"Aku kecewa...," Yudha mendesah.
Keheningan sempat menyapa selama beberapa menit.Â
"Aku seharusnya bisa mandiri saat itu," Yudha memulai kembali perenungannya, "Ketika itu aku masih muda. Pasti ada saja pekerjaan yang tersedia. Sayangnya, aku merasa tidak bisa apa-apa. Aku cuma lulusan SMA. Aku tidak punya keterampilan khusus."
"Sekarang aku bingung harus bagaimana. 17 tahun tinggal di indekos dan nyewa rumah bersama teman. Aku membuktikan kalau aku bisa mandiri."
"Tapi sejak pandemi covid-19 sampai pascacovid, keuanganku tidak membaik. Sulit untuk mendapatkan murid les."
"Apalagi dengan adanya full day school. Semakin susah mendapat murid. Mereka sudah mengeluh capek saat sampai di rumah sehabis bersekolah. Tidak mau les."
"Susah jadi orang susah. Gak dihargai sama keluarga dan orang lain," keluh Yudha.
Apakah susah jadi orang susah?
Memang susah jadi orang susah. Tidak ada seorang pun yang mau hidupnya susah. Mendengar keluhan orang susah? Mungkin hal tersebut berada di nomor buncit dalam daftar prioritas atau malah tidak masuk daftar sama sekali.
Impian menjadi orang kaya, mapan, bisa makan apa saja dan dimana saja, punya rumah mewah dimana-mana, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain.
Impian dari segi kebendaan. Apakah salah? Menurut saya, hal tersebut tidak salah. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Untuk mendapatkan apa pun di dunia, uang bisa mewujudkannya.Â
Beli beras pake duit. Beli pulsa pake duit. Beli bensin pake duit. Mau beli apa pun harus pake duit.