No. 169
--------------------
[caption id="" align="alignleft" width="285" caption="image source: lakers-motor-comunity.blogspot.com"][/caption]
Ufuk barat kemilau bermandi semburat lembayung, pertanda senja segera turun. Sebuah sepeda motor sporty memasuki pelataran rumah. Dia Kak Hendra, kakakku satu-satunya. Tubuh kekar kak Hendra tampak kian gagah menunggangi sepeda motor yang belum genap setahun dibelinya itu. Sepucuk senyum aku sunggingkan menyambut kedatangan kak Hendra. Sementara tanganku masih memegang selang air dan mengarahkannya ke rimbun bebungaan penghias halaman.
“Apa yang dibawa itu kak?” tanyaku melihat jinjingan Kak Hendra, sebuah karton mi instan.
“Oh ini...Monyet. Hasil tukar sama burung Nuri barusan” sahut Kak Hendra sambil melepas helm cakilnya.
Ibu yang sedang duduk-duduk memperhatikan ayah mencabuti rumput dekat tangga, menoleh. Juga ayah, yang segera bangkit dan menghampiri Kak Hendra. Aku dan ibu ikut-ikutan mendekat. Di lantai teras, perlahan Kak Hendra membuka karton yang sisi-sisinya berlubang kecil-kecil itu dengan hati-hati sekali. Begitu penutup kardus terbuka, tampaklah seekor Simpai -demikian kami menyebutnya-, monyet kecil berbulu putih.
“Wah, masih bayi nih keknya. Tuh tali pusarnya belum lepas…” ujar ibu heran melihat tali pusar yang kelihatan sudah mengering masih menjuntai di perut Simpai. Raut wajah ibu menampakkan rasa iba. Persis yang aku rasakan.
“Benar Bu. Usianya baru lima hari” jawab kak Hendra membenarkan.
“Kasihan sekali kak. Masih orok gini dipisah dari induknya. Tega nian si penjualnya, ya...” ucapku.
“Ho oh, aku juga ngerasa gitu. Makanya aku tukar ama burung Nuri. Padahal rencananya, Nuri itu mau kujual.
Saat ibu bergegas ke dapur untuk menyiapkan teh buat Ayah dan Kakak, Ayah menyuruh ibu untuk sekalian membuatkan susu untuk Simpai. Setiba kembali ke teras, tampak Ibu menggenggam sebuah gelas plastik dan sebatang sendok.
“Dira, coba suapi Simpai.Kasihan, dia pasti ingin menyusu pada ibunya” pinta ibu kepadaku seraya menyodorkan gelas yang susu separo.
Pelan-pelan kusuapkan sesendok-demi sesendok susu ke mulut monyet putih lucu itu. Lidahnya menjilat-jilat bibirnya. Agaknya ia benar-benar kehausan dan menikmati asupan yang kuberikan.
***
Esok paginya, saat senam-senam ringan aku teringat Hanoman. Ya, Hanoman, nama yang kuberikan kepada si monyet putih lucu. Kulihat, Hanoman masih terbaring tidur dalam kotak kardus yang sudah kami beri kain sebagai alas, agar lebih hangat. Bahkan Ayah masih juga khawatir Hanoman kedinginan sehingga menambahkan sebuah lampu kecil. Nyenyak sekali tidurnya.Perutnya bergerak mengembang dan mengempis halus, teratur.Tali pusarnya tampak betul-betul mengering. Kuduga, akan terlepas dalam satu atau dua hari ini.
Tiba-tiba, Hanoman mengeliat. Kelopak matanya terbuka. Bergegas aku ke dapur. Kuraih dot kecil yang baru saja ibu beli di mini market. Segera kuadonsusu sebanyak setengah dot. Saat ujung dot kusentuhkan ke bibir Hanoman, lidahnya menjulur-julur meraih cairan susu. Dengan lahapnya Hanoman menghisap hingga tak perlu waktu lama nyaris seluruh isi dot terkuras.
Akupun lega. Kubelai-belai bulu putihnya yang halus. Hanoman diam saja seolah merasakan ketenteraman. Entah, tiba-tiba aku merasa bertanggung jawab akan keselamatan dan ketenangannya. Aku mulai menyayanginya. Kupikir, Kak Hendra tak ‘kan mungkin punya waktu yang cukup untuk mengurusi Hanoman. Dia sibuknya luar biasa. Mana tempat kerjanya jauh, lagi.
Tak terasa hampir satu jam aku menemani Hanoman. Aku baru tersadar ketika dari arah dapur terdengar suara ibu mengingatkanku, “Dira, sudah jam berapa ini.Nanti terlambat kuliah”.
‘Hah...? sudah pukul tujuh!’ teriak batinku. Buru-buru aku mandi, berpakaian, dandan dan melesat ke kampus bersama motor matic-ku. Lupa sarapan!
***
Rutinitasku saban hari hanya kuliah, nonton tivi, kadang ngenet, menyiram bunga dan olah raga kecil-kecilan. Olha raga kecil-kecilan yang aku maksud, jalan-jalan putar-putar kompleks. Asal berkeringat dikit, udahan. Tapi sejak dua hari lalu, aku menemukan aktifitas mengasyikkan baru: Merawat dan sesekali mencandainya. Juga membersihkan kandangnya. Apalagi jika pas tidak ada jadwal kuliah, bisa betah berlama-lama bermain dengan Hanoman yang makin lama makin menggemaskan.
Saat lagi asyik memperhatikan kelucuan Hanoman, si Simpai putih yang tali pusarnya sudah lepas, terdengar nada pesan masuk di hapeku. SMS Dari Rian.
Dira lagi ngapain? Jalan-jalan yuk. Aku tak habis pikir terhadap teman kuliahku satu ini. Tergolong gigih juga. Tak putus asa terus-terusan mengajakku jalan-jalan atau makan-makan di cafe, meski tak pernah kuiyakan. Bahkan, terhitung sudah tiga kali berterus terang mengajakku pacaran. Tapi aku tidak mau.
Entahlah, bagiku pacaran hanya lah sebuah status palsu. Hubungan tidak jelas. Menurutku, pacaran merupakan fenomena yang aneh. Seorang lelaki mengaku‘cinta’ kepada seorang wanita, bilang I love you. Kemudian bertanya, “maukah kamu jadi pacarku?”Lalu, si wanita mengangguk. Jadilah mereka dua sejoli.
Lantas, apa yang dilakukan?Kemana-mana jalan bareng, telpon-telponan sampai berjam-jam, sms-an sampai jempol bengkak, de el el. Satu sama lain seakan terikat. Itulah ‘komitmen’, katanya. Padahal, mereka bukanlah siapa-siapa. Mereka tidak ada ikatan hukum sama sekali. Hanya bermodal perasaan, perasaan dan perasaan.
Yah, aku sih tak bermaksud menyalahkan orang punya cinta, jatuh cinta, dicintai dan mencintai.Karena cinta itu fitrah. Namun, aku heran melihat sepasang muda-mudi yang lagi kasmaran kelewat posesif.Sang pasangan tak boleh dekat-dekat dengan siapapun yang berlawanan jenis, karibnya sekali pun. Ujung-ujungnya cemburu, sakit hati, dan bahkan mencoba bunuh diri. Ah, lebay.
Yang membuat aku ngeri untuk pacaran adalah ketika sang pacar kelak meminta yang aneh-aneh. Bermula dari pegang-pegangan tangan, raba-raba, ciuman, pelukan dan.... melakukan hubungan layaknya suami istri! Dengan dalih untuk pembuktian cinta, sang lelaki biasanya menuntut berhubungan seks. Bagi kaum Hawa, demi mendapatkan cinta, diserahkanlah kehormatannya. Itu lah yang sering terjadi. Benar lah sebuah ungkapan bahwa “laki-laki memberikan cinta untuk mendapatkan seks, sementara perempuan memberikan seks untuk mendapatkan cinta!”.
Sialnya lagi, setelah si lelaki sukses mendapatkan yang diinginkan dari gadisnya, dengan entengnya bilang: ”Sudah berapa kali kamu beginian. Pasti sudah sering, enggak mungkin sama aku saja…”.
Gggrrrrrrrmmmm..... rasanya, kalau ketemu sama orang seperti itu, ingin kutonjok saja.
Demikianlah, kenapa aku tidak pernah coba-coba menerima ajakan siapa pununtuk berpacaran, termasukRian. Padahal, orang bilang Rian itu kerennya minta ampun.Sebelas-duabelas lah tampangnya sama Nicholas Saputra. Tajir pula!. Mobil tunggangannya saja hasil jerih payahnya sendiri. Maklum anak pengusaha yang sudah berhasil membangun usaha sendiri. Selain itu, meskipunberlimpah materi, Rian ramah dalam bersikap, santun jika bertutur dan tidak menyombongkan diri. Kurang apa lagi? Pokoknya Rian itu makhluk langka!!!
Ah, dasar aku orangnya teguh dalam memegang prinsip, tidak mau pacaran! Titik. Eh, tanda seru.
Kubalas, sms Rian, Maaf, Yan, aku lagi sibuk sama Hanoman.
Hanoman? Ketek putih…hahahaha…. Balasnya lagi.
Tiba-tiba, terdengar erangan halus Hanoman yang tadinya tertidur. Saat kulongok, napasnya tersengal-sengal. Kumasukkan dot ke mulutnya, namun kedua bibirnya tidak mengatup. Aku bingung.
“Bu.....!, ini kenapa Hanoman,Bu?” pekikku panik. Ibu dan ayah segera menghambur ke arah boks Hanoman berkandang. “Napasnya seperti sesak. Mulutnya menganga, disodori dot, tidak ia hisap,”
Hanoman tampak lemah… sinar matanya redup dan memandang kosong.
“Sebaiknya dibawa kemana ya Ayah?” tanyaku pada ayah.
“Ayah tak tahu juga. Di kota kita ini setahu ayah tak ada dokter hewan”
Kami pun berpikir keras, kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Hanoman. Diam-diam hatiku menyesalkan perbuatan orang yang memisahkan Hanoman dari induknya. Simpai mungil masih sangat bergantung kepada induknya. Masih perlu dekapan hangat. Tiba-tiba terdengar sebuah mobil memasuki halaman. Dari tempatku berdiri terlihat bahwa itu mobil Rian. ‘Ada apa lagi sih, Rian’, aku membatin.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam... “ kujawab salam Rian, lalu stengah berlari menuju beranda hendak mempersilakan Rian masuk.
“Loh... ada apa Dira... kok sepertinya menangis?” tanya Rian heran melihat dua anak sungai di kedua pipiku.
“Ah gapapa... itu tuh... si Hanoman....” aku tak mampu melanjutkan. Kerongkongan serasa tercekat.
“Kenapa dengan Hanoman?”
Tanpa menunggu jawabanku, Rian bergegas masuk ke dalam rumah. Di Garasi ia mendapati Ibu dan Ayah sedang memperhatikan Hanoman yang tampak semakin lemah.
“Ehmmmmm.. begini saja, Pak, Bu, maaf sebelumnya, saya panggilkan dr. Jaya. Kebetulan dua hari ini beliau berada di kota ini. Baru saja saya berpapasan di jalan saat menuju ke sini. Beliau teman akrab ayah, dokter hewan di kota sebelah”.
Lagi-lagi tanpa menunggu persetujuan ayah dan ibu, Rian rogoh Xperia Ray dari kantong bajunya. Disentuhnya layar ponsel tepat pada nama dr. Jaya. Tersambung. Lalu Rian meminta sang dokter hewan untuk datang ke alamat tempat Rian berada saat ini, rumahku. Deal. dr. Jaya tak begitu jauh dari rumahku. Masih di ruas jalan yang sama. Hanya perlu memutar balik arah untuk sampai.
***
“Simpai ini keracunan dan kurang vitamin saja, sebenarnya. Tapi jika terlambat ditangani, bisa juga tidak tertolong. Tapi sudah tidak apa-apa kok. Sudah saya obati dan mulutnya sudah saya tetesi vitamin. Tak sampai sore ia akan pulih” terang dr. Jaya meyakinkan setelah memeriksa dan mengobati Hanoman.
Sepulang dr. Jaya, kami -termasuk Rian- mengamati Hanoman. Benar apa yang dibilang dr. Jaya, perlahan namun pasti perkembangannya membaik. Sinar matanya mulai cerah. Hanoman mulai merespon saat aku belai kepalanya.
Sore hari, sesuai saran dr. Jaya, Hanoman saya beri susu sapi asli, bukan kaleng seperti sebelum-sebelumnya. Kedua bibir monyet imut itu pun kini bergerak lincah saat Dot aku dekatkan di mulutnya. Kebahagiaan merambati batinku. Kugendong Hanoman seperti menggendong bayi di teras ditemani Rian.
“Dira... ini Valentine’s day, bolehkah sekali lagi aku mengutarakan isi hatiku?” tiba-tiba Rian berbisik.
“Boleh. Tapi aku sudah tahu kok, apa yang ingin kauutarakan. Dan kamu pun tahu apa jawabanku” sahutku.
“Jadi kau masih tak mau juga menjadi pacarku?”
“Rian... aku hanya tak ingin berpacaran. Itu prinsip bagiku. Perkara kamu mencintaiku, silakan saja”.
“Baiklah jika begitu Dira... terserah kamu lah. Tapi yang jelas aku tetap mencintaimu. Saat ini, setidaknya bertambah satu kesamaan kita, sama-sama memelihara seekor monyet dengan penuh kasih sayang. Dira... aku yakin, sebenarnya kau juga mencintaiku, hanya saja kau belum menyadarinya”.
Kalimat-kalimat Rian ini tak bisa kujawab. Lidahku serasa patah.
------------------------------ THE END -------------------------
Nikamti pula karya peserta lainnya, di sini: http://www.kompasiana.com/androgini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H