"Ibu-ibu dan anak-anak berkumpul di tengah. Jaga anaknya sendiri-sendiri... jangan dilepas, tetap dalam rombongan", terdengar instruksi dari tepi lapangan.
Anak-anak kecil menjerit ketakutan, memeluk ibu, kakak atau seseorang keluarganya. Ditambah lagi teriakan-teriakan mengaduh karena tertabrak atau terinjak. Suasana begitu kacau dan gaduh.
Chiara bersama ibu dan adiknya yang sudah terbangun dari tidur mengambil tempat tepat di lokasi evakuasi gempa tadi sore. Chiara paham betul kemana harus berlindung bila terjadi gempa. Warga pulau yang terdiri dari dua desa ini memang kerap mendapat pelatihan evakuasi bencana gempa bumi. Setidaknya setiap enam bulan pemerintah kabupaten menyelenggarakannya di pulau kecil ini. Warga sekitar lapangan bola ini seakan sudah mempunyai petak-petak tempat berkumpul sekeluarga.
"Semua tetap di tempat, jangan berpindah-pindah atau berkeliaran sebelum keadaan dinyatakan tenang", terdengar lagi perintah tetua desa dari sisi lapangan.
Warga patuh dan tetap tak beranjak dari tempatnya. Kendati sebenarnya mereka ingin kembali ke rumah untuk mengambil apapun sebagai penghangat tubuh untuk melindungi diri dari udara dingin. Bahkan untuk buang air kecil pun terpaksa dilakukan di tempat itu juga.
Malam merambat kian larut. Sesekali terasa ada goyangan diiringi jeritan histeris ibu-ibu. Genset untuk penerangan yang baru saja tiba dari kantor desa belum bisa dinyalakan karena kehabisan bahan bakar. Sementara dingin makin menusuk. Banyak warga yang mulai merebahkan diri di tanah lapang itu. Mereka hanya beralaskan rumput tipis yang tumbuh di lapangan. Di samping Chiara yang duduk dengan kaki berselonjor, ibunya rebah memeluk Frian Malonda, adiknya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar teriakan, "Tsunami...tsunami.... segera naik ke bukit... cepat..cepat...".
Lamat-lamat terdengar gemuruh dari arah pantai, ujung utara pulau. Sontak seisi lapangan menjerit-jerit dan bangkit. Semua berebut jalan yang melintang di sisi kiri lapangan menuju jalan besar, ke arah bukit Karang Panjang. Chiara segera mengambil adiknya yang sudah lelap dan bangkit. Sambil berlari dituntunnya Sang Ibu menuju ke jalan yang mulai penuh sesak. Di pertigaan menjelang jalan besar, lengan ibunya lepas dari geggamannya. Belum sempat ia menoleh, sebuah terjangan air membuat Chiara dan orang-orang disekitarnya terbanting. Air menggulung apa pun dihadapannya. Jerit tangis semakin keras dan riuh terdengar. Mencekam... memilukan.
Air setinggi dada orang dewasa terus bergerak liar. Di atasnya berbagai benda hanyut dan saling berbenturan. Chiara terlempar beberapa meter ke depan. Adik dalam gendongannya nyaris terlepas. Lengan kirinya lebam dan terasa perih setelah dihantam sebuah papan yang sepertinya sebuah daun pintu. Ia mencoba berdiri tegap. Diraihnya sebuah batang pohon jambu sebesar lengan pria dewasa yang masih berdiri agak condong seolah bertahan melawan arus air. Dipegangnya kuat-kuat pohon jambu itu. Sementara Frian terbatuk-batuk akibat banyak air yang terminum, juga kuat-kuat memeluk kakaknya.
Gemuruh air lebih besar terdengar. Pohon jambu yang dipegangi Chiara agaknya tak kuat lagi menahan arus hingga tercabut. Air meninggi dan semakin liar bergerak. Sebuah pagar rumah yang nampaknya cukup kokoh kini bergerak hendak roboh. Benar saja, sebuah ranjang yang hanyut menghantam pagar itu, jebol. Kontan arus air di sekitar seorang gadis yang sedang menggendong adiknya itu kian deras. Chiara terpelanting...
Tubuhnya limbung diterjang ombak tiba-tiba. Panik dan tak siap dengan sergapan air setinggi dadanya. Hanya gelap yang ada, tubuhnya seperti membubung ke angkasa. Menggapai-gapai tangannya berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Timbul-tenggelam tubuhnya dilimbur air coklat pekat. Entah berapa banyak air yang terminum. Dadanya serasa sesak, kerongkongannya tercekat, teriakan minta tolong tak mampu ia lakukan. Terdengar di telinganya deburan dan sayup jeritan anak manusia yang makin lama makin tak terdengar. Ditengah kepanikan, ia terus berusaha memeluk Frian.