Nah, timbulah ide, kenapa tidak sekalian menggunakan jalur udara saja, yaitu naik pesawat terbang. Terdapat penerbangan Saumlaki -- Larat -- Saumlaki sekali dalam sepekan.
Setelah cek kanan kiri, akhirnya jelas dan kami merasa beruntung bahwa jadwal pesawat terdekat adalah lusa. Kami pun mempersiapkan diri. Sebagian dari kami akan ke loket Merpati di pertokoan Larat, dan sebagian lagi akan mencari dan membeli kardus-kardus besar untuk membungkus berbagai peralatan survey kami.
Esok paginya, kami segera menyeberang ke Larat menuju pertokoan tempat loket Merpati buka.
"Cik, masih ada tiket untuk besok ke Saumlaki?", tanya kami.
"Berapa orang?" tanya ibu-ibu setengah baya kepada kami dari balik meja loket.
"Lima orang, cik" jawab kami.
"Hanya tersisa dua tiket lagi" jawab sang ibu.
Kami segera kebingungan, kemudian berdiskusi singkat yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali kekecewaan.
"Begini saja", timpal ibu penjaga loket tadi. "Beta kase lima tiket, kamong bayar. Biasanya setiap penerbangan selalu ada yang cancel. Nah kalau ada yang cancel, kamong bisa masuk. Tapi kalau tidak jadi berangkat, kamong balikan saja tiketnya kepada beta, nanti beta ganti utuh depu uang".
Usul yang menarik. Kami berdiskusi sebentar. Saat itu di tahun 2000an kita tahu memang belum ada sistem tiket elektronik. Semua tiket pesawat manual, bisa ditulis sesuka hati.
Kami pun menyetujui ide ini, daripada harus semua tertunda, lebih baik jika ada yang bisa langsung terbang besok ke Saumlaki. Kami yang tidak bisa terbang, menunggu kapal lagi.