Tetapi nenek dikampung halaman ibu, tidak setuju jika kami ditinggalkan. Akhirnya kami di angkut pulang ke Jawa Barat dengan bantuan adik ayah yang bekerja sebagai TNI AU.
Entah apa yang terjadi saat itu, aku benar-benar kehilangan sosok ayah dan kakek dalam hidupku. Hari-hariku tidak seceria dulu.
Setiap hari sepanjang perjalanan ke Sekolah saya selalu mampir ke kuburan entah siapa, dan menangis ingin bertemu ayah (Ada orang yang bilang ayahku sudah tiada).
Selalu iri jika ke Sekolah teman-teman diantar ayahnya, di cium dan dibelikan balon. Sedangkan Aku?
Ah, jiwaku beralih pada kegiatan corat-coret, lalu menggambar, aku suka walau saat itu tidak ada yang mengarahkan. Berimajinasi sendiri.
Aku tuangkan segala isi hatiku dalam buku catatan pelajaran, sehingga nenek kewalahan membeli buku baru.
Buku-buku majalah peninggalan ayah saat di kampung masih ada saat itu, dari situ aku mulai membaca. Mencoba menggemari apa yang ayah gemari.
Majalah mangle, adalah majalah kesukaan ayah. Mungkin karena dia ingin bisa berbahasa Sunda jadi dia membeli majalah itu. Begitu pikirku saat itu.
Sejak saat itu aku lupa siapa ayahku, aku tidak pernah menanyakannya lagi pada ibu. Ibuku pun tidak banyak bicara tentang itu.
Saat remaja aku tumbuh layaknya remaja biasa, dan memiliki pergaulan yang umumnya para remaja lakukan, berteman dengan baik.