekarang. Nanti kalau sudah di Bitung saya akan bayar".

Saya berkeras mengaku tidak ada uang, yang memang itulah kenyataannya.

Untunglah di tiket bagasi itu, tidak ada yang menunjukkan nomor kamar saya. Seharian itu saya tidak kembali ke kamar. Saya terus berputar-putar di kapal, dengan harapan petugas tadi tidak tahu saya tidur di kamar mana.

Esok paginya, hari ke-10 saya sudah bersiap. Petugas yang biasa memeriksa tiket melakukan pemeriksaan akhir dan menyatakan selamat jalan dengan tulus. Saya membalas ucapan terimakasih pula tentunya, karena dia kawan saya ngobrol juga selama ini.

Beberapa jam lagi kapal akan sandar di pelabuhan akhir di Bitung. Barang bawaan di kamar sudah saya packing baik-baik. Akhirnya, kapal memasuki Selat Lembeh, siap merapat di Pelabuhan Bitung.

Saya sempat berpikir, bagaimana dengan tiket bagasi saya. Itu adalah bukti pembayaran yang akan saya klaim ke kantor. Tapi, ya sudahlah, itu urusan nanti saya di kantor. Kalau saya nekad ketemu petugas tadi hanya untuk meminta tiket bagasi, belum tentu saya dapat tiket itu kembali, yang ada malah saya digetok membayar biaya bagasi tambahan.

Hal terpenting saat ini adalah, saya bisa meloloskan selusin kardus bagasi saya ke luar dari kapal ini, tanpa membayar lagi.

Hal yang saya harapkan akhirnya terjadi. Ini pelabuhan akhir, akan menjadi situasi paling sibuk, ramai, rumit, dan chaos dari seluruh pelabuhan yang disinggahi selama 10 hari ini sebelumnya. Itu benar terjadi.

Barang saya di kamar masih saya biarkan, dengan perhitungan saya masih dapat membawanya satu kaligus. Saya memperhatikan posisi petugas penahan tiket bagasi saya, jangan sampai berpapasan dengan saya.

Kapal merapat, buruh bagasi segera berlompatan masuk ke dalam kapal. Riuh kacau. Saya masih di kejauhan. Memilih sisi di lokasi bagasi saya lainnya yang tidak diketahui petugas kemarin.

Melihat satu orang buruh bagasi berbadan tegap celingukan mencari konsumen, saya segera mendekati. Negosiasi cepat saya lakukan untuk harga per kardus dibawa ke dermaga. Harga sepakat dan saya menunjuk satu lokasi di dermaga untuk di bawa semua barang ke sana.

Saya tunjukkan pula secara cepat satu lokasi lainnya tempat kardus bagasi saya.

"Ini tidak bisa satu orang, Mas", kata sang buruh bagasi.

"Mana-mana, yang penting harga per koli, buka per orang", kata saya.

"Saya cari teman dulu", kemudian sang buruh bagasi atau porter tadi segera memanggil temannya dua orang lagi. Saya tentu juga sambil celingukan memastikan petugas kapal yang menahan tiket saya, tidak memergoki saya. Suasana kacau membantu ini semua.

Satu dua kardus mulai diangkat. Saya perhatikan dari atas kapal sampai kardus saya ditempatkan pada tempat sesuai perjanjian. Buruh bagasi atau porter tadi kembali lagi dan mulai mengangkat kardus berikutnya. Baiklah, saya sekarang bergegas ke kamar.

Sambil menghindari pos penjagaan petugas, saya kembali ke kamar dan segera membawa dua ransel besar dan satu backpack dalam satu kali angkut. Jalan keluar sudah saya hafal betul, sehingga saya segera menyelinap di antara keramaian.

Alhamdulillah akhirnya saya sampai di tempat kardus-kardus kami menumpuk. Saya letakkan juga ransel-ransel saya. Tinggal beberapa kardus lagi, dan akhirnya semua lengkap.

Saya membayar ketua porter sesuai kesepakatan, dan saya pun menunggu jemputan dari teman saya, yang syukurnya tak berlangsung lama. Semua barang dipindahkan dalam truk, dan kami meluncur ke Manado.

Keramaian Pelabuhan Bitung saat itu sesungguhnya mengingatkan kejadian enam tahun sebelumnya. Saat saya dan teman saya berdua, pertama kali menginjakkan kaki di Sulawesi ini, tanpa teman maupun saudara.

Alhamdulillah, kali ini saya sudah bisa mengandalkan beberapa teman dan kenalan saya di sini untuk membantu.

Beberapa bulan setelah perjalanan 10 hari di kapal Pelni ini, saya bertemu teman kantor saya di Saumlaki dulu, yang datang dari kantor kami di Bogor.

"Waktu lu di kapal, ditanyain terus tuh". Maksudnya ditanya oleh bos kami di Bogor.

"Kenapa", tanya saya.

"Dia tanya, kabar lu gimana".

"Terus?"

"Ya gue bilang udah sampai di Manado. 'Sepuluh hari Pak, kasihan di kapal, tapi kami masih komunikasi terus'. Tapi lu tau ga, komen dia apa?".

"Dia bilang apa?" tanya saya penasaran.

"Wah enak dong dia, sepuluh hari ga kerja. Padahal tetap gue gaji tuh".

"Sialan.." kata saya, dan kami tertawa. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun