“Ah gapapa... itu tuh... si Hanoman....” aku tak mampu melanjutkan. Kerongkongan serasa tercekat.
“Kenapa dengan Hanoman?”
Tanpa menunggu jawabanku, Rian bergegas masuk ke dalam rumah. Di Garasi ia mendapati Ibu dan Ayah sedang memperhatikan Hanoman yang tampak semakin lemah.
“Ehmmmmm.. begini saja, Pak, Bu, maaf sebelumnya, saya panggilkan dr. Jaya. Kebetulan dua hari ini beliau berada di kota ini. Baru saja saya berpapasan di jalan saat menuju ke sini. Beliau teman akrab ayah, dokter hewan di kota sebelah”.
Lagi-lagi tanpa menunggu persetujuan ayah dan ibu, Rian rogoh Xperia Ray dari kantong bajunya. Disentuhnya layar ponsel tepat pada nama dr. Jaya. Tersambung. Lalu Rian meminta sang dokter hewan untuk datang ke alamat tempat Rian berada saat ini, rumahku. Deal. dr. Jaya tak begitu jauh dari rumahku. Masih di ruas jalan yang sama. Hanya perlu memutar balik arah untuk sampai.
***
“Simpai ini keracunan dan kurang vitamin saja, sebenarnya. Tapi jika terlambat ditangani, bisa juga tidak tertolong. Tapi sudah tidak apa-apa kok. Sudah saya obati dan mulutnya sudah saya tetesi vitamin. Tak sampai sore ia akan pulih” terang dr. Jaya meyakinkan setelah memeriksa dan mengobati Hanoman.
Sepulang dr. Jaya, kami -termasuk Rian- mengamati Hanoman. Benar apa yang dibilang dr. Jaya, perlahan namun pasti perkembangannya membaik. Sinar matanya mulai cerah. Hanoman mulai merespon saat aku belai kepalanya.
Sore hari, sesuai saran dr. Jaya, Hanoman saya beri susu sapi asli, bukan kaleng seperti sebelum-sebelumnya. Kedua bibir monyet imut itu pun kini bergerak lincah saat Dot aku dekatkan di mulutnya. Kebahagiaan merambati batinku. Kugendong Hanoman seperti menggendong bayi di teras ditemani Rian.
“Dira... ini Valentine’s day, bolehkah sekali lagi aku mengutarakan isi hatiku?” tiba-tiba Rian berbisik.
“Boleh. Tapi aku sudah tahu kok, apa yang ingin kauutarakan. Dan kamu pun tahu apa jawabanku” sahutku.