“Aku Rin, Okumura Rin.” Ia sedikit khawatir kalau saja Namie lupa atau bahkan tidak merasa mempunyai teman bernama Okumura Rin.
Dari suaranya, Rin menangkap kalau gadis itu cukup heran kenapa tiba-tiba ia menghubunginya. Namun, ia merasa lega karena ia masih ada diingatan gadis itu. Namie mengatakan keberadaannya, dan Rin berniat menemuinya.
“Kalau begitu, tunggu aku, ya.”
“Aku belum selesai, mungkin sekitar satu jam lagi.”
Rin mengiyakan dengan tidak keberatan kalau sampai harus menunggu. Ia lantas mengakhiri telepon kemudian memutar balik motornya.
***
Ketika sudah melewati toko buku berlantai dua itu, Rin mengurangi kecepatan motornya. Sanggar Wushu di mana Namie berada, kira-kira tinggal 300 meter lagi. Kurang dari lima menit, Rin sudah berada di seberang tempat yang akan ia tuju. Ia tidak lantas memelintir gas motornya untuk sampai ke sana, melainkan memerhatikan bangunannya. Berhubung asal olahraga itu adalah Cina, maka arsitekturnya pun sangat mencirikan negara tersebut. Di luar sanggar yang dari luar tampak luas seperti stadion itu—dengan dinding tembok putih yang mengitarinya, terdapat gapura beratap memanjang dengan sudut kemiringan yang cukup tinggi serta bertumpuk berwarna keemasan. Dari kejauhan, tampak ukiran-ukiran di sisi depan genting dan pondasi serta patung-patung Budha kecil di atasnya. Sebagai sentuhan akhir, tepat di tengah-tengah gapura, tergantung papan kayu yang dipernis dan bertuliskan huruf Cina berwarna merah, yang Rin saja tidak bisa membacanya apa lagi tahu artinya.
Astaga, jangan sampai aku dimaki orang, Rin membatin saat menyadari kesalahannya karena berhenti di pinggir jalan terlalu lama dan tidak segera menyebrang. Cukup mengganggu lalu lintas, bukan? Tidak sampai sepuluh detik, ia sudah menegakkan motornya, lalu terduduk di pinggiran taman kecil yang terbuat dari semen. Kemudian, ia memainkan game di ponselnya untuk mengisi waktunya. Saking asyiknya, Rin merasa tidak terlalu lama menunggu sampai sebuah suara mengalihkan pandangannya dari benda canggih itu. Tidak lupa, ia mem-pause game-nya lantas langsung memasukkannya ke saku jeans.
“Ohayou[5],” sapa Namie pada seseorang yang sudah menunggunya.
“Ohayou, apa kau mau Yogurt?” Rin menyodorkan minuman berbotol plastik itu.
Namie tersenyum sekilas sambil menggerakkan kakinya untuk menegakkan sepeda, kemudian menerimanya. “Bagaimana kau bisa tahu kalau aku menyukainya?”