Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hortensia [Side Story of Broken Youth novel]

3 September 2016   16:15 Diperbarui: 3 September 2016   16:39 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biasanya, kalau seorang guru akan pensiun diadakan semacam perpisahan kecil-kecilan. Tapi, Masahiro sensei, sang pengajar Fisika tua yang ditakuti akan kesangarannya, tiba-tiba saja perannya digantikan oleh seseorang berumur sekitar dua puluh tujuh. Begitu masuk kelas, ia mendeklarasikan diri sebagai guru Fisika yang baru. Lalu, mengatakan kalau namanya Katsuro.

Soal penampilan, Katsuro lebih cocok jika menjadi seorang model. Meski tubuhnya dibungkus setelan jas dengan warna yang senada, otot-ototnya bisa dibayangkan. Tingginya sendiri lebih dari 170 senti. Shigeru, murid baru yang datang dua bulan lalu berkali-kali menebak angka tepatnya, karena ia sendiri sudah merasa tinggi sebagai laki-laki dengan modal 176 senti.

Ngomong-ngomong, Shigeru bukannya kurang kerjaan memikirkan berapa tinggi Katsuro. Motif pendorongnya adalah ia curiga akan kedatangan guru penuh senyum itu. Ia rasa, ini ada hubungannya dengan niat balas dendam pada keluarga Yazukawa, dan dimulai dari menghabisi teman sekelasnya, Namie, selaku anak terakhir keluarga itu.

Dua jam mata pelajaran pun terasa singkat jika dibandingkan saat Masahiro sensei masih mengajar. Dulu ketegangan yang dirasakan murid-murid, tapi sekarang sangat menyenangkan. Di samping cara mengajarnya lebih santai, rupa Katsuro membuat banyak murid perempuan terkesima.

Dan, ketika Namie dan temannya yang bernama Rin akan pergi ke kantin, gadis itu namanya dipanggil, lalu menoleh. Katsuro menghampirinya dengan setengah berlari untuk mengatakan kalau beberapa hari lagi diadakan bimbingan Fisika sepulang sekolah sebagai persiapan olimpiade.

“Kau anak yang cerdas kata guru-guru yang lain,” kata Katsuro. Ia memegang pundak Namie, kemudian melempar senyum dan tatapan yang membuat Rin kontan saja kebakaran jenggot. “Ganbatte ne[1], kau pasti bisa memenangkannya.”

Sebentar setelahnya, Katsuro melangkah pergi. Gadis itu memerhatikan pundaknya sampai hilang di balik ruang guru, sementara si cerewet Rin memandang Namie dengan mengintimidasi.

“Kita jadi tidak ke kantin?” Rin mengonfirmasi.

“Tentu,” jawab Namie dengan anggukan. Ia pun langsung angkat kaki.

Ketika Rin bisa menyamai langkah seseorang di depannya, ia bergumam samar untuk meredakan geroginya. Meski begitu, ia ingin menanyakan sesuatu. Setelah berlangsung cukup lama, akhirnya ia memberanikan diri.

“Apa kau sama seperti anak perempuan lain?” tanya Rin dan disambut oleh kening Namie yang berkerut. Maksudnya sama itu dalam hal apa? “Etto… apa kau ikut-ikutan suka sama Katsuro seperti yang lain?” sambungnya.

“Aneh sekali kau menanyakan hal itu,” ucap Namie dan diakhiri dengan senyum kikuk. Rin menggaruk kepala sambil memberikan cengiran salah tingkah.

***

Bimbingan untuk olimpiade sudah selesai, tapi Namie masih saja dekat dengan Katsuro. Berbanding terbalik dengan ekspektasi Rin, dan yang lebih parah, kedekatannya dengan gadis itu di sekolah mulai merenggang. Ketika ia mengajak temannya yang pendiam itu untuk makan bersama, penolakan yang didapat selalu saja, “Gomenasai[2], Rin. Katsuro senseiingin berdiskusi denganku.”

Rin bukannya tidak bisa membantah, tapi itu tampaknya akan percuma saja. Meski Namie adalah seseorang yang pendiam, tatapan tegasnya tidak terbantahkan. Lagi pula, ia tidak ingin kalau semisal saja membuat hubungannya dengan Namie tidak baik. Ia pikir, ia harus memberikan bukti atau alasan yang lebih masuk akal kenapa ia tidak suka gadis itu dekat-dekat dengan Katsuro.

Di tempat lain, Namie dan Katsuro sedang mengobrol tentang hal-hal ringan, tapi harus terhenti, karena seorang murid laki-laki mendatangi mereka. Ia lalu berkata kalau pria muda itu ditunggu seseorang di kolam renang sekolah.

Katsuro tampak berpikir untuk menebak-nebak perilah siapa yang ingin berbicara dengannya di tempat itu. Namun, Namie buru-buru menyuruhnya bergegas ke sana. Ia bilang, pembicaraan mereka bisa dilanjutkan lain kali.

***

Jam istirahat kedua tinggal sepuluh menit lagi, jadi Rin ingin ke kamar mandi dulu. Tapi, saat ia melewati pintu dengan tinggi dua kali lipatnya, ia menghentikan langkah, karena temannya satu klub futsal mengajak bicara tentang perubahan jadwal latihan.

  “Iya, soalnya pelatihnya ada urususan penting, gitu,” ujar Rin sambil bersandar pada pintu dan merapatkan kaki. Sejujurnya, ia ingin cepat-cepat buang air kecil.

“Baiklah, aku ke kelas dulu, ya.” Teman Rin berpamitan dan ia mengangguk-angguk dengan ekspresi penuh kelegaan.

Eh. Ketika pemuda Okumura itu akan menegakkan tubuh, ia merasa oleng, karena pintu itu ternyata tidak terkunci dan karenanya sedikit terbuka. Ia berniat untuk menutupnya kembali, tapi penglihatannya sekilas menangkap dua sosok laki-laki di ujung kolam renang. Pelajaran olahraga ‘kan tidak ada jam sore, jadi siapa mereka? Dengan hati-hati, ia pun menguping pembicaraan itu sambil sesekali menyembulkan kepala kalau ada kesempatan.

Mata Rin terbelalak begitu mengenali sosok itu. Shigeru dan Katsuro? Benar dugaanku, kedatangan guru sok tampan itu mencurigakan. Ternyata dia memang berniat untuk membunuh Namie, karena rencana Shigeru saat itu gagal.

Meski Rin tidak mendengar keseluruhan pembicaraan mereka, untung saja ia mendengar kata kuncinya. Benar, Katsuro adalah orang jahat yang berpura-pura baik saja pada teman yang mulai akrab dengannya semester ini. Ini tidak bisa dibiarkan, ia harus segera memberi tahu Namie. Selain itu, ia sudah pernah berjanji pada gadis itu ‘kan kalau akan menjadi keberuntungannya lolos dari rencana pembunuhan oleh musuh ayahnya yang menaruh dendam?

G-gawat, rasanya sudah di ujung tanduk. Muka Rin mulai membiru, maka ia segera pergi ke kemar mandi dengan berlari.

***

Kemarin tidak ada kesempatan bagi Rin untuk mengatakan hasil mengupingnya pada Namie, jadi kali ini saat pelajaran seni rupa di halaman belakang sekolah, ia akan melakukan niatnya. Temannya yang berambut pendek itu sedang terduduk di kursi kayu bawah pohon dengan beberapa yang lain. Ia meminta dengan halus agar mereka pindah tempat, karena akan membicarakan hal penting secara empat mata dengan Namie.

Rin mulai terduduk, dan Namie sudah menyambutnya dengan tatapan-siap-mendengarkan. Si Okumura itu lantas mengatur duduknya sesantai mungkin.

“Sebenarnya aku ingin mengatakannya langsung, tapi baru bisa sekarang.” Rin berhenti sejenak setelah memberikan epilog. Kemudian, ia menjelaskan bagaimana proses dan tempatnya menguping pembicaraan dua orang itu. “Pantas saja dari awal perasaanku tidak enak kalau kau dekat-dekat dengan dia. Ternyata, dia berbahaya, kan?”

Reaksi yang Namie tunjukkan bukannya terkejut, karena berhasil masuk jebakan, tapi ia justru tersenyum. Rin tercenung, apa perkataannya barusan tidak bisa dipercaya? Kenapa gadis itu lebih percaya pada seseorang yang belum lama dikenalnya? Apa mungkin…

 “Sebenarnya aku sudah mencurigai kedatangannya yang terkesan sudah terencana. Selain menjadi guru Fisika dadakan, dia juga merangkap sebagai guru olahraga. Aku juga tidak sengaja pernah melihat Shigeru menatapnya dengan kebencian.” Ia mengembuskan napas dari mulut, lalu menambahkan. “Aku menyambut kedekatan itu hanya untuk menjebaknya balik saja.”

  Air muka Rin mendadak frustrasi. Jadi, Namie sengaja tidak memberi tahunya, lalu kesan yang ia rasakan, ia tiba-tiba saja ditinggalkan saat guru muda yang katanya sangat menarik itu merebut perhatian si gadis Yazukawa?

“Kau marah, ya Rin?” tanya Namie. Teman laki-lakinya itu tidak menjawab dan lebih memilih untuk menundukkan kepala. Gadis itu tampak sedikit gelisah saat memikirkan kata-kata yang cocok untuk meminta maaf. Meski Rin tidak mengatakan ‘iya,’ ia paham bagaimana pemuda itu kalau sedang marah. Wajahnya yang selalu bersemangat itu akan tampak aneh, dan disusul dengan sikap-sikap tidak biasa.

Maka, beberapa saat kemudian, Rin beranjak dari sana tanpa mengatakan apa pun. Baru saat memunggungi Namie, ia bilang, “Yang utama adalah selalu berhati-hatilah.”

Sepasang kaki berpantofel itu terlihat bimbang untuk menopang tubuh pemiliknya berdiri. Namun, lebih tepatnya adalah otak dan mulut belum siap bekerja. Mereka bingung harus menjelaskannya dari mana. Sebagai pemecahannya, hati pun bertindak.

Namie mengejar Rin agar bisa memboikot langkah pemuda Okumura itu. Agak kesulitan, karena langkah seseorang di depannya lebar-lebar. Gadis itu pun terpaksa memanggil namanya. Walau Rin tidak berhenti, setidaknya sekarang ia melambatkan jalan.

“Kau ingat tidak gara-gara membelaku saat Shigeru memarahiku, nyawamu juga hampir melayang, karena tembakan itu? Dan, aku tidak ingin itu terjadi lagi padamu. Biarlah kali ini aku sendiri yang melawan orang-orang itu.” Namie lantas mengguncang bahu Rin agar menatapnya. “Aku memang salah, seharusnya aku memberi tahumu agar tidak salah paham. Tapi, Rin, aku yakin kalau kau tidak akan pernah meninggalkanku, jadi jangan memaksakan diri untuk berada di sampingku. Dukung saja aku dari belakang, kita semua akan sama-sama selamat.”

Kedua pasang mata anak SMA Horikoshi itu bertemu dalam keheningan, namun seolah memberikan pengertian satu sama lain, bahwa setelah ini jangan ada lagi pertengkaran.

***

Dua hari setelah kejadian di halaman belakang sekolah, Namie dan Rin tampak canggung dengan berpura-pura tidak melihat saat salah satu dari mereka kepergok tengah memerhatikan. Mereka sendiri tepatnya tidak tahu apakah sudah resmi berdamai atau belum.

Kalau saja ada momen yang pas seperti hari ini, Rin ingin mencoba mendekati Namie lagi dengan perbincangan-perbincangan sederhana. Sayangnya, ia dan gadis itu tidak ditakdirkan untuk menjadi satu kelompok.

Pelajaran Biologi kali ini tidak dilakukan dalam kelas, tapi di luar ruangan. Lebih tepatnya semacam study tour, karena mengunjungi pertanian pribadi yang indah milik Tokyo University di prefektur Fuchū. Rin ‘kan jadi punya jurus berbasa-basi dengan sekadar meminta pendapat tentang bagaimana suasana di sana pada Namie.

Pukul setengah sepuluh, murid-murid sudah berhamburan masuk bis yang terparkir di halaman sekolah, termasuk Namie dan kelompoknya. Sementara Rin masih berdiri di depan kamar mandi dekat pintu keluar untuk menunggu salah satu anggotanya. Mereka tahu kalau akan membuat guru yang akan mengabsen kelengkapan muridnya kebingungan, jadi harus setengah berlari untuk sampai di sana.

“Kau duluan saja, ya. Aku mau berbicara sebentar dengan Katsuro sensei,” ujar Rin setengah berbisik pada temannya. Ia pun ditinggalkan, dan urusan soal menanyakan di mana keberadaan Rin sudah tertangani.

Katsuro selesai memarkir mobilnya di samping sekolah, dan saat melewati halaman, Rin bertemu dengannya. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bagus, ia mendekati guru muda itu untuk mengatakan sesuatu. Katsuro sebenarnya tidak melihat Rin, jadi saat salah satu muridnya itu berada di hadapannya, ia sedikit terkaget.

Mengingat waktunya tidak panjang, Rin langsung pada intinya tanpa memberikan pembukaan terlebih dahulu seperti mengucapkan selamat pagi. “Sebenarnya saya tidak suka kalau Anda mendekati Namie, karena Anda berbahaya. Dia pun tahu kalau Anda akan membunuhnya. Tapi, ketika di sekolah, kami menghormati Anda sebagai guru. Jangan dekati dia lagi untuk maksud tertentu, karena Anda akan berurusan dengan saya!”

Sejurus kemudian, Rin berlari sekencang mungkin agar gurunya di bis tidak marah-marah, karena dirinya lama sekali datang.

***

Setahu Rin, bunga wortel itu tidak tampak seperti bunga, karena warnanya hijau dan tidak lebat. Ia pikir, wortel yang ia lihat sekarang pasti berasal dari jenis yang berbeda. Bunganya sangat cantik, putih kekuningan dan bergerombol. Murid-murid perempuan saja sedang bergantian berfoto di depannya sebagai background.

Suasana hati Rin tidak begitu baik, membuatnya malas ikut-ikutan berfoto, padahal kelompoknya juga mengajak. Jadi, ia hanya memfoto bunganya saja yang berkesan itu, karena mengingatkannya pada jenis bunga tertentu.

“Paman,” panggil Rin lantas menghampiri salah satu pengurus pertanian. “Boleh aku mengambil segenggam bunga wortel ini?”

Pria paruh baya itu mengangguk dan berkata kalau kebetulan besok wortelnya akan dipanen. Ia lantas meminjami Rin sebilah pisau untuk memotong tangkai-tangkainya.

***

Di pertanian pribadi itu ada sebuah kantin yang menunya berupa makanan-makanan vegetarian. Murid dan guru Horikoshi gakuen memutuskan ke sana untuk tempat makan siang. Kelompok Rin dan Namie masuk secara bersamaan. Ketua dari dua kelompok itu pun tidak sengaja saling menatap beberapa saat, karena posisinya saling berdekatan.

“Habis makan siang ikut aku, ya,” ucap Rin pada Namie. Gadis itu pun langsung mengiyakan.

Pemuda Okumura dan gadis Yazukawa itu buru-buru menghabiskan makanannya, lalu pergi ke tempat yang sudah ditentukan. Rin berjalan di depan, dan Namie mengekorinya. Mereka tidak pergi jauh, hanya berjarak dua ratus meter dari kantin.

Ada sebuah gubuk kecil yang didirikan di bawah pohon yang rindang. Rin lantas menyuruh Namie untuk duduk di sana. Gadis itu menggerak-gerakkan kakinya yang menggantung sambil menatap hamparan lahan pertanian yang membentang di kedua sisi. Sementara si Okumura itu mengambil sesuatu yang tadi ia sembunyikan di sekitar gubuk.

            Rin terduduk di samping Namie, lalu membuka pembicaraan. “Apa kau tahu bunga Hortensia?”

            “Tentu saja, itu maskot Jepang selain Sakura.”

            “Kau menyukainya?”

            “Iya, itu sangat cantik. Hm, ada apa Rin?” tanya Namie, ia mulai penasaran arah pembicaraannya kali ini akan ke mana.

            “Satu pertanyaan lagi. Apa kau tahu arti bunga itu?”

            Namie mengangguk. “Terima kasih telah memahamiku.”

            “Iya, seharusnya aku yang mengatakan itu padamu.” Rin mengoreksi. Ia lalu mengeluarkan kedua tangannya yang sejak duduk tadi disembunyikan di belakang tubuh. “Terima kasih telah memahamiku,” imbuhnya seraya memberikan seikat bunga wortel yang disatukan dengan tali hasil pemberian paman bernama Rakuze tadi.

            Namie menerimanya. “Maksudnya?”

            Sebelum menjawab, Rin terkekeh. “Di sini memang tidak ada bunga Hortensia, tapi bunga wortel itu bentuknya tidak jauh beda, kan? Jadi, ya… sebagai pengganti, gitu.” Ia kembali terkekeh, lalu wajahnya serius lagi. “Memahamiku dalam artian tetap memerhatikan keselamatanku, dan kau rela bicara panjang lebar, walau itu hal yang sulit untukmu.”

           Namie sempat terdiam, karena perkataan Rin barusan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia tidak percaya, pemuda serampangan macam Rin bisa memaknai pertengkaran tempo hari sebijak ini.

            Salah satu hal yang Rin sukai dari Namie adalah lesung pipi gadis itu saat tersenyum. Dan, siang ini pun sesuatu yang membuat hatinya merasakan sensasi berbeda itu ia dapatkan. Mungkin alam tahu isi hatinya, jadi angin sepoi-sepoi berembus saat itu juga. Menjamah tubuhnya yang gerah, dan kesejukan itu semakin membuatnya begitu nyaman.

            Namie mengambil sebagian bunga itu dari ikatannya. “Kalau begitu, kita berbagi saja, karena kita saling memahami. Terimalah!” Ia mengangsurkannya pada Rin, dan si Okumura itu menerimanya dengan cengiran tidak jelas.

           


 

[1] Semangat, ya

[2] Maaf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun