Mohon tunggu...
Hamli Syaifullah
Hamli Syaifullah Mohon Tunggu... -

Blogger di "Blog Strategi dan Keuangan" serta Dosen di UMJ

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Yakinlah, Anda Guru yang Bisa Menulis

20 Juli 2017   07:03 Diperbarui: 20 Juli 2017   19:58 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi guru yang bisa menulis, itu bukan perkara gampang. Apalagi, bila dikaitkan dengan tugas guru yang seabrek, mulai dari mempersiapkan bahan mengajar, mengajar di kelas, memeriksa tugas, hingga tanggung jawab beban moril bagi guru. Dan mungkin, masih banyak lagi tugas lainnya, yang tak dapat disebutkan secara rinci.

Bila guru diberi beban tugas lainnya seperti tugas menulis, pasti tugas guru akan lebih berat lagi. Belum lagi, banyaknya tugas guru bila dikaitkan dengan honor yang diterima, kadang tak seimbang. Sehingga hal tersebut sangat mengganggu keikhlasan guru mengajar. Seolah, guru hanya dituntut menunaikan kewajiban, sementara haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak tak ditunaikan.  

Dalam artian, guru dituntut bekerja dengan ikhlas. Sementara, tuntutan biaya hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin semakin tinggi. Tentu, hal tersebut merupakan ketidakadilan bagi guru saat ini. Maka dari itu, bagi guru yang ingin menjadi guru penulis, sebaiknya keinginan tersebut jangan dijadikan beban hidup yang berat. Akan tetapi, jadikan saja sebagai sarana untuk mengembangkan diri menjadi guru yang profesional.

Sebagai guru yang ingin belajar menulis, Anda harus yakin bahwa Anda akan bisa melalui hambatan dan rintangan saat belajar menulis. Hingga akhirnya, Anda bisa hasilkan tulisan yang berkualitas. Tapi, yakin saja tak cukup. Karena, keyakinan harus dibarengi dengan kerja konkret dalam diri kita masing-masing sebagai guru yang ingin bisa menulis.

Membedah Anatomi Keyakinan

Keyakinan menjadi unsur penunjang dalam melakukan segala aktivitas sehari-hari. Karena keyakinan mampu mendorong dan mendongkrak kekuatan besar yang ada pada diri seseorang. Sehingga, dirinya akan memberikan kinerja yang terbaik, demi membela keyakinan itu sendiri.

Sedangkan kinerja menurut John Whitmore ialah suatu perbuatan, suatu prestasi, atau apa yang diperlihatkan seseorang melalui keterampilan nyata (Hamzah B. Uni dan Nina Lamatenggono: 2015, 60).

Artinya, seseorang yang memiliki keyakinan tinggi, bahwa dirinya bisa mencapai apa yang diinginkan, khususnya keyakinan diri bahwa dirinya akan menjadi penulis handal, tentu dirinya akan membuktikan dengan perbuatan, prestasi, dan keterampilan yang dimilikinya sekuat tenaga.

Jika suatu hari dirinya menemukan halangan, rintangan dan tantangan, dirinya akan melaluinya dengan penuh ketabahan dan keikhlasan. Karena halangan, rintangan dan tantangan akan membuat dirinya makin kuat mengeluarkan segala upaya demi menumbuhkan kinerja yang terbaik, untuk mewujudkan impiannya.

Apalagi, bila kita coba berkontemplasi dengan kejernihan hati dan pikiran, bahwa sebenarnya, tantangan merupakan hal yang mengasyikkan bila diyakini bahwa tantangan tersebut bisa dilalui (Adi Soenarno: 2007, 187).

Pengertian yang diungkapkan oleh Adi Soenarno, sebenarnya menyuruh kita untuk terus mendengungkan keyakinan dalam diri kita. Bahwa sesungguhnya, keyakinan akan menjadi penentu, apakah kita berhasil untuk mencapai impian yang kita cita-citakan, khususnya impian menjadi penulis yang bisa hasilkan karya berkualitas.

Oleh karena itu, bagi guru yang ingin menjadi guru penulis, harus memiliki keyakinan yang diimplementasikan dalam bentuk usaha nyata. Kemudian, mengeluarkan segala daya dan upaya yang dimiliki untuk merealisasikan impian tersebut hingga menjadi kenyataan.

Bentuk Implementasi Keyakinan

Keyakinan saja tidak cukup, untuk mewujudkan keinginan menjadi guru penulis yang handal. Karena, keyakinan hanya menjadi pondasi awal bagi kita yang saat ini bercita-cita menjadi guru penulis.

Sementara pondasi, bila tidak dilanjutkan dengan bangunan lainnya, seperti gedung, atap, pemberian jendela, hingga interior lainnya, hanya akan menjadi gundukan batu yang tak bermanfaat. Maka dari itu, pondasi harus dilanjutkan dengan hal lain, berbentuk kinerja nyata.

Analogi tersebut, rasa-rasanya cukup menyadarkan diri kita, bahwa keyakinan untuk menjadi seorang guru yang penulis, itu saja tidak cukup. Butuh pengorbanan nyata lain, yang harus kita lakukan. Sehingga impian menjadi guru yang penulis bisa terealisasi.

Selama saya menggeluti dunia kepenulisan, kemudian terjun di dunia pendidikan sebagai seorang guru (baca: dosen) di salah satu perguruan tinggi, saya menemukan setidaknya ada tiga kerja nyata yang harus dikerahkan oleh seorang guru yang ingin menjadi guru penulis. 

Pertama: Kerja Keras

Saya orang yang kurang percaya pada motivator yang selalu mengatakan bahwa "saat ini bukan zamannya lagi bekerja keras, akan tetapi sudah memasuki kerja cerdas". Menurut hemat saya, konsep kerja cerdas hanya akan membuat kita panjang angan-angan. Dan akhirnya, membuat diri kita menjadi seorang pemalas.

Dalam artian, kita menginginkan sesuatu yang lebih dari orang-orang. Sementara kita tak menginginkan adanya pengorbanan lebih yang dikeluarkan oleh diri kita. Tentunya, sangat sulit untuk mendapatkan apa yang kita inginkan tersebut. Karena tak akan mungkin, kita ingin hasilkan sesuatu yang banyak. Namun, kita tak mau berkorban untuk mendapatkan hal banyak tersebut.  

Maka dari itu, kerja cerdas harus dibarengi dengan kerja keras. Karena hanya dengan kerja keras, seseorang akan mampu wujudkan impian yang dicita-citakan. Kerja cerdas tanpa kerja keras, menurut saya sangat omong kosong. Yang sangat tepat ialah, kerja cerdas harus diiringi dengan kerja keras.  

Semisal, kita sebagai guru ingin menjadi guru  yang lebih bila dibandingkan dengan guru lainnya. Salah satunya, ingin menjadi guru yang bisa menulis. Hanya saja, kita tak mau berkorban lebih. Umpamanya berkorban waktu, berkorban uang untuk membeli buku, berkorban uang untuk membeli tiket seminar kepenulisan. Rasa-rasanya impian tersebut, tak akan mungkin bisa tercapai. Karena, kita tak mau bekerja keras dengan mengorbankan sebagian yang kita miliki.

Sampai kapapanpun, keinginan menjadi seorang guru yang penulis tidak akan tercapai, tanpa adanya kerja keras bagi seorang guru. Kerja keras yang harus dilakukan, misalnya, rutin berlatih menulis setiap hari, rajin berkunjung ke seminar kepenulisan---entah yang berbayar ataupun yang gratis, rajin berkonsultasi ke penulis senior, bergabung dengan kelompok kepenulisan, dan lain sebagainya.

Contoh lain, yang sangat nyata ialah, dari artikel yang Anda baca saat ini. Sebagai seorang guru (baca: dosen) yang sekaligus ingin menjadi penulis handal, saya bekerja keras dengan mengumpulkan beberapa sumber refrensi. Kemudian, saya sempatkan habiskan waktu menulis di perpustakaan kampus tempat saya mengajar. Dan Alhamdulillah, saya pun bisa menghasilkan sebuah tulisan yang bisa dibaca, dan semoga bermanfaat untuk para pembaca.

Mungkin, bila dibandingkan dengan guru lainnya, kerja keras saya akan lebih besar. Bisa saja, saat guru lain sedang santai di sela-sela jam mengajar, saya malah habiskan waktu di perpustakaan dengan mengetik dan membaca buku. Saat guru lainnya tidur terlelap di malam hari, saya masih fokus mengetik di depan leptop. Hal tersebut, hanya sebagai contoh bagaimana kerja keras harus dilakukan oleh seorang guru, yang ingin menjadi guru penulis.

Saya sangat yakin, jika Anda saat ini bermimpi menjadi guru yang sekaligus penulis, kerja keras harus Anda tancapkan dalam lubuk hati yang paling dalam. Insya-Allah, dengan kerja keras dan unsur-unsur lainnya, cita-cita menjadi guru yang penulis akan tercapai.

Kedua: Berani Salah

Saat ini, banyak orang yang merasa takut berbuat salah. Karena ketakutannya yang besar, membuat dirinya tak berani berbuat apa-apa dalam hidupnya. Sehingga, dirinya lebih memilih berdiam diri, tak mau mencoba, hingga membunuh keinginan-keinginan yang menyembul di dalam hatinya.

Contoh, Anda ingin menjadi guru sekaligus seorang esais yang handal, tapi karena Anda tak mau mencoba menulis esai disebabkan takut salah, maka sampai hari kiamat pun impian menjadi seorang guru yang sekligus esais tak akan tercapai.

Contoh lain, Anda saat ini seorang guru, dan berkeinginan menjadi guru sekaligus penulis buku-buku diktat (pelajaran). Akan tetapi, Anda tak pernah berani mencoba menulis buku satu kalipun. Sehingga, membuat diri Anda harus mengubur dalam-dalam impian tersebut. Disebabkan, Anda takut salah dalam menulis buku.

Ketakutan demi ketakutan harus Anda singkirkan, jika ingin menjadi guru yang penulis. Karena dengan menyingkirkan ketakutan yang timbul dalam diri kita, maka akan mampu mengembangkan kreativitas yang ada dalam diri kita masing-masing. Karena kreativitas dalam menulis itu sangat dibutuhkan. Tanpa kreativitas, rasa-rasanya sangat sulit guru bisa hasilkan tulisan.

Menurut Plato dalam bukunya yang berjudul Ion menjelaskan bahwa kreativitas timbul dari inspirasi yang hebat (bersifat ketuhanan). Proses kreasi adalah kondisi di mana kesadaran seseorang menyerah pada kegilaan. Hal ini menunjukkan bahwa proses kreasi diperoleh dari sumber eksternal (David S. Kodrat dan Wina Christina: 2015, 78).

Sebaliknya, Aristoteles mempunyai pandangan yang berbeda. Proses kreasi menekankan pada tingkat keahlian, kecermatan, dan ketelitian. Hal ini menunjukkan bahwa proses kreasi berasal dari sumber internal (David S. Kodrat dan Wina Christina: 2015, 78).

Dari pengertian di atas, saya tidak akan mempermasalahkan pandangan Plato dan Aristoteles, apakah kreativitas itu bersumber dari eksternal ataupun internal. Yang coba saya tekankan ialah, kreativitas itu sangat dibutuhkan dalam mengembangkan diri sebagai seorang penulis. Sedangkan kreativitas dapat berkembang dalam diri seseorang, bila orang tersebut berhasil menghilangkan ketakutan dan mau memunculkan keberanian dalam dirinya.

Dalam artian, dirinya berani mencoba berlatih menulis, dan tak takut untuk berbuat kesalahan. Dari kesalahan yang diperbuat, dirinya mau memperbaiki kesalahan tersebut. Sehingga, dari pengalaman berbuat salah, dirinya pun tak akan membuat kesalahan yang sama di kemudian hari.

Kemudian dirinya akan terus belajar dan belajar, bagaimana menghasilkan tulisan yang baik dan benar, serta bisa dimengerti oleh para pembaca. Itulah salah satu kelebihan seseorang yang berani salah, dan mau mencoba untuk menulis.  

Ketiga: Perencanaan yang Matang

Setelah kita mau bekerja keras dan berani salah dalam menulis, kemudian hal tersebut benar-benar telah dikerjakan semaksimal mungkin, maka langkah selanjutnya ialah membuat perencanaan yang terarah dan lebih matang dari aktivitas atau kegiatan tulis-menulis yang kita kerjakan.

Perencanaan matang merupakan perencanaan yang akan kita lakukan di kemudian hari, sebagai seorang guru yang penulis. Perencanaan sangat penting, sebagai alat pengukur dan motivasi dalam menghasilkan tulisan demi tulisan. Sehingga, kita akan tetap produktif untuk hasilkan tulisan, sebagai guru yang penulis.

Perencanaan dibagi menjadi dua, yaitu perencanaan bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Perencanaan jangka panjang, misalnya: direncanakan dalam satu tahun bisa hasillkan 2 buku, dalam satu tahun bisa hasilkan 3 buku, dalam 2 bulan bisa menyelesaikan satu buku, dan lain sebagainya.

Sedangkan perencanaan jangka pendek, misalnya: direncanakan setiap hari  hasilkan 1 opini, menulis selembar setiap hari, menulis lima lembar setiap hari, dan lain sebagainya. Jika dilihat perbedaannya, perencanaan jangka panjang ialah perencanaan yang bersifat bulanan atau tahunan, dan perencanaan jangka pendek ialah perencanaan yang bersifat harian. 

Sebagai penulis, penting untuk memiliki perencanaan, baik yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Hal tersebut untuk memotivasi diri sang guru untuk menulis. Sehingga, dengan adanya perencanaan yang terstruktur ataupun terjadwal, akan membuat sang guru selalu ingat, bahwa dirinya kini adalah seorang guru penulis, yang harus hasilkan tulisan setiap harinya.

Dengan adanya perencanaan yang matang, efeknya akan kembali pada diri sang guru. Misalnya, Anda seorang guru yang merencanakan setiap hari menulis 3 lembar. Jika dikalkulasikan dalam sebulan, maka tulisan Anda akan terkumpul sebanyak 90 halaman. Ketebalan naskah yang diketik di komputer 90 halaman, sudah cukup bila dijadikan buku. Berarti, jika setiap hari menulis 3 halaman, dalam sebulan kita akan hasilkan satu buku.

Maka dari itu, setelah kita memutuskan untuk menjadi guru penulis, buatlah perencanaan matang, mengenai langkah apa yang akan dilakukan di kemudian hari. Berapa jumlah tulisan yang harus dihasilkan. Hingga, bagaimana caranya kita memasarkan tulisan-tulisan yang berhasil kita tulis.  

Penutup

Setelah membaca ulasan yang cukup panjang, kita harus bisa menumbuhkan keyakinan dalam diri kita masing-masing, bahwa kita yakin bisa menjadi seorang guru penulis. Dan seorang guru penulis itu tidak bisa dilahirkan, akan tetapi harus diciptakan oleh dirinya sendiri dalam bentuk hasilkan tulisan setiap harinya.

Tiga hal yang telah saya uraikan, mulai dari kerja keras, berani salah hingga membuat perencanaan matang, merupakan langkah yang harus dijalankan oleh seorang calon guru yang penulis. Saya yakin, ketiga hal tersebut akan mampu melejitkan kemampuan menulis yang dimiliki oleh Anda sebagai guru.

Selamat menjadi guru yang penulis, dengan karya yang bisa dibaca oleh masyarakat dunia...!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun