Byur!!....Byur!... Kemudian datang gelombang air lebih besar, terlepaslah Frian dari pelukannya. Terengah-engah ia mencoba berenang melawan arus deras, sambil berteriak sekuatnya memanggil Frian. Namun suaranya tertelan gemuruh air yang semakin menderu. Frian digulung gelombang, lenyap dari pandangan. Orang-orang berlari menyelamatkan diri masing-masing tak tentu arah. Ke atap bangunan yang kokoh, memanjat pohon atau berusaha berenang diiringi pekikan ketakutan yang amat sangat.
"Frian... Frian... Frian...," Chiara memanggil-manggil adiknya semata wayang. Diedarkannya pandangan seolah berusaha menerobos gelap. Tiba-tiba ...gubrak! Tiang rumah tetangga roboh persis sedepa di depan Chiara. Makin terhalang pandangan Chiara yang mencari Frian entah di mana. 'Rasanya sudah tak mungkin lagi aku melawan arus ini', bisiknya dalam hati. Dirasakannya arus semakin kuat. Sementara beberapa kali kakinya terantuk dan tertabrak benda-benda keras yang hanyut di bawah permukaan air. Chiara menjerit putus asa. Tangisnya meledak keras. Air matanya meleleh dan menetes hanyut bersama air.
Sementara sang ibu berjalan dipapah beberapa pemuda bersama orang-orang menuju bukit. Sejenak ia menghentikan langkahnya, mencoba menangkap suara-suara di sekitar dan berharap itu suara Chiara Fortina dan Frian Malonda, anak-anaknya. Ia mulai gelisah tidak mendapati suara dua orang anaknya. Ingin balik arah namun pemuda-pemuda itu mencegahnya dengan setengah menyeret meneruskan perjalanan.
"Anakku Chiara.... Frian... anakku....", suara ibu Chiara melengking tiba-tiba.
"Sudahlah Bu, berdoalah, pasrahkan semua kepada Yang Maha Pencipta. Yakinlah bahwa Tuhan akan menyelamatkan mereka", bujuk pemuda di sebelah kanannya.
Ibu Chiara pun menurut. Namun tetap saja hatinya disesaki kegundahan. Terbayang hidupnya akan sebatang kara. Di sela isak tangisnya dalam mendaki bukit Karang Panjang, tiada henti ia panjatkan doa.
***
Di tengah kepanikan antara terjebak gulungan air dan pencarian adik serta ibunya, Chiara tak bisa berlari lebih jauh. Kaki dan punggungnya terasa sakit. Dengan sisa-sisa tenaganya ia mendekati sebuah rumah agak menjulang. Ada beberapa orang yang mencoba menaiki rumah tersebut dengan menyandarkan beberapa balok kayu sebagai tangga.
Aku harus juga naik ke atap rumah ini dan meminjam senter dari orang-orang itu untuk mencari Frian, batin Chiara. Serta merta dia juga menaiki tangga darurat dengan meminta bantuan beberapa lelaki. Tenaganya seolah tumbuh lagi. Sesampai di atas atap beton rumah itu, segera dipinjamnya sebuah senter. Chiara mengarahkan sorotan ke arah bawah di sekitar rumah itu. Namun sia-sia, yang tampak hanyalah air kecoklatan dengan berbagai benda yang hanyut di atasnya. Ia coba sorot ke arah lebih jauh. Tetapi sayang, jangkauan lampu senter hanya mampu menerangi beberapa meter saja. Hatinya ciut tatkala sinar lampu senter tertumbuk pada dua tubuh perempuan tertelungkup hanyut terseret air.
"Frian... Frian...", dimana engkau, Dik?....", teriaknya berkali-kali. Suaranya menyatu dengan jerit pilu dan tangisan orang-orang yang untuk sementara berhasil berlindung.
Hati Chiara kembali mulai dirambati rasa putus harapan. Suara Frian yang diharapkan menyahuti panggilannya tak terdengar. Pun demikian ketika Ia bertanya kepada beberapa tetangganya, semua menggelang tak tahu. Ia sungguh panik. Di benaknya, selain ibunya, terpikir adiknya yang baru berumur 6 tahun itu.