Tatapan Namie pada “lawannya” masih sangat memburu. Padahal, keadaan gadis itu tidak sedang baik-baik saja. Ia tersungkur dengan wajah lebam. Dan, ini bukan sekali dua kali terjadi. Lalu, ada kosekuensi yang harus ia terima kalau sampai kalah. Ini semacam hukuman yang mungkin kau dapati dilakukan oleh ibu tiri. Ya, tidak diberi makan! Karena Namie “bertarung” pada sore hari, maka ia tidak mendapat jatah makan malam. Baginya, itu tidak terlalu penting, karena ia bisa saja makan di kantin sekolah sekenyang-kenyangnya sebelum pulang. Tapi, yang membuatnya sakit hati ialah: hewan saja selalu memberi makan anaknya atau bahkan mengalah jika makanannya terlalu sedikit untuk dibagi. Lantas, mengapa orangtua kandung bisa begitu tega? Ia pernah protes, tentu saja. Tetapi, ayah selalu saja berkata, “jangan mengeluh, gunakan tubuh sehatmu sebaik mungkin.”
Namie juga selalu berpikir. Kenapa ia dididik orangtuanya dengan cara yang sangat berbeda? Masato—kakak laki-lakinya, ia selalu diberi kebebasan dengan apa yang ingin dilakukan selama itu tidak melanggar aturan hukum atau norma. Sementara itu, Nisae—saudari kembarnya, dididik untuk menjadi gadis yang feminim dan anggun.
Namie juga seorang perempuan sama seperti kembarannya. Tapi, ia diperlakukan seperti anak laki-laki, seperti: tidak boleh memanjangkan rambut, tidak boleh memakai pakaian perempuan, dan setiap hari harus berlatih bela diri. Ia bahkan sudah berlatih Karate pada umur tiga tahun. Itu kata ayah; karena ia sendiri tidak ingat persisnya . Yang jelas, sembilan tahun kemudian, ia sudah memegang sabuk hitam, tingkatan tertinggi dari Karate.
Sekarang, Namie berumur lima belas tahun. Tahun ini dia masuk SMA.
“Ya, bagus, nak!” Seru seorang pria dari pinggir arena bertarung. Ia lantas mendekati putrinya. Mengelus kepalanya dengan mata yang menyorotkan kebanggaan. “Kubilang apa, kau pasti bisa mengalahkannya. Kau anak yang kuat,” pujinya. “Kau ingin makan malam dengan apa? Okonomiyaki[1]kesukaanmu?” Sambungnya.
Namie tidak menjawab. Ia mengambil tasnya, kemudian membungkukkan badan pada “lawannya.” Dan, saat berjalan memunggungi ayah, ia berkata, “Makan apa saja, terserah. Aku rasa ini bukan kemenangan yang patut dirayakan.”
***
Ibu mengompres luka Namie dengan handuk yang sudah dicelupkan air hangat. Putrinya itu hanya mendesis kesakitan. Lagi pula, bagaimana ia mengeluh kalau setiap “kemenangannya” selalu dipuji? Ia merasa kalau keluhannya itu akan merusak suasana. Semua orang suka dipuji. Tapi, baginya, pujian bukanlah hal yang membuatnya bahagia, melainkan kebebasan.
“Sudah, bu. Aku mau belajar,” cegah Namie saat ibu mencelupkan handuk ke air hangat untuk ketiga kalinya. Wanita paruh baya itu mengernyit karena pekerjaannya belum selesai.
“Minum obat juga penyembuhan yang ampuh,” sahut Namie lantas beranjak ke kamar. Ibu meneriakinya agar jangan lupa untuk makan. Ia terdiam. Namun, saat hendak menaiki tangga, ia berbelok ke kiri, menuju ruang makan. Di sana, ayah, Masato, dan Nisae sudah menunggu. Tidak lama setelah itu, ibu menyusul mereka.
Perbincangan di sela-sela makan memang sering menyangkut soal Namie. Tentang prestasinya di sekolah atau “kemenangannya.” Tapi, ia tidak pernah menyukainya sama sekali. Untuk apa kau seperti diunggulkan orangtuamu, tapi mereka berani melimpahkan risiko?
Dua hari dalam seminggu, Namie harus melawan seniornya (bukan tingkatan sabuknya, tapi umur orang yang lebih tua) di Karate sampai ia benar-benar tidak sanggup. Kalau cuma lebam, itu bukan masalah besar. Ia harus tetap melanjutkan pertarungan itu. Kata ayah, ia adalah anak yang kuat. Ditambah dengan kewaspadaan, dipastikan ia akan selalu memenangkan pertarungan.
Sebenarnya, peraturan di sanggar Karate tidak sekeras itu. Anggota hanya akan bertarung secara sungguh-sungguh saat akan kenaikan sabuk. Dan, lawannyapun disesuaikan dengan kemampuan. Tapi, ayah Namie membuat peraturan tersendiri bagi putrinya. Pada awalnya, pihak Karate menolak permintaan itu karena dinilai membahayakan, dan mereka tidak mau mengambil risiko. Namun, ayah Namie meyakinkan pihak Karate bahwa segala risikonya akan ia tanggung, dan tidak akan menuntut kalau terjadi hal fatal pada putrinya.
Beruntung, hal itu tidak pernah terjadi. Maka dari itu, pihak Karate masih menuruti kemauan ayah Namie. Tapi, di belakang, mereka selalu meminta maaf pada putrinya. Dan, karena keahlian Karate Namie juga sangat mumpuni, pihak Karate tidak segan-segan mempercepat kenaikan sabuk gadis berambut pendek itu.
“Aku sudah selesai.” Namie berdiri dari kursi, lalu mendorongnya sampai bagian duduknya masuk ke kolong meja.
Ayah dan ibu mengucapkan selamat belajar padanya. Sementara kakak laki-lakinya memandang datar. Kembarannya juga berkata saat ia sudah dipunggungi, “Kalau sudah selesai belajar, aku ke kamarmu, ya!”
***
“Namie-chan[2], wajahmu!” Teman-teman Namie terkejut saat si ketua memasuki kelas. Seingat mereka, dua minggu yang lalu, wajah Namie juga lebam, tapi kenapa sekarang wajahnya membiru lagi? Oh, apakah si ketua yang terkenal pendiam itu memang sangat ceroboh?
Ini kelima kalinya dalam satu semester wajah Namie lebam. Dan, saat teman-teman bertanya sebabnya, ia selalu menjawab karena terjatuh dengan senyum yang sangat meyakinkan. Ia ingin teman-teman percaya kalau seolah-olah memang seperti itu. Tapi, kau tidak bisa menyembunyikan bangkai karena baunya akan tercium. Mereka sebenarnya tidak percaya kalau itu hanya karena terjatuh. Memaksa Namie untuk berterus terang juga sudah, namun atas kelihaiannya berkilah, ia terbebas dari introgasi. Sekarang, mereka hanya pura-pura percaya saja. Mungkin, Namie punya privasi, dan mereka harusnya menghargai itu.
Saat wajahnya lebam, Namie memilih untuk masuk kelas mendekati jam masuk agar teman-temannya tidak bisa mencecarnya dengan rasa penasaran terlalu lama karena guru yang akan mengajar tentu akan menghalangi keinginan mereka. Lalu, saat gurunya juga bertanya, ia akan menjawab dengan jawaban yang sama, dan beres. Gurunya (mungkin) percaya lantas melanjutkan pelajaran kembali.
Tanpa Namie sadari, ada satu teman sekelasnya yang tidak pernah bertanya perihal muka lebamnya. Ia seakan tidak bersimpati sama sekali atas “musibah” yang menimpa si ketua kelas. Namun, dalam hati, ia sebenarnya merencanakan sesuatu yang akan ia lakukan saat liburan semester satu nanti. Tidak lama lagi, satu bulan dari sekarang.
***
“Permisi, apa Namie ada?”
“Dia sudah pergi dari jam enam. Apa ada pesan untuknya?”
Rin berpikir beberapa saat. “Aku rasa tidak,” jawabnya. Kemudian, ia menyadari ada hal menarik pada gadis yang sudah membukakannya pintu pagi ini. Ia memerhatikannya cukup lama sampai Nisae merasa tidak enak.
“Aku pergi dulu kalau begitu,” pamit Rin.
Apa yang dilakukan Namie sepagi itu? Atau, segelap itu? Di Jepang, matahari baru terlihat sempurna pukul sembilan pagi. Ini juga bukan hari senin. Ini hari minggu bahkan bertepatan dengan libur semester juga. Rin berpikir bahwa pada jam delapan pagi, seorang Namie masih bersantai di rumahnya. Maka, Rin bisa langsung menemuinya di rumah. Baiklah, jika kau akan menemui seseorang memang sebaiknya membuat janji terlebih dahulu.
Hari ini adalah hari di mana Rin akan menjalankan rencananya. Ia akan mengajak Namie keluar, tapi karena targetnya itu sudah tidak ada di rumah, ia keburu putus asa dan langsung kembali pulang. Namun, di seperempat perjalanan, ia berhenti di pinggir jalan. Ia teringat sesuatu.
Baka[3]! Aku lupa kalau punya nomornya, batinnya seraya merogoh ponsel di saku jeans. Tidak beberapa lama, panggilannya terhubung. Akan tetapi, si penerima telepon tidak mengangkat. Rin mencoba menelepon lagi.
“Halo.” Terdengar suara Namie di seberang telepon.
“Halo, kau di mana sekarang?” tanya Rin langsung pada intinya.
“Summimasen, dare desuka?[4]”
Hei, Rin, kau melupakan satu hal. Kau dan Namie bukanlah teman dekat. Kau saja belum pernah mengajaknya berbicara sedikit pun selama satu semester ini. Wajar saja ia tidak punya nomormu!
“Aku Rin, Okumura Rin.” Ia sedikit khawatir kalau saja Namie lupa atau bahkan tidak merasa mempunyai teman bernama Okumura Rin.
Dari suaranya, Rin menangkap kalau gadis itu cukup heran kenapa tiba-tiba ia menghubunginya. Namun, ia merasa lega karena ia masih ada diingatan gadis itu. Namie mengatakan keberadaannya, dan Rin berniat menemuinya.
“Kalau begitu, tunggu aku, ya.”
“Aku belum selesai, mungkin sekitar satu jam lagi.”
Rin mengiyakan dengan tidak keberatan kalau sampai harus menunggu. Ia lantas mengakhiri telepon kemudian memutar balik motornya.
***
Ketika sudah melewati toko buku berlantai dua itu, Rin mengurangi kecepatan motornya. Sanggar Wushu di mana Namie berada, kira-kira tinggal 300 meter lagi. Kurang dari lima menit, Rin sudah berada di seberang tempat yang akan ia tuju. Ia tidak lantas memelintir gas motornya untuk sampai ke sana, melainkan memerhatikan bangunannya. Berhubung asal olahraga itu adalah Cina, maka arsitekturnya pun sangat mencirikan negara tersebut. Di luar sanggar yang dari luar tampak luas seperti stadion itu—dengan dinding tembok putih yang mengitarinya, terdapat gapura beratap memanjang dengan sudut kemiringan yang cukup tinggi serta bertumpuk berwarna keemasan. Dari kejauhan, tampak ukiran-ukiran di sisi depan genting dan pondasi serta patung-patung Budha kecil di atasnya. Sebagai sentuhan akhir, tepat di tengah-tengah gapura, tergantung papan kayu yang dipernis dan bertuliskan huruf Cina berwarna merah, yang Rin saja tidak bisa membacanya apa lagi tahu artinya.
Astaga, jangan sampai aku dimaki orang, Rin membatin saat menyadari kesalahannya karena berhenti di pinggir jalan terlalu lama dan tidak segera menyebrang. Cukup mengganggu lalu lintas, bukan? Tidak sampai sepuluh detik, ia sudah menegakkan motornya, lalu terduduk di pinggiran taman kecil yang terbuat dari semen. Kemudian, ia memainkan game di ponselnya untuk mengisi waktunya. Saking asyiknya, Rin merasa tidak terlalu lama menunggu sampai sebuah suara mengalihkan pandangannya dari benda canggih itu. Tidak lupa, ia mem-pause game-nya lantas langsung memasukkannya ke saku jeans.
“Ohayou[5],” sapa Namie pada seseorang yang sudah menunggunya.
“Ohayou, apa kau mau Yogurt?” Rin menyodorkan minuman berbotol plastik itu.
Namie tersenyum sekilas sambil menggerakkan kakinya untuk menegakkan sepeda, kemudian menerimanya. “Bagaimana kau bisa tahu kalau aku menyukainya?”
“Bukankah semua orang suka Yogurt?” jawab Rin dengan enteng. Padahal, sebelumya ia browsing minuman apa saja yang baik diminum setelah olahraga.
Namie mengangguk-angguk, lalu terduduk di dekat Rin. Ia asik menegak minumannya sambil memandangi langit tanpa berniat membuka perbincangan.
Sementara itu, Rin sedang berpikir bagaimana caranya mengajak Namie keluar. Ia kira gadis itu tidak membawa kendaraan sendiri, atau kalau pun bawa, kendaraan itu kecepatannya sama dengan miliknya. Lagi pula, dengan jarak kira-kira sepuluh kilometer, kenapa Namie membawa sepeda? Rumah Namie tadi sangat besar dan mewah, setidaknya ia yakin bahwa gadis itu sebenarnya punya motor, mobil, bahkan supir yang siap mengantar majikannnya ke mana-mana.
“Rin, apa ada yang bisa aku bantu?” tanya Namie sesaat setelah membuang botol kosong itu ke tempat sampah di dekatnya. “Rin,” ulangnya karena teman duduknya itu hanya terdiam. Terlihat sekali ia sedang memikirkan sesuatu.
Rin terkesiap, lalu menatap Namie serius. “Apa kau ada kegiatan lagi setelah ini? Aku ingin mengajakmu keluar.” Apa yang dipikirkannya tidak membuahkan hasil, dan yang keluar hanyalah pertanyaan spontan.
“Tidak, aku free setelah ini. Hm, lalu…” Namie menggantung kalimatnya. Sengaja menyuruh Rin untuk menemukan solusi bagaimana mereka pergi bersama, sementara ia membawa sepeda, dan Rin membawa motor. Ia yakin motor merah di dekat Rin adalah milik teman sekelasnya itu.
“Oh, ya, aku mengerti maksudmu,” Rin mengangguk angguk dengan wajah kikuk. “Kita lewat jalan alternatif saja agar ini aman dilakukan.”
***
“Arigatou gozaimasu[6].” Namie membuka perbincangan dengan mengucapkan terimakasih.
“Kau pasti sangat menikmatinya, bukan?”
Namie tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan tersenyum simpul. Kemudian, ia memberi pertanyaan juga pada Rin. “Bagaimana kau bisa punya ide untuk mengajakku ke sana?”
Rin tertawa renyah sebelum menjawab. “Semua orang pasti suka hal yang baru. Ya, aku hanya menebak saja, kau pasti belum pernah melakukan Pudding Art. Lihat saja, kau ini gadis tomboy yang sukanya olahraga keras.” Ia menunjuk pedang yang terbungkus yang ada di belakang tubuh Namie dengan dagunya.
Senyuman Namie mendadak sirna. Apa yang dikatakan Rin barusan membuat hatinya tidak keruan. Tomboy dan menyukai olahraga keras? Sejujurnya, itu bukan murni kemauannya. Semua karena paksaan yang membuatnya sangat tertekan.
“Daijoubu desuka?[7]” tanya Rin, melihat keanehan di wajah gadis yang tangannya sedang ia genggam erat itu karena sedang berjalan beriringan dengan kendaraan masing-masing.
“Ya, jangan khawatir.”
Rin sama sekali tidak percaya kalau gadis itu baik-baik saja. Ia juga menaruh curiga, ada hubungan apa antara perkataannya tadi dengan perubahan mendadak mimik Namie yang bahagia menjadi murung? Ia mengembuskan napas, mencoba menenangkan diri. Siapa tahu dengan lebih dekat dengan teman tomboynya itu, ia bisa tahu apa yang selama ini gadis itu sembunyikan. Termasuk wajah lebamnya yang mungkin membuat hampir seantero sekolah penasaran.
[1] Makanan berbahan dasar tepung terigu yang diencerkan dengan air, kemudian dicampur dengan telur, daging, kol, yang selanjutnya digoreng.
[2] Panggilan untuk perempuan yang sudah cukup lama mengenal.
[3] Bodoh!
[4] Maaf, ini siapa?
[5] Selamat pagi.
[6] Terima kasih
[7] Apa kau baik-baik saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H