2005-2006. Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Suatu ketika, teman saya mengirimkan informasi lowongan pekerjaan, yang sepertinya cocok dengan kualifikasi saya. Ketika saya lihat lokasi kerja, tertulis Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Terus terang waktu itu, 2005, jaman Google belum setangguh sekarang, saya akhirnya membuka peta cetak konvensional untuk mencari di mana Tanimbar berada.Â
Setelah ketemu, tanpa banyak berpikir, saya langsung iyakan untuk mengirimkan aplikasi lamaran tersebut.
---
Setelah sampai di Ambon siang hari, kami bertiga dari Bandara Pattimura segera menuju counter penjualan tiket pesawat (alm) Merpati Nusantara Airlines (MNA), untuk membeli tiket Ambon -- Saumlaki penerbangan hari esok.
Di sebelah kami tampak bapak-bapak juga sedang membeli tiket yang sama. Dan, saya ingat ketika bapak ini mengeluarkan segepok uang pecahan besar langsung dari tasnya, menghitung uang di hadapan kasir untuk membayar tiket. Waw.
Pagi sekali kami telah tiba di Bandara Pattimura kembali esoknya, setelah sedikit ketegangan di awal subuh karena ada isu penembakan di malam hari tadi. Menunggu penerbangan setelah boarding, saya celingukan lihat kanan kiri.
"Sepertinya itu pesawat kita," kata Pete teman bule saya waktu itu, sambil menunjuk ke sebuah pesawat kecil pada area parkir pesawat di depan ruang tunggu kami. Pesawat Casa C-212. Â
Ternyata benar, kami akhirnya menaiki pesawat tersebut. Sejak itulah, saya mengenal dan mendengar cerita-cerita lucu, tegang, dan konyol terkait pesawat ini, yang saya maupun teman-teman saya alami selama penerbangan kami dari Ambon ke Saumlaki, di Kepulauan Tanimbar.
Kami menyebutkan pesawat Wiro Sableng, karena kode 212-nya itu. Saya hanya pernah menaiki pesawat Casa C-212 ini pada periode 2005-2006, tidak pernah lagi setelah itu, sampai Merpati tutup usia pada 2014 lalu.Â
Jadi, cerita-cerita-cerita berikut hanya pada periode tersebut dan untuk rute yang sama, Ambon -- Saumlaki.
Casa C-212 memang berbadan cukup kecil, dengan sepasang baling-balik di sayapnya.Â
Menurut Wikipedia, pesawat jenis ini dirancang dan diproduksi di Spanyol untuk kegunaan sipil dan militer, walaupun sempat juga diproduksi oleh PT. Dirgantara Indonesia di Bandung sejak 2008.
Saat ini, kadangkala saya masih dapat melihat jenis pesawat jenis ini di suatu bandara, biasanya berwarna loreng-loreng, khususnya ketika berada di bandara umum komersial yang masih satu hamparan dengan sebuah pangkalan militer di Indonesia.Â
Saya kurang tahu apakah saat ini masih ada maskapai penerbangan sipil yang masih memakai Casa ini.
Hal yang saya senangi pula dari pesawat ini adalah nama-namanya. Tepat di bawah jendela kokpit pilot, biasanya tertulis nama diri pesawat. Umumnya yang tertulis adalah nama-nama pulau di Indonesia.
Bagi saya ini unik, menarik, dan membanggakan, karena Indonesia sekali. Banyak nama pulau di Indonesia yang sungguh unik terdengar dan terkesan eksotis. Persis membanggakan seperti nama-nama kapal PELNI kita yang menggunakan nama gunung-gunung di Indonesia.
Hal pertama berkesan ketika saya memasuki pesawat C-212 ini adalah jumlah dan komposisi tempat duduk.Â
Kursi tersedia 21 seat dengan komposisi dua kolom dan satu kolom, tujuh baris. Tidak ada nomor tempat duduk, jadi istilahnya siapa cepat dia dapat.
Seperti umumnya di bandara, bagasi kami telah diatur oleh petugas maskapai sejak awal check-in. Tapi setelah masuk ke dalam pesawat, ternyata sebagian barang-barang kami hanya "disesakkan" di bawah kursi-kursi duduk pesawat. Kurang tempat bagasi sepertinya.
Petugas yang kami kira pramugari, mengantar dan mengatur kami di dalam pesawat sebelum keberangkatan. Yang saya heran saat itu adalah, snack sudah dibagikan saat kami baru saja masuk dalam pesawat. Tak apalah. Tapi ternyata, pramugari yang mengatur kami tadi, justru keluar sebelum pesawat siap lepas landas. Jadi kami penumpang ditinggal hanya berdua dengan pilot dan kopilot, tanpa pramugari.
Pengalaman snack juga lucu-lucu, pengalaman saya maupun cerita dari teman saya. Kadangkala memang snack hanya berisi sepotong roti dan satu gelas air mineral. Tapi kadangkala juga kami menerima snack berupa singkong atau pisang goreng. Indonesia sekali.
---
Singkat cerita kami akhirnya terbang. Alhamdulillah perjalanan pertama itu lancar ceria. Sepanjang perjalanan tentu saya lengak lengok ke jendela, karena ini perjalanan pertama saya di Maluku.
Sepertinya pesawat terbang tidak terlalu tinggi. Laut dan pulau-pulau terlihat jelas. Ketika pesawat berbelok, sangat terasa sekali kemiringan pesawat. Dan ketika miring itulah, tiba-tiba ruang kokpit pilot terbuka. Ya, ruang kokpit ini hanya ditutupi oleh semacam gorden, sehingga ketika pesawat miring, kain gorden pun tersingkap.
Cerita ruang kokpit juga macam-macam. Suatu ketika ruang kokpit terbuka, sehingga saya bisa dengan jelas melihat pilot duduk dan ngobrol dengan kopilot. Tapi yang saya rasa lucu dan ngenes saat itu, pilot tampak sesekali memandang sebuah benda di depannya.
Pilot mengamati GPS Garmin III plus yang berlayar hitam putih dengan antena tambahan di sisi kirinya.Â
Saya ingat persis, karena GPS itu pula yang ada di tas saya saat itu. Sialan, kami terbang hanya dipandu GPS seribu umat.
Suatu ketika teman saya juga pernah bercerita. Dia melihat pilot dengan santainya merokok dengan jendela kokpit sedikit terbuka.Â
Pernah juga terlihat kaca kokpit yang rengat hanya ditambal lakban. Luar biasa. Tapi Alhamdulillah, perjalanan kami semua lancar dan aman saja selama yang kami alami.
Baca juga: Ketinting, Kapal Layar, dan Kehidupan Desa Pesisir
---
Lapangan terbang Saumlaki, yang terletak di Desa Olilit saat itu bukanlah lapangan terbang yang berstandar baik, setidaknya menurut saya. Entah bagaimana, runway pesawat bergelombang. Jadi ketika pesawat mendarat, selalu saja terasa dua kali hentakan pendaratan.
Setelah turun, saat itu, saya lihat memang runway pesawat banyak retak dan terbongkar aspalnya. Bahkan sepanjang landasan terbang itu, banyak kotoran sapi bertebaran. Tidak hanya kotorannya ternyata, sapinya pun terlihat di kanan kiri runway tersebut.
Gedung ruang kedatangan memang sudah ada, tapi belum ada coveyor bagasi saat itu. Jadi kami menunggu bagasi di pintu masuk ruang kedatangan. Ternyata bagasi tidak dibawa oleh mobil khusus, tapi oleh kendaraan khusus, yaitu gerobak kayu yang ditarik oleh seorang buruh. Gerobak sampai, kami pun berebutan.
Saumlaki merupakan ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, berada di Pulau Yamdena, kabupaten paling selatan di Provinsi Maluku.Â
Saat itu tidak banyak hiburan yang bisa disaksikan di kota kecil ini. Maka ketika ada tamu atau teman berkunjung, kami selalu bersemangat menjemput atau mengantar ke lapangan terbang ini, sekadar melihat kesibukan manusia di sana.
Pernah suatu ketika, teman saya akan kembali ke Ambon. Kami memanggilnya Bang Budi. Kebetulan dia berbadan cukup besar. Kami menemani check-in. Petugas check-in saya lihat juga lelaki berbadan cukup gemuk.
Setelah bagasi ditimbang dan diserahkan, tiba-tiba petugas bagasi berbicara dengan nada agak ketus.
"Bapak naik juga ke timbangan," kata sang petugas.
"Saya juga ditimbang?" Tanya Bang Budi.
"Iya, ditimbang juga."
"Tapi biasanya penumpang tidak ditimbang," ngenyel teman saya ini. Tapi akhirnya dia menyerah, naik juga ke timbangan duduk portable di hadapannya. Tampak jarum timbangan menunjuk sekitar 110 kg.
Selesai ditimbang, kami duduk menunggu panggilan boarding, Bang Budi mulai berbicara kepada kami.
"Saya curiga, hanya orang-orang berbadan besar yang ditimbang. Penumpang lain tidak," katanya.
"Iya, sepertinya begitu," timpal kami.
"Mungkin takut pesawat overweight," kata teman saya yang lain sambil tertawa.
"Iya saya pikir juga begitu. Makanya ketika ditimbang tadi, saya berusaha berpegangan ke meja check-in, menekan kuat supaya timbangan saya tidak terlalu berat," kami semua tertawa.Â
Untunglah Bang Budi ini tetap diizinkan masuk dan terbang di pesawat Casa ini.
Penerbangan Ambon -- Saumlaki saat itu memang hanya dilayani oleh MNA, tidak ada maskapai lain. Itu pun tidak setiap hari.Â
Barulah pada pertengahan 2006, mulai masuk maskapai Trigana Air, berselang seling dengan MNA. Namun tetap, dengan kondisi runway yang bergelombang dan penuh kotoran sapi.
Biasanya, ketika akan ada pesawat turun atau siap lepas landas, akan ada bunyi sirene khusus.Â
Suatu ketika, pesawat sudah siap di ujung landas pacu. Sirene sudah berhenti berbunyi. Namun pesawat tidak kunjung terbang.
Tiba-tiba seseorang dari kantor lapangan terbang ini, dengan motor melaju menuju ujung landas pacu lainnya.Â
Sekitar lima menit, si pengendara motor kembali. Sirene dibunyikan kembali. Kemudian terdengar deru mesin pesawat dan pesawat melintas kemudian lepas landas.
Kami tanya kanan kiri, kenapa tadi pesawat lama berangkat, dan kenapa ada orang dengan motor masuk ke landasan ketika pesawat akan berangkat.
"Biasa itu Pak. Mungkin ada sapi melintas di jalur terbang, sehingga perlu orang untuk mengusir dan dan memastikan sapi itu tidak berada dekat di jalur terbang," kata seorang petugas.
"Ooo." Pesawat delay karena sapi melintas runway.
Baca juga: Angin Barat, Kapal Kayu, dan Yamdena
---
Soal keterlambatan pesawat MNA sesungguhnya dahulu jarang terjadi di Saumlaki, kecuali pesawat tidak jadi datang dari Ambon pada hari yang seharusnya, maka pasti tidak ada juga penerbangan hari itu. Pesawat dari Ambon akan langsung balik lagi ke Ambon, tidak pernah menginap di Saumlaki.
Repotnya adalah ketika penggagalan penerbangan terjadi di Ambon yang menuju Saumlaki. Kami biasa menginap di Kota Ambon.Â
Jarak dari Kota Ambon ke Bandara Pattimura saat itu sebelum ada Jembatan Merah Putih, masih sekitar 35-an km dengan waktu tempuh lebih dari satu jam.
Tidak seperti jaman sekarang, penundaan penerbangan saat itu tidak dapat kita ketahui sebelum kita sampai ke bandara.Â
Jadi ketika kami sudah subuh-subuh berangkat dari Kota Ambon dengan waktu tempuh cukup lama, lalu tiba-tiba sampai di bandara dikatakan penerbangan digagalkan.
Mau tidak mau kami pun harus balik lagi ke Kota Ambon, membayar taksi lagi, hotel lagi, dst. Walaupun sudah ada juga hotel transit dekat bandara, tapi umumnya kami tetap memilih balik ke Ambon.
Pengalaman paling mengenaskan dan menegangkan pernah terjadi pada teman saya. Saat itu teman saya dari Saumlaki akan kembali ke Ambon. Saya dan beberapa teman ikut mengantar sampai lapangan terbang Olilit. Hitung-hitung piknik singkat.
Penerbangan menjelang siang, maka kami pun ke lapangan terbang sudah membawa nasi bungkus, yang memang rencana akan dimakan di ruang tunggu nanti. Semua proses keberangkatan teman saya lancar, sampai akhirnya pesawat lepas landas dan menghilang dari pandangan.
Kami yang sudah berbekal nasi bungkus, tanggung langsung balik. Jadi ketika semua pengantar sudah kembali, bandara sepi, hanya tinggal beberapa petugas, kami pun mulai membuka bungkusan nasi kemudian makan.
Sekitar 30 menit setelah lepas landas dan kami sudah menghabiskan nasi kami dan hampir kembali, tiba-tiba sirene meraung-raung kembali. K
ami berpikir, biasanya tidak ada pesawat datang dua kali dalam sehari. Ah, mungkin pesawat lain dari Angkatan Laut atau lainnya. Kami pun menunggu pesawat datang tersebut, sekadar mau melihat.
Tak disangka tak dinyana, yang datang adalah pesawat Merpati lagi, Casa C-212 itu. Setelah mendarat, pesawat meluncur pelan ke arah area parkir pesawat, hanya satu baling-baling berputar. Betapa kagetnya kami, ternyata itu pesawat yang tadi juga, yang dinaiki teman kami itu.
Jadilah kami satu-satunya rombongan yang menyambut kedatangan pesawat. Satu persatu penumpang turun, tanpa suara ceria seperti biasa. Teman kami pun turun, dengan wajah sedikit muram.
"Kenapa balik lagi?" Tanya kami.
"Setelah 15-an menit tadi pesawat lepas landas, tiba-tiba salah satu baling-baling mati," terangnya.
"Terus?" Tanya kami penasaran.
"Kami semua di pesawat panik, seakan-akan kami sudah mau jatuh ke lautan. Akhirnya pilot mengatakan bahwa kami harus kembali ke Saumlaki, karena perjalanan ke Ambon masih lebih jauh daripada ke Saumlaki."
"Syukurlah semua selamat," ungkap kami.
Satu persatu mobil jemputan penumpang lain datang. Mobil sewaan kami untungnya masih ada. Kami kembali ke rumah teman saya itu. Mendengar rinci cerita keriuhan penumpang di dalam pesawat tadi.
Pesawat pengganti datang besok untuk membawa penumpang hari ini. Esoknya, kami antar kembali teman tadi. Kami lihat pesawat yang mati satu mesin itu masih terparkir.
Kemudian pesawat dipindahkan, tapi dengan cara didorong ramai-ramai. Kemudian, beberapa petugas berada di dekat pesawat, sebagian ada yang naik di atas sayap pesawat, tempat mesin berada. Membuka suatu penutup di atas sayap.
Pikiran iseng kami muncul. Ayo kita foto. Masa pesawat diperbaiki seperti di bengkel mobil saja.Â
Saya bergerak pelan membawa kamera digital andalan kami. Sedikit mendekat ke arah pesawat rusak itu, untuk mendapatkan posisi mengambil gambar terbaik. Namun tiba-tiba..
"Hei, mau ke mana?" Bentak seseorang yang sepertinya tentara, karena area ini juga adalah pangkalan udara Angkatan Laut.
"Cuma mau liat-liat saja Pak," terang saya.
"Jangan coba-coba ambil foto!" Bentaknya.
"Siap Pak, tidak," saya pun mundur teratur.
#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H