Sedikit berbagi, walaupun tidak besar bersama sosok ayah kandung sendiri tetap menjadi kebanggaan bagi diri ini dan semoga menginspirasi.
Saya ingat saat-saat kita naik kapal besar mengunjungi daerah ayah diseberang pulau sana. Ayah menggendongku dan mengajak keliling pantai dan kapal.
Saat itu mungkin usia saya masih 3-5 tahun, berlarian di koridor kapal dan berfoto di kaca bulatnya (sayang fotonya sudah rusak).
Hari itu saya, kakak laki-laki saya, ibu, kita pindah ke Sulawesi Tenggara, ke kampung halaman ayah.
Pertemuan Ayah & Ibu dan Pernikahan Dua Suku
Ibuku berdarah Sunda, Jawa Barat sedangkan ayahku berdarah Sulawesi Tenggara, Kendari. Mereka bertemu di kota Purwakarta, tepatnya di Cikampek.
Saat itu ayah sedang bertugas dan mulai mendekati ibu, sering menyelipkan sesuatu dimajalah yang dipesan ibu.
Ibuku gemar membeli majalah, ayahku saat itu adalah seorang Polisi yang juga suka membaca majalah. Dua-duanya satu hobi lalu bertemu dan bersatu.
Mereka menikah tahun 20 Januari 1982 di Kaum, Purwakarta. Lahirlah Abang saya yang pertama tahun 1983, dilanjutkan saya 3 tahun kemudian.
Kisah pernikahan dua suku yang berbeda budaya dan adat kebiasaan. Tetapi jika sudah jodoh tak akan kemana.
Tahun 1989-1990 Tiba di Kampung Ayah Sulawesi Tenggara
Kisah saat di kampung ayah, dalam ingatanku rumahnya tinggi-tinggi, banyak pepohonan besar, dan mandi pun harus di kali/sungai.
Sungainya begitu besar, saya tidak ingat namanya, tetapi binatang buas masih ada dan berkeliaran di sana. Seram!
Kakek adalah seorang tetua di kampung yang konon katanya jika meninggal mayatnya akan disimpan di sebuah gua.
katanya juga itu untuk menghormati para tetua / leluhur yang sudah turun temurun seperti itu. Ibu juga mengiyakan cerita itu.
Sejak kecil saya begitu dekat dengan kakek, selalu di ajak ketika ritual keagamaan di sana. Saya tidak begitu ingat seperti apa persisnya.
Tetapi memang benar jika ada yang meninggal selalu ada ritual khusus ala suku mereka. Itu sekitar tahun 1989-1990 tidak tahu jika sekarang.
Sebenarnya, terbesit dihati ingin sekali pergi ke sana dan memeluk kampung ayah dan keluarganya, beserta kenangannya.
Ayah, Kami Pulang ke Kampung Ibu
Tidak lama ibu di Kendari, kurang lebih dua tahun, entah kenapa beliau kembali ke Jawa Barat, Purwakarta.
Sedikit rumit dimengerti oleh anak-anak semacam diriku saat itu. Aku berontak dan tidak mau ikut pulang ke kampung ibu.
Saat itu ibu sebenarnya akan meninggalkan kami di Sulawesi (aku & kakak laki-lakiku).
Tetapi nenek dikampung halaman ibu, tidak setuju jika kami ditinggalkan. Akhirnya kami di angkut pulang ke Jawa Barat dengan bantuan adik ayah yang bekerja sebagai TNI AU.
Entah apa yang terjadi saat itu, aku benar-benar kehilangan sosok ayah dan kakek dalam hidupku. Hari-hariku tidak seceria dulu.
Setiap hari sepanjang perjalanan ke Sekolah saya selalu mampir ke kuburan entah siapa, dan menangis ingin bertemu ayah (Ada orang yang bilang ayahku sudah tiada).
Selalu iri jika ke Sekolah teman-teman diantar ayahnya, di cium dan dibelikan balon. Sedangkan Aku?
Ah, jiwaku beralih pada kegiatan corat-coret, lalu menggambar, aku suka walau saat itu tidak ada yang mengarahkan. Berimajinasi sendiri.
Aku tuangkan segala isi hatiku dalam buku catatan pelajaran, sehingga nenek kewalahan membeli buku baru.
Buku-buku majalah peninggalan ayah saat di kampung masih ada saat itu, dari situ aku mulai membaca. Mencoba menggemari apa yang ayah gemari.
Majalah mangle, adalah majalah kesukaan ayah. Mungkin karena dia ingin bisa berbahasa Sunda jadi dia membeli majalah itu. Begitu pikirku saat itu.
Sejak saat itu aku lupa siapa ayahku, aku tidak pernah menanyakannya lagi pada ibu. Ibuku pun tidak banyak bicara tentang itu.
Saat remaja aku tumbuh layaknya remaja biasa, dan memiliki pergaulan yang umumnya para remaja lakukan, berteman dengan baik.
Dari SD, SMP/ MTs, SMK, sampai Kuliah pun aku selalu mendapatkan beasiswa, karena tidak mau merepotkan siapapun, ibuku atau nenekku dalam pembayaran iuran sekolah.
Aku tumbuh menjadi anak yang mandiri, berdagang keliling sejak kecil hingga Sekolah Menengah pun aku tetap berjualan makanan, buku, kaos kaki, dan lain sebagainya, untuk ongkos sehari-hari, agar aku bisa tetap pergi dan diterima di sekolah negeri yang saat itu bayarannya sangat terjangkau.
Tiba saatnya aku akan menikah, sosok ayah tiba-tiba hadir dalam lamunanku. Ada air mengaliri dua kelopak mataku.
Ayah, aku adalah anak perempuanmu. Saat ini aku akan menikah. Aku bingung tak tau harus bagaimana?
Aku dekati ibu, kutanyakan perihal ayahku. Pelan-pelan ibu buka suara, mungkin sudah saatnya aku tahu.
Aku bisa memahami, kenapa ibu pulang meninggalkan ayah di sana. Aku tidak akan mempublikasikannya.
Beliau memberiku secarik kertas dengan alamat :
A.H.Benggolo
Kp. Boro-boro R
Ranoo Meeto, Kendari
Sulawesi Tenggara
Aku layangkan sepucuk surat, menuju alamat tersebut. Sebulan kemudian ada balasannya.
Alamat tersebut sudah berganti, karena ada pemekaran kecamatan dan kabupaten di sana.
Aku senang, walaupun yang membalas suratku adalah pamanku, R. Benggolo. Pengganti kakek sebagai tetua/atau mungkin saat ini kepala desa. Kabarnya kakek dan ayah sudah tiada. Aku begitu sedih & terpukul.
Karena kesibukan, beliau pun hadir dalam acara pernikahanku melalui video virtual atau video call dan menyaksikan akad nikahku yang sudah disetujui penghulu dan diwakilkan olehnya sepenuhnya.
Salam.
Hana Marita Sofianti
Purwakarta, 24 Oktober 2020
*Note :
Benggolo : adalah nama marga keluarga ayah saya, yang ibu hapus dibelakang nama saya sehingga nama saya berganti yang tadinya Hana Marita Benggolo, menjadi Hana Marita Sofianti. Cerita ini sudah disetujui ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H