Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aroma Kesombongan dalam Cerita Kesuksesan

25 Januari 2025   16:06 Diperbarui: 25 Januari 2025   16:06 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbincang (Sumber: SHUTTERSTOCK via Kompas.com)

"Saya yang kerjakan proyek di Jalan A itu....

"Saya datangi Balai kota dan saya tendang- tendang itu kursi-meja. Masa sudah dua tahun, upah proyek belum cair juga...

"Para bos-bos itu kenal semua sama saya. Pernah mereka minta saya mijat refleksi mereka di hotel B selama dua malam berturut-turut..."

Leo (bukan nama sebenarnya) berceloteh panjang kali lebar kali tinggi tentang berbagai kesuksesan yang dia peroleh.

"Kesialan" saya ini terjadi di hari Kamis, 16 Januari 2025, ketika saya dan beberapa jemaat gereja sedang menikmati makan malam setelah selesai mengikuti ibadah Perdoman (Perjamuan Doa Malam Antar Jemaat) di Kelir House Gereja Bethel Indonesia Keluarga Imamat Rajani (KH GBI KelIr) Samarinda.

Terus terang, awalnya saya melihat Leo sebagai orang yang supel. Mau berbagi pengalaman. Tapi lama-kelamaan, saya mau "muntah" karena Leo seperti tidak bisa berhenti bicara. Lidahnya seperti tak bertulang. Kalimat demi kalimat mengalir deras dari mulutnya, dan seakan tidak ada titik-koma sebagai pemisah dan jeda.

Saya memberikan tanggapan, si Leo malah semakin "nge-gass". Saya diam saja, dia seperti tidak juga berniat menghentikan ocehannya yang panjang kali lebar kali tinggi tersebut

Saya menunggu momen dimana dia berhenti bicara atau ketika ada seseorang yang menghampiri meja kami dan menyela untuk minta izin duduk di kursi kosong di seputaran meja kami.

Tunggu punya tunggu, akhirnya ada seorang diaken, Rudi (nama samaran) yang menghampiri meja kami dan berkata, "Ti, permisi ya. Duduk di sini." (Ti, adalah kependekan dari panggilan untuk titi dalam bahasa Tionghoa, artinya "adik laki-laki").

"Silakan, Koh," kata saya, dan saya melihat peluang tersebut untuk mohon pamit. 

"Saya permisi ya, Pak Leo. Sudah malam. Mau pulang saya. Capek," Saya segera mengangkat ompreng saya yang sudah kosong dan beranjak ke tempat penumpukan ompreng kotor.

Leo mengikuti jejak saya. Kami pun berpisah.

Mengapa Leo memaparkan berbagai cerita kesuksesannya?

Tentu saja, senang mendapatkan teman baru yang supel dan mempunyai banyak cerita menarik. Sayangnya, dalam kasus Leo, terdapat kebosanan sewaktu mendengarkan dia. Dia memaparkan berbagai cerita kesuksesannya terlalu panjang dan terlalu mendominasi.

Mengapa Leo memaparkan berbagai cerita kesuksesannya yang seakan tiada akhir?

Ada 3 (tiga) asumsi atau dugaan saya.

1. Dia ingin menebarkan pikiran positif

Yah, mungkin dia ingin menebarkan pikiran positif di tengah keruwetan hidup. Dia ingin menunjukkan kalau kehidupan ini indah adanya karena sudah banyak kepedihan dalam hidup dan dia tidak suka mendengar segala kemuraman tersebut.

Tentu saja, sangat baik mendapatkan teman yang seperti ini. Mendapatkan teman yang berpikiran positif dan membangun semangat berjuang dalam kehidupan.

2. Dia ingin menyombongkan kehebatannya karena punya perasaan inferior yang akut

Inferior. Rasa rendah diri menjadi penyakit yang akut jika mengakar dalam diri. Ada beberapa yang menjadi introver, orang yang pemalu dan menutup diri dari pergaulan. Tapi ada juga yang justru sebaliknya, menyombongkan kehebatannya. Dengan begitu orang lain tidak mengetahui kalau dia mempunyai perasaan inferior yang sangat akut.

Terkesan melebih-lebihkan kehebatannya. Begitulah yang terlihat di permukaan.

3. Dia ingin orang lain kagum akan kehebatan dirinya

Kalau yang ini, dia menginginkan orang lain kagum akan kehebatan dirinya. Intinya: pamer kebisaan diri. Mulai dari kemampuan memainkan berbagai alat musik sebagai contoh, sampai pamer, menceritakan pengalaman jalan-jalan ke luar negeri tanpa diminta.

Sangat kelihatan kalau dia lebih peduli dengan kehebatan dirinya dibanding cerita sukses orang lain atau lawan bicara. Terlihat dari bagaimana dia menceritakan segala pencapaiannya tanpa jeda dan tidak merasa kalau pemaparannya sangat membosankan alih-alih membuat kagum orang lain.

Sudah jelas, menurut asumsi saya, dari tiga asumsi yang tersaji, asumsi ketiga yang saya pikir adalah apa yang menjadi tujuan Leo. Dia ingin orang lain kagum akan kehebatan dirinya.

Bagaimana Leo dan orang-orang yang setipe dengan dia bersikap?

Saya tidak tahu apakah Anda seperti saya sebagai pendengar yang menjadi "korban" atau malah seperti Leo yang oportunis dan egois.

Yang jelas, ini ada 3 (tiga) saran buat Leo dan orang-orang yang setipe dengan dia. Berikut saran-saran saya buat Leo dan orang-orang yang setipe dalam bersikap dan bertutur kata di hadapan lawan bicara:

1. Menyadari kalau tidak semua orang suka mendengarkan cerita kesuksesan orang lain

Harus disadari kalau tidak semua orang suka mendengarkan cerita kesuksesan orang lain. 

Setiap insan mempunyai kesukarannya sendiri hari demi hari. Masing-masing tidak sama tingkat kesulitan dalam permasalahannya. Oleh sebab itu, alih-alih senang, lawan bicara mungkin malah lebih galau setelah mendengar kesuksesan orang lain.

Seperti dalam kasus saya. Saya mempunyai masalah tersendiri. Leo tidak tahu masalah saya. Saya ingin berbagi kepada orang lain, tapi saya sadar, kalau tidak semua orang dapat menjadi pendengar yang baik dan tidak semua orang bisa memberikan solusi yang tepat sesuai dengan kebutuhan saya.

Mendengar Leo "meleter", "menyombongkan" segala pencapaian membuat saya lelah dalam mendengar dan galau dalam menatap hari depan.

Oleh karena itu, menyadari akan kebutuhan orang lain adalah yang terpenting. Apa kebutuhan orang lain tersebut? Didengarkan. Mereka, lawan bicara, butuh didengar, bukan sebaliknya.

2. Menjaga batas penceritaan yang tidak terlalu panjang supaya tidak terkesan arogan

Saya teringat dengan salah satu ayat Alkitab yang berhubungan dengan interaksi, komunikasi dengan sesama.

Mohon maaf bagi yang beragama lain, tapi menurut saya, firman Tuhan yang saya kutip berikut sangat tepat untuk membahas poin kedua ini.

Ayat Alkitab tersebut terdapat dalam Yakobus 1:19 yang berbunyi, "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." Tadi dalam versi Terjemahan Baru yang standar.

Kalau dalam versi Firman Allah Yang Hidup, tertulis, "Saudara sekalian yang saya kasihi, sekali-kali janganlah lupa bahwa lebih baik kita banyak mendengar, sedikit berbicara, dan tidak pemarah."

Dalam ajaran kristiani, terlihat bahwa banyak mendengar adalah sesuatu yang lebih baik daripada banyak berbicara. Dan biasanya, orang yang banyak berbicara, dalam hal ini, dalam situasi informal atau santai, terkesan arogan dan pastinya memonopoli arah percakapan.

3. Bangun percakapan dua arah yang seimbang

Sejalan dengan poin dua, dalam poin tiga ini, kenakan "rem" sewaktu berbicara. "Rem" di sini bukan berbentuk fisik dalam bentuk lem bibir atau lakban mulut. "Rem" di sini dalam bentuk kesadaran diri kapan harus berbicara dan kapan harus mendengar. 

Kalau melihat ayat Alkitab dalam Yakobus 1:19 sebelumnya, maka mendengarkan mendapat porsi terbesar. Sedapat mungkin, berikan kesempatan yang lebih banyak untuk lawan bicara berbicara. Karena di zaman seperti sekarang ini, banyak orang ingin mengungkapkan kesulitan hidup, tapi hanya sedikit insan yang mau mendengarkan keluh kesah mereka.

Bagaimana saya dan Anda bersikap sebagai pendengar ketika mendapat lawan bicara yang "dominan" seperti Leo?

Bagaimana seandainya menghadapi lawan bicara yang "dominan" seperti Leo?

Berikut 3 (tiga) saran dari saya supaya saya dan Anda bersikap sebagai pendengar yang bijak dalam menghadapi lawan bicara seperti Leo:

1. Sabar mendengarkan

Tetap sabar mendengarkan. Tetap jaga kontak mata yang merupakan tanda menghormati lawan bicara. Hargai lawan bicara yang meluangkan waktu berbicara pada kita, meskipun mungkin dia memonopoli seluruh waktu percakapan.

Tetap tampilkan senyum di wajah, meskipun hati panas. Jangan tampakkan muka kesal atau marah. Karena mungkin juga tidak ada seorang pun yang mau mendengarkan sang lawan bicara. Paling tidak, kita menunjukkan apresiasi karena lawan bicara mau berbagi pengalaman dan keluh kesah.

2. Jangan menyela dan jangan memberi komentar

Tentu saja, kita tidak senang saat lawan bicara menyela saat kita berbicara. Kita belum selesai dalam menyatakan opini, tapi lawan bicara menghentikan pemaparan kita. Entah karena tidak setuju dengan pendapat kita; atau karena dia ingin langsung menyatakan opini, sehingga dia tidak sabar menunggu kita selesai bicara. Dia takut lupa dengan pendapatnya kalau menunda mengungkapkan.

Oleh karena itu, kita harus tetap sabar mendengarkan. Jangan menyela, meskipun kita tidak setuju dengan pendapatnya. Karena kalau kita menyela, menyatakan ketidaksetujuan, maka justru akan menimbulkan pertentangan di dalam pembicaraan. Lawan bicara merasa terintimidasi dan dilecehkan pendapatnya.

Dan efeknya, perbincangan akan semakin panjang.

Jangan juga memberi komentar, karena efeknya juga sama. Perbincangan akan semakin panjang dan lawan bicara akan merasa kita tertarik dengan topik yang sedang dibahas.

Biarkan lawan bicara ngoceh sampai capek. 

3. Saat lawan bicara berhenti ngomong, sudahi perbincangan

Ketika lawan bicara berhenti ngomong, saat itulah waktu yang tepat untuk melancarkan counter attack, serangan balik, dengan menyudahi perbincangan, dan segera mohon diri, pamit pulang.

Tentu saja, momen lawan bicara berhenti berbicara adalah saat yang tidak bisa ditebak kapan terjadinya, mengingat lidah tak bertulang sang lawan bicara. 

Oleh karena itu, butuh kejelian dan kecermatan menunggu waktu yang tepat dan sesuai. Pastikan, permohonan undur diri dari pertemuan tidak dilakukan dengan terburu-buru. Tetap menunjukkan sikap hormat pada lawan bicara. Jangan sampai lawan bicara merasa tersinggung karena pengunduran diri terkesan "memutus" perkataannya yang belum tuntas.

Jangan mengumbar cerita kesuksesan kita

Pada akhirnya, kita memang bisa belajar dari setiap cerita kesuksesan orang lain, dan kita juga punya cerita kesuksesan tersendiri yang kemungkinan bisa menginspirasi insan yang lain.

Namun perlu diingat kalau orang lain belum tentu tertarik mendengarkan cerita kesuksesan kita, apalagi kalau disampaikan secara lisan di waktu malam. Faktor lelah setelah bekerja seharian bisa menurunkan antusiasme dalam mendengarkan. Jadi, lihat faktor kondisi lawan bicara, apakah dia dalam keadaan lelah; atau ada masalah pribadi yang melanda atau tidak.

Begitu juga sebagai pendengar. Tetap jaga etika dan tidak terpancing emosi ketika melihat lawan bicara mengumbar cerita kesuksesannya melebihi takaran. Hargai dan tetap melihat peluang kapan bisa mengakhiri pertemuan.

Karena dimana ada pertemuan, ada juga perpisahan sesudahnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun