[caption id="" align="aligncenter" width="522" caption="Terhempas Gelombang (sumber: http://www.amulet.in.th/forums/images/1449.jpg)"][/caption]
Malam semakin larut. Desir angin lembut menyisir pantai. Chiara baru saja selesai belajar. Ia rapikan buku-buku dan alat tulis kemudian memasukkan ke dalam tas biru mudanya. Berkali-kali ia menguap menahan kantuk yang sedari tadi menyergapnya. Serasa tak kuat lagi melawan luapan kantuk, ia rebahkan tubuhnya di atas sofa begitu saja. Belum lagi ia terlelap, terdengar teriakan-teriakan diluar. Lamat-lamat terdengar teriakan dan hiruk-pikuk di luar.
"Gempa... lagi... gempa.... Semua keluaaarrr..... keluaaaar... cepat...cepat... gempaaa... lagi....!"
Teriakan-teriakan itu memaksanya untuk bangkit. Namun belum sempurna ia berdiri, tubuhnya terasa oleng dan jatuh terjengkangke atas sofa. Lampu yang menggantung di atasnya bergerak pelan ke kiri-kanan. Sejenak kemudian ia merasa terayun, persis kejadian sore tadi. Buku-bukunya di atas lemari kecil merosot dan jatuh berhamburan.
"Ibu...ibu... gempa bu... gempa....", ia berteriak keras di pintu kamar ibunya yang sedikit terbuka.
"Apa....? cepat keluar... lewat pintu belakang....", sahut ibu terlonjak kaget.
"Baik bu... adik tidur di mana? di kamar tidak ada!", teriak Chiara mencari adiknya yang sering juga tidur di kamarnya.
"Ini sama Ibu... , biar ibu yang bawa adikmu. Cepat... lewat belakang". Kembali ibunya mengingatkan.
Chiara berlari menuju pintu belakang. Dibukanya pintu lebar-lebar. Sementara ibunya mengikuti dari belakang. Di luar rumah terlihat tetangga berlarian menuju lapangan bola yang berjarak dua rumah dari rumah Chiara. Tiba-tiba goyangan kembali terasa. Kali ini lebih kuat diikuti padamnya listrik.
'Chiara......... tunggu", teriak ibu Chiara.
Chiara menghentikan langkah dan meraih tangan ibunya. Mereka berjalan beriringan. Kilatan lampu-lampu senter warga yang hilir mudik membuatnya sedikit terbantu melihat permukaan jalan tanah menuju lapangan bola.
"Ibu-ibu dan anak-anak berkumpul di tengah. Jaga anaknya sendiri-sendiri... jangan dilepas, tetap dalam rombongan", terdengar instruksi dari tepi lapangan.
Anak-anak kecil menjerit ketakutan, memeluk ibu, kakak atau seseorang keluarganya. Ditambah lagi teriakan-teriakan mengaduh karena tertabrak atau terinjak. Suasana begitu kacau dan gaduh.
Chiara bersama ibu dan adiknya yang sudah terbangun dari tidur mengambil tempat tepat di lokasi evakuasi gempa tadi sore. Chiara paham betul kemana harus berlindung bila terjadi gempa. Warga pulau yang terdiri dari dua desa ini memang kerap mendapat pelatihan evakuasi bencana gempa bumi. Setidaknya setiap enam bulan pemerintah kabupaten menyelenggarakannya di pulau kecil ini. Warga sekitar lapangan bola ini seakan sudah mempunyai petak-petak tempat berkumpul sekeluarga.
"Semua tetap di tempat, jangan berpindah-pindah atau berkeliaran sebelum keadaan dinyatakan tenang", terdengar lagi perintah tetua desa dari sisi lapangan.
Warga patuh dan tetap tak beranjak dari tempatnya. Kendati sebenarnya mereka ingin kembali ke rumah untuk mengambil apapun sebagai penghangat tubuh untuk melindungi diri dari udara dingin. Bahkan untuk buang air kecil pun terpaksa dilakukan di tempat itu juga.
Malam merambat kian larut. Sesekali terasa ada goyangan diiringi jeritan histeris ibu-ibu. Genset untuk penerangan yang baru saja tiba dari kantor desa belum bisa dinyalakan karena kehabisan bahan bakar. Sementara dingin makin menusuk. Banyak warga yang mulai merebahkan diri di tanah lapang itu. Mereka hanya beralaskan rumput tipis yang tumbuh di lapangan. Di samping Chiara yang duduk dengan kaki berselonjor, ibunya rebah memeluk Frian Malonda, adiknya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar teriakan, "Tsunami...tsunami.... segera naik ke bukit... cepat..cepat...".
Lamat-lamat terdengar gemuruh dari arah pantai, ujung utara pulau. Sontak seisi lapangan menjerit-jerit dan bangkit. Semua berebut jalan yang melintang di sisi kiri lapangan menuju jalan besar, ke arah bukit Karang Panjang. Chiara segera mengambil adiknya yang sudah lelap dan bangkit. Sambil berlari dituntunnya Sang Ibu menuju ke jalan yang mulai penuh sesak. Di pertigaan menjelang jalan besar, lengan ibunya lepas dari geggamannya. Belum sempat ia menoleh, sebuah terjangan air membuat Chiara dan orang-orang disekitarnya terbanting. Air menggulung apa pun dihadapannya. Jerit tangis semakin keras dan riuh terdengar. Mencekam... memilukan.
Air setinggi dada orang dewasa terus bergerak liar. Di atasnya berbagai benda hanyut dan saling berbenturan. Chiara terlempar beberapa meter ke depan. Adik dalam gendongannya nyaris terlepas. Lengan kirinya lebam dan terasa perih setelah dihantam sebuah papan yang sepertinya sebuah daun pintu. Ia mencoba berdiri tegap. Diraihnya sebuah batang pohon jambu sebesar lengan pria dewasa yang masih berdiri agak condong seolah bertahan melawan arus air. Dipegangnya kuat-kuat pohon jambu itu. Sementara Frian terbatuk-batuk akibat banyak air yang terminum, juga kuat-kuat memeluk kakaknya.
Gemuruh air lebih besar terdengar. Pohon jambu yang dipegangi Chiara agaknya tak kuat lagi menahan arus hingga tercabut. Air meninggi dan semakin liar bergerak. Sebuah pagar rumah yang nampaknya cukup kokoh kini bergerak hendak roboh. Benar saja, sebuah ranjang yang hanyut menghantam pagar itu, jebol. Kontan arus air di sekitar seorang gadis yang sedang menggendong adiknya itu kian deras. Chiara terpelanting...
Tubuhnya limbung diterjang ombak tiba-tiba. Panik dan tak siap dengan sergapan air setinggi dadanya. Hanya gelap yang ada, tubuhnya seperti membubung ke angkasa. Menggapai-gapai tangannya berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Timbul-tenggelam tubuhnya dilimbur air coklat pekat. Entah berapa banyak air yang terminum. Dadanya serasa sesak, kerongkongannya tercekat, teriakan minta tolong tak mampu ia lakukan. Terdengar di telinganya deburan dan sayup jeritan anak manusia yang makin lama makin tak terdengar. Ditengah kepanikan, ia terus berusaha memeluk Frian.
Byur!!....Byur!... Kemudian datang gelombang air lebih besar, terlepaslah Frian dari pelukannya. Terengah-engah ia mencoba berenang melawan arus deras, sambil berteriak sekuatnya memanggil Frian. Namun suaranya tertelan gemuruh air yang semakin menderu. Frian digulung gelombang, lenyap dari pandangan. Orang-orang berlari menyelamatkan diri masing-masing tak tentu arah. Ke atap bangunan yang kokoh, memanjat pohon atau berusaha berenang diiringi pekikan ketakutan yang amat sangat.
"Frian... Frian... Frian...," Chiara memanggil-manggil adiknya semata wayang. Diedarkannya pandangan seolah berusaha menerobos gelap. Tiba-tiba ...gubrak! Tiang rumah tetangga roboh persis sedepa di depan Chiara. Makin terhalang pandangan Chiara yang mencari Frian entah di mana. 'Rasanya sudah tak mungkin lagi aku melawan arus ini', bisiknya dalam hati. Dirasakannya arus semakin kuat. Sementara beberapa kali kakinya terantuk dan tertabrak benda-benda keras yang hanyut di bawah permukaan air. Chiara menjerit putus asa. Tangisnya meledak keras. Air matanya meleleh dan menetes hanyut bersama air.
Sementara sang ibu berjalan dipapah beberapa pemuda bersama orang-orang menuju bukit. Sejenak ia menghentikan langkahnya, mencoba menangkap suara-suara di sekitar dan berharap itu suara Chiara Fortina dan Frian Malonda, anak-anaknya. Ia mulai gelisah tidak mendapati suara dua orang anaknya. Ingin balik arah namun pemuda-pemuda itu mencegahnya dengan setengah menyeret meneruskan perjalanan.
"Anakku Chiara.... Frian... anakku....", suara ibu Chiara melengking tiba-tiba.
"Sudahlah Bu, berdoalah, pasrahkan semua kepada Yang Maha Pencipta. Yakinlah bahwa Tuhan akan menyelamatkan mereka", bujuk pemuda di sebelah kanannya.
Ibu Chiara pun menurut. Namun tetap saja hatinya disesaki kegundahan. Terbayang hidupnya akan sebatang kara. Di sela isak tangisnya dalam mendaki bukit Karang Panjang, tiada henti ia panjatkan doa.
***
Di tengah kepanikan antara terjebak gulungan air dan pencarian adik serta ibunya, Chiara tak bisa berlari lebih jauh. Kaki dan punggungnya terasa sakit. Dengan sisa-sisa tenaganya ia mendekati sebuah rumah agak menjulang. Ada beberapa orang yang mencoba menaiki rumah tersebut dengan menyandarkan beberapa balok kayu sebagai tangga.
Aku harus juga naik ke atap rumah ini dan meminjam senter dari orang-orang itu untuk mencari Frian, batin Chiara. Serta merta dia juga menaiki tangga darurat dengan meminta bantuan beberapa lelaki. Tenaganya seolah tumbuh lagi. Sesampai di atas atap beton rumah itu, segera dipinjamnya sebuah senter. Chiara mengarahkan sorotan ke arah bawah di sekitar rumah itu. Namun sia-sia, yang tampak hanyalah air kecoklatan dengan berbagai benda yang hanyut di atasnya. Ia coba sorot ke arah lebih jauh. Tetapi sayang, jangkauan lampu senter hanya mampu menerangi beberapa meter saja. Hatinya ciut tatkala sinar lampu senter tertumbuk pada dua tubuh perempuan tertelungkup hanyut terseret air.
"Frian... Frian...", dimana engkau, Dik?....", teriaknya berkali-kali. Suaranya menyatu dengan jerit pilu dan tangisan orang-orang yang untuk sementara berhasil berlindung.
Hati Chiara kembali mulai dirambati rasa putus harapan. Suara Frian yang diharapkan menyahuti panggilannya tak terdengar. Pun demikian ketika Ia bertanya kepada beberapa tetangganya, semua menggelang tak tahu. Ia sungguh panik. Di benaknya, selain ibunya, terpikir adiknya yang baru berumur 6 tahun itu.
Kemanakah engkau, Frian...., Ibu....?, gumamnya dalam isak tangis. Chiara menyesal kenapa ia tidak bersama mereka saja tadi. Seandainya menjadi korban, tentu akan berkumpul. Dan itu lebih baik daripada harus menanggung kepedihan sendiri.
Tiba-tiba Chiara mengagetkan orang-orang. Chiara bergegas menuruni tangga. Ia berniat mengarungi derasnya air. Pikirnya, kalau air masih setinggi dadanya ia masih bisa mencoba melawan terpaan arus air dan kemudian menyusuri tepian bukit. Orang-orang berteriak-teriak mencegahnya. Namun Chiara tak menggubris. Ia bertekad menyelamatkan diri dengan caranya sendiri ke arah bukit sambil lalu mencari adik dan ibunya.
Terkejut ia melihat ada sorot lampu dengan cahaya yang kuat di balik dinding sebuah bangunan yang nyaris roboh. Tampak olehnya lampu itu dibawa oleh tim penyelamat di atas sebuah perahu karet.
Ah, kebetulan.Akankah mereka ke sini danmau membantu mencari Frian, Chiara membatin dengan segumpal harap.
"Pak.... pak.... tolong pak....", teriak Chiara sambil melambai-lambaikan tangan ke arah perahu itu.
Chiara setengah berlari menyongsong perahu, tahu-tahu datang gelombang menghantam perahu. Chiara tak menyangka datangnya gelombang susulan, ia belum sempat masuk dalam perahu itu. Tubuhnya terlempar bersama gelombang dan makin menjauh dari perahu. Hanya gelap yang ada di sekeliling Chiara. Rasanya seperti berputar-putar dalam pusaran. Chiara tak bisa melihat apapun.
***
Mengerjap-kerjap matanya. Masih samar. Telinganya sayup menangkap keriuhan yang lambat laun terdengar jelas seperti kegaduhan. Matanya berusaha melihat jelas apa yang ada di depannya. Mulanya kabur seperti bayang-bayang sesosok tubuh. Lama kelamaan barulah ia melihat jelas. Sadarlah Chiara, bahwa ia selamat dari terjangan ombak semalam.
"Ibuuuuu....!", serunya. Chiara rebahkan kepalanya ke pangkuan sang ibu.
"Oh.. Chiara...", dipeluknya erat-erat anak gadis belianya itu. Air matanya berderai, mengalir, menganak sungai.
"Frian....", Chiara mencoba bangkit duduk..."Aduuuhh...", mengerang ia pegang paha kirinya, terasa sakit.
"Adikmu sedang tidur, Chiara. Ia ditemukan selamat dan dibawa kesini. Jadi kamu tidak usah khawatir. Istirahatlah, kakimu sakit tertimpa tiang roboh yang diterjang gelombang. Disini aman, sayang", lembut tutur kata ibunya membuat hati Chiara tenang.
Chiara meraba paha kirinya yang sakit. Ia berusaha melihat kaki yang dirasanya begitu nyeri. Tampak pahanya biru lebam. Ia mencoba menggerakkan kakinya. Namun tak banyak yang ia lakukan dengan kakinya yang terasa sakit. Sejurus kemudian ia memandang sekeliling tempat pengungsian.
Ketika matahari mulai menerangi kampung itu, air belum juga surut. Pemandangan mengerikan segera terhampar. Kampung di pulau itu luluh lantak. Bangunan-bangunan nyaris habis tak bersisa. Mayat-mayat bergelimpangan, berbaur dengan benda-benda yang terseret air semalam. Chiara merasakan ada yang nyeri, bahkan lebih nyeri dari sakit paha kirinya.
Probolinggo - Jakarta, 18 Maret 2011
#044 Duet Baik-baik
![13004497661385084092](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/5576fd350423bdb1268b4568.jpeg?t=o&v=770)
![13004498331880817964](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/5576fd360423bdb1268b4569.jpeg?t=o&v=770)
- Admin Kompasiana ;
- Para Inisiator Festival Fiksi Kolaborasi atas kesempatan yang diberikan kepada kami;
- Sahabat kami Agung Hariyadi, atas usulan tema yang kami angkat;
- Semua Kompasianer yang terus menyemangati kami berdua.
NIKMATI SAJIAN PENULIS LAIN DI AJANG FFK DI: KampungFiksi@Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI