Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merenungkan Keluh Kesah Orang Susah

9 Januari 2025   11:27 Diperbarui: 9 Januari 2025   13:43 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Orang Susah (Sumber: FREEPIK via Kompas.com)

Memang, sebagai manusia, kita lebih condong mengandalkan panca indra. 

Paras wajah dan postur tubuh, status ekonomi (kaya atau miskin), jumlah properti (tanah, rumah, apartemen, dan lain sebagainya), profesi (pengusaha, pegawai, guru, dan lain-lain), kesemuanya bersifat fisik, yang kasat mata, dan menjadi parameter "bernilainya" sang insan di benak kebanyakan warga.

Faktor-faktor yang "tak kelihatan secara langsung" seperti karakter, kepribadian seseorang, seperti dikesampingkan, apalagi di negeri +62 yang terkesan abai dengan pendidikan.

Yudha (nama samaran), untuk kesekian kalinya, setelah dua artikel sebelumnya (artikel pertama di sini dan artikel kedua di sini) yang membahas tentang dia dan keluarga, hadir kembali dalam artikel ini. Dia mengeluhkan tentang perlakuan saudara-saudaranya terhadap keberadaan dirinya.

"Sedari kecil, aku seperti tidak pernah 'ada'. Saat aku berbicara, mereka selalu memotong sebelum aku menyelesaikan bicaraku."

"Aku juga tidak pernah berprestasi selama bersekolah. Biasa saja. Apakah itu juga yang menyebabkan mereka memandang remeh akan kemampuanku?"

"Saat kuliah, lebih parah lagi. Aku dianggap tidak tahu diri oleh ibuku. Apakah salah kalau aku ingin indekos saja?"

"Aku dianggap tidak mau bantu-bantu bersihkan rumah kontrakan. Sebenarnya bukan aku tidak mau, tapi mereka, Eli dan Susan, seenaknya saja menempel jadwal bersih-bersih selama seminggu tanpa mendiskusikan tugas-tugas tersebut denganku."

"Aku merasa mereka tidak menghargai pendapatku. Mungkin mereka berpikir, aku harus menurut apa kata mereka."

"Ibuku bilang kalau tidak ada uang untuk bayar indekos. Aku mengerti, tapi kan bisa bilang yang baik. Bukan malah marah-marah begitu."

"Aku kecewa...," Yudha mendesah.

Keheningan sempat menyapa selama beberapa menit. 

"Aku seharusnya bisa mandiri saat itu," Yudha memulai kembali perenungannya, "Ketika itu aku masih muda. Pasti ada saja pekerjaan yang tersedia. Sayangnya, aku merasa tidak bisa apa-apa. Aku cuma lulusan SMA. Aku tidak punya keterampilan khusus."

"Sekarang aku bingung harus bagaimana. 17 tahun tinggal di indekos dan nyewa rumah bersama teman. Aku membuktikan kalau aku bisa mandiri."

"Tapi sejak pandemi covid-19 sampai pascacovid, keuanganku tidak membaik. Sulit untuk mendapatkan murid les."

"Apalagi dengan adanya full day school. Semakin susah mendapat murid. Mereka sudah mengeluh capek saat sampai di rumah sehabis bersekolah. Tidak mau les."

"Susah jadi orang susah. Gak dihargai sama keluarga dan orang lain," keluh Yudha.

Apakah susah jadi orang susah?

Memang susah jadi orang susah. Tidak ada seorang pun yang mau hidupnya susah. Mendengar keluhan orang susah? Mungkin hal tersebut berada di nomor buncit dalam daftar prioritas atau malah tidak masuk daftar sama sekali.

Impian menjadi orang kaya, mapan, bisa makan apa saja dan dimana saja, punya rumah mewah dimana-mana, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain.

Impian dari segi kebendaan. Apakah salah? Menurut saya, hal tersebut tidak salah. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Untuk mendapatkan apa pun di dunia, uang bisa mewujudkannya. 

Beli beras pake duit. Beli pulsa pake duit. Beli bensin pake duit. Mau beli apa pun harus pake duit.

Ketiadaan duit menjadikan hidup susah tak terperikan. 

Apakah susah jadi orang susah? Tak perlu dijawab. Kamu sudah tahu jawabannya.

Apa yang harus dilakukan?

Lalu apa yang harus dilakukan untuk menghapus stigma "susah" dalam diri?

Tak lain dan tak bukan, harus berdaya upaya, memikirkan bagaimana untuk bisa mandiri, bukan hanya secara finansial namun juga secara kemandirian dalam melakukan segala sesuatu.

Menurut saya, ada 3 (tiga) langkah yang Yudha perlu lakukan. Bukan hanya untuk Yudha, tapi juga untuk siapa saja yang mengalami perlakuan serupa dalam kehidupan, supaya "susah" lenyap dari diri. 

Tiga langkah tersebut adalah: 

1. Pelajari High paid skill

Sekarang bisa dikatakan tidak ada hambatan atau halangan untuk mempelajari apa saja. Internet memudahkan, mendobrak keterbatasan akan ruang dan waktu. Setiap warga punya kesempatan yang sama untuk berkembang dan menjadi pribadi unggul di masa depan.

Sayangnya, kebanyakan warga +62 masih menghabiskan waktu berselancar di dunia maya dengan menyibukkan diri, melakukan hal-hal yang kurang memberikan sumbangsih bagi pengembangan diri.

Bermain gim daring; menonton film-film high definition (HD) di aplikasi video streaming seperti Netflix, Disney+ Hotstar, Prime Video, dan lain-lain; kepo-in beranda medsos mantan atau sekadar menghabiskan waktu dengan menggulir laman medsos tanpa tujuan; dan lain sebagainya.

Memanfaatkan gawai dan internet hanya sebatas untuk hiburan semata. Anda bisa melihatnya dengan blak-blakan dan terang-terangan dari orang-orang yang berada di sekitar Anda. Jika ada sepuluh orang di sekitar Anda, lihat saja, apakah mereka memanfaatkan gawai dan internet untuk tujuan produktif?

Saya yakin, kebanyakan akan menggunakan dua fasilitas tersebut hanya untuk entertainment. 

Siapa pun yang membaca artikel ini, hendaknya wawas diri dan mengkaji ulang waktu yang tidak bisa terulang. Belum lagi uang yang sudah keluar untuk membeli smartphone dan kuota internet.

Hendaknya gunakan waktu dan uang untuk hal-hal yang memang berguna untuk kehidupan yang lebih baik. Gim daring, film-film, atau belanja daring, semua itu boleh-boleh saja "dinikmati" saat luang, namun jangan sampai berlebihan.

Jika kita tidak mengerem atau tidak membatasi penggunaan gawai dan internet untuk hal-hal yang tidak produktif, akibatnya bisa fatal. Keuangan "bocor" dan tidak sadar kalau usia sudah tua. Penyesalan yang datang pada akhirnya. 

Secara pribadi, saya melihat Yudha sudah mengarah ke arah yang lebih baik, yaitu penggunaan gawai dan internet untuk kemajuannya, untuk masa depan yang lebih baik.

"Aku ikut kursus online. Belajar jualan lewat Facebook Ads, Instagram Ads, Tiktok, Shopee, dan lain-lain. Aku sudah capek hidup susah."

"Memang tidak mudah menjalankan usaha. Bisnis online juga sama seperti bisnis offline. Butuh waktu untuk berhasil."

"Ada harga dan waktu yang harus dibayar. Sudah capek-capek kuliah, boro-boro gaji setara UMR setelah jadi sarjana."

"High paid skill. Aku ingin punya kemampuan seperti R yang sudah terbukti berhasil berjualan lewat online. Supaya aku bisa memberikan sumbangsih bagi negara ini, buat bangsa ini, dan khususnya buat keluarga," tutup Yudha dengan penutup yang 'manis'.

Ya, terkadang mau berbuat banyak, tapi masih terbatas pendapatan, karena tangan masih "di bawah".

Tidak salah dengan menjadi karyawan, tapi kalau mau berbuat lebih, di samping menjalani profesi karyawan, menyambi sebagai pengusaha bisa membuka banyak jalan menuju keberhasilan dan bisa banyak berbagi untuk sesama yang membutuhkan bantuan.

Pelajari High Paid Skill. Kuasai keterampilan yang dibayar tinggi. Karena kehidupan di dunia cuma sekali. Jangan hanya menjalani pekerjaan yang dibayar sekadarnya. Ingat, orang tua, pasangan (suami atau istri), anak, dan segala insan, semuanya menunggu uluran tangan dan bantuan kita.

2. Tentukan target-target yang mudah dicapai

Menurut pengamatan saya, kebanyakan petinggi di negeri +62 tidak mencari fakta dan data terlebih dahulu sebelum melontarkan janji-janji politik saat kampanye.

Kenapa? Karena terkadang mudah memberikan segala mimpi kenyamanan buat warga, tapi saat sudah menjabat, para petinggi tersebut tidak bisa merealisasikan semua janji (atau malah seakan lupa akan janji-janji tersebut), karena fakta dan data di lapangan tidak mendukung penerapan.

Warga kecewa? Sudah pasti. Berharap janji-janji digenapi, tapi saat pelaksanaan, cuma tinggal impian semata.

Begitu juga dengan diri. Ingin menjadi kaya dan mapan secepatnya. Tentu saja itu impian semua orang. Tapi ada proses yang harus kita jalani. Jatuh bangun. Gagal sukses. Bagai dua sisi yang tak terpisahkan.

Belum lagi tergantung dari kondisi pengetahuan dan keterampilan. Misalnya, seberapa jauh kita telah memahami pengetahuan perihal bisnis online dan seberapa terampil kita mengaplikasikan bisnis online untuk memperoleh cuan. 

Yudha pasti memperoleh berbagai kesukaran karena tidak mudah menjadi sukses dalam waktu semalam. Ada periode yang harus dia lalui. Kalau target-target terlalu muluk-muluk, terlalu tinggi, maka dia akan stres sendiri.

Saya pun dulu pernah seperti itu. Menuruti apa yang tertulis dalam sebuah buku. Sang penulis menganjurkan untuk menempatkan diri dalam situasi "kepepet" dengan target menjulang sampai ke langit. Misalnya, meraih omzet 100 juta dalam sebulan.

Hasilnya? Saya stres, dan malahan berhenti menjalankan bisnis, karena dipenuhi dengan tekanan harus closing.

Menurut saya, harus melihat situasi diri. Kalau merasa terbebani, apa pun yang dilakukan akan terasa berat. Kita harus melihat proses pembelajaran dari seorang anak usia dini yang mulai belajar berjalan. 

Apakah orang tua memaksa sang anak untuk segera lancar berjalan? Tentu saja tidak. Saya tidak pernah melihat orang tua melakukan hal tersebut.

Alih-alih memaksa, mereka mendorong sang anak dengan memberikan motivasi, pujian, bimbingan, serta menuntun dengan sabar. Karena tidak ada yang suka dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak berasal dari dirinya.

Target-target yang mudah dicapai sebaiknya menjadi prioritas awal. Daripada menargetkan omzet 100 juta per bulan, lebih baik "membumi", realistis dengan kondisi.

Mulailah dengan target yang mudah misalnya omzet satu juta per bulan. Kalau merasa masih terlalu tinggi, omzet 500 ribu atau bahkan 100 ribu tidak menjadi soal.

Selangkah demi selangkah. Satu anak tangga per satu anak tangga. Lebih baik tetap maju meskipun dengan usaha kecil, daripada sekaligus berusaha secara habis-habisan, mengeluarkan modal yang terbilang 'wah', dengan harapan meraih omzet ratusan juta dan upaya gila-gilaan dari pagi hingga tengah malam, tapi akibatnya stres, sakit, dan berujung pada berakhirnya usaha karena tidak melihat hasil yang diinginkan.

3. Tetap konsisten dan pantang menyerah

Melakukan hal yang sama berulang-ulang memang tidak mudah. Tapi bukan saja melakukan hal yang sama, tapi juga mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dilakukan dan mengambil langkah lain jika langkah sebelumnya kurang tepat dan tidak memberikan hasil yang diinginkan.

Konsistensi. Hal ini yang susah dipertahankan di masa kiwari. Karena paradigma kebanyakan insan saat ini adalah serba cepat dan instan layaknya internet dan gawai di genggaman. 

Akibatnya, ketidaksabaran akan lamanya proses perjalanan menjadi problem terbesar.

Saya selalu mengibaratkan proses perjalanan seperti mengikuti lomba lari maraton. Jarak yang jauh perlu disiasati dengan saksama. Tidak bisa berlari dengan memaksa tenaga tercurah total di kilometer-kilometer awal. Jika itu yang dilakukan, sang atlet tidak akan bisa menyelesaikan lomba.

Perlu adanya rencana, evaluasi mengenai trek lari, strategi, dan tidak terburu-buru. Karena ada perjalanan panjang yang ditempuh dan itu membutuhkan energi yang cukup untuk sampai ke garis finis. Memboroskan energi di awal tidaklah bijak.

Menyerah bisa saja tebersit dalam benak. Apalagi jika tidak menghasilkan seperti yang diinginkan. Layaknya lari maraton, berhenti mungkin bisa terjadi, tapi kalau ada semangat juang dalam diri, pantang menyerah akan selalu terngiang dalam sanubari.

Terus "berlari" dan sambil berdoa dalam hati. Masalah hasil, biar Tuhan yang menentukan.

Keluh kesah tidak ada gunanya, jika...

Ya, keluh kesah tidak ada gunanya, jika hanya berkeluh kesah tanpa ada tindakan nyata setelahnya. 

Kiranya Yudha dan siapa pun yang berkeluh kesah melakukan tiga langkah sebelumnya jika ingin berhasil dalam kehidupan ini. Tentu saja, ada juga cara-cara lain. Tapi menurut saya, tiga langkah ini sudah sangat membantu, khususnya di saya, untuk mewujudkan impian membahagiakan diri dan orang-orang terkasih.

Akhir kata, terus berjuang meraih impian supaya menjadi nyata, karena kesusahan akan tetap merajalela jika kita tidak berusaha memberantas kesusahan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun