Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Penengah, Masalah, dan Idiom Kunci

21 Desember 2024   07:36 Diperbarui: 21 Desember 2024   14:57 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Perselisihan dalam keluarga (Sumber: Getty Images/iStockphoto/KatarzynaBialasiewicz via haibunda.com )

Sebenarnya saya tidak mau menuliskan ini, tapi Yudha (bukan nama sebenarnya), teman guru, meminta tolong saya untuk menuliskan unek-uneknya.

"Kenapa kamu gak nulis sendiri? Kamu kan bisa nulis?"

"Ya, minta tolong kamu aja yang nulis. Aku banyak pekerjaan. Pusing."

Karena kasihan, saya bersedia menuliskannya.

Jalannya cerita

Yudha menceritakan kisahnya ketika dia "disidang" oleh kedua kakaknya, Mira dan Eli (keduanya nama samaran). "Sidang" tersebut berlangsung pada hari Selasa, 17 Desember 2024, pukul 08.30 WITA.

Berikut penuturan "persidangan" versi Yudha:

"Duduk, Dha," kata Mira.

"Ada apa?" tanya Yudha.

"Kenapa sih kamu diam-diaman sama Eli. Apa masalah sebenarnya?"

"Gak ada. Gak ada masalah."

"Masa? Terus kenapa tetap diam saja? Bilanglah kalau ada masalah."

Yudha diam cukup lama.

"Sudahlah. Kenapa sih sesama saudara saling berselisih seperti ini? Kita sudah sama-sama tua. Harus saling mengerti antara yang satu dengan yang lain," kata Mira.

"Yah, seperti yang sudah pernah kubilang kemarin. Aku seperti dejavu. Kembali lagi ke kondisi waktu ada di Belibis dulu," kata Yudha.

"Maksudnya?" tanya Eli.

"Ya, aku kemarin pinjam uang ke Mira karena terpaksa saja. Keuanganku sudah menipis. Aku mau belajar bisnis online supaya cepat bisa mandiri, keluar dari rumah ini."

"Memangnya kapan kamu mau ke Banjarmasin, Li?" tanya Mira pada Eli, mengalihkan topik.

"Belum tahu. Susan belum ada bilang," kata Eli, "Memangnya, maumu apa sih, Dha?"

Hening kembali.

"Aku heran sama kamu, Dha," kata Mira, "Kenapa sih kamu seperti selalu lari dari masalah? Masalah tidak akan selesai kalau kamu selalu melarikan diri."

"Sebetulnya kamu tidak tahu persisnya masalah seperti apa," kata Yudha, "Ini sudah terjadi di tahun 1994, sejak aku di Belibis. 

"Dan sekarang, terulang kembali...."

"Sudahlah! Dejavu, dejavu! Kamu nyesuaikan diri aja! Kamu kan lebih muda! Nurut aja sama Eli! Dia kakakmu!" Mira menyela ucapan Yudha.

"Apakah aku tidak punya hak menyuarakan pikiranku? Eli menetapkan jadwal yang dia dulu pernah langsung tempel di pintu kamar tanpa mendiskusikan denganku, dan sekarang dia melakukan hal yang sama lagi. Aku mau gak mau ya menuruti, karena aku tidak punya pilihan lain. Aku mau keluar dari sini, tapi keuanganku tidak mendukung untuk itu," Yudha memberi argumentasi.

"Lho, aku dulu sama Susan juga seperti ini. Susan langsung pasang jadwal bersih-bersih. Gak ada diskusi sama aku," Eli memberikan respons.

"Ya, tapi kan aku bukan Susan. Tidak bisa disamakan dong metode ini bisa bekerja untuk semua orang," bantah Yudha.

"Kita kan di sini numpang gratis, jadi kita jaga kebersihannya. Kamu juga harus ikut jaga kebersihannya," kata Eli.

"Memang. Tapi kan bisa dibicarakan dulu...," respons Yudha.

"Kan sudah kubicarakan," Eli menanggapi.

"Kamu langsung nyodorkan kertas yang sudah kamu buat dan suruh aku pilih pagi atau sore, awal atau tengah bulan, minggu satu-tiga atau dua-empat. Untuk kegiatan bersih-bersihnya kamu sudah tentukan tanpa bahas sama aku dulu," Yudha memberikan pemaparan.

Hening kembali.

"Ya udah, maumu apa, Dha?" tanya Eli.

Yudha berkata, "Kurasa aku gak mau ngomong apa-apa lagi. Kalau nanya mau apa, ya aku pengin keluar dari sini. Biarpun Eli ke Banjarmasin, aku juga tetap mau keluar," kata Yudha mantap.

"Penengah" dan salah siapa?

Perselisihan antara anggota keluarga memang tidak mengenakkan. Tapi yang namanya manusia, meskipun dari orang tua yang sama, namun bukan berarti mempunyai pemikiran yang sama juga.

Secara pribadi, saya bisa memahami permasalahan Yudha, karena saya berposisi sama dalam keluarga. Sebagai anak bungsu. Dan konotasi anak bungsu kebanyakan selalu jelek: manja, tergantung pada orang tua, tidak punya kemampuan apa-apa, dan seabrek hal negatif lainnya.

Paradigma seperti ini sudah seharusnya tidak membudaya, dan harus terhapus dari muka bumi. 

Memang, adanya "penengah" diperlukan untuk meleraikan pertikaian dua pihak, merumuskan persoalan yang ada, dan memberikan solusi demi memecahkan masalah tersebut.

Mengacu pada pengertian "penengah" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "penengah" berarti:

1. n orang yang menengahi; pelerai; pemisah; pengantara; pendamai

2. n sesuatu (orang) yang di tengah sekali

Melihat kedua pengertian dari "penengah" tersebut, terlihat secara terang-benderang bahwa "penengah" harus adil, tidak memihak salah satu sisi. Apabila sudah ada kecenderungan menyudutkan sisi yang lain, maka keputusan akhir pun tidak akan sesuai dengan asas kebenaran.

Menurut saya, dalam konteks kasus Yudha, kedua belah pihak sama-sama bersalah. Ini tidak bisa disamakan dengan kasus kriminal yang menyebabkan terbangnya nyawa seseorang atau kasus penipuan ratusan juta rupiah atau perampokan bersenjata, dan yang sejenisnya. Ini persoalan keluarga yang, tentu saja, menyangkut komunikasi yang buruk dan ego tinggi dari kedua belah pihak.

Yudha bersalah karena dia tidak mengutarakan masalahnya mengenai krisis finansial yang dia derita dan bencinya dia pada aturan-aturan Eli yang diputuskan sepihak yang menyebabkan guncangan situasi di masa lalu yang berimbas pada masa kini yang tetap tidak berubah.

Eli juga bersalah, karena seharusnya sebagai kakak perempuan, saudara yang lebih tua, dia bisa memberikan contoh karakter yang baik, sabar, bisa memahami saudara-saudara yang lain, khususnya yang berlainan jenis alias jenis kelamin laki-laki, dan tidak merasa benar sendiri.

Sempat Yudha menanyakan kepada Eli, "Kenapa kamu kalau sama saudara-saudara yang laki-laki, yaitu aku, Charlie dan Yusuf, selalu jutek dan kasar?"

Eli menjawab, "Karena kalian yang laki-laki ini tidak ada inisiatif. Seperti ini, aku sudah siapkan Havermut dan telur satu piring, tapi kamu gak ada inisiatif buat sendiri havermutnya. Gak ada inisiatif goreng telur sendiri."

Yudha mengaku diam saat itu pada saya, namun Yudha mengomel dalam hati (dan mengutarakan ke saya isi omelannya), "Orang dia gak ada ngomong kalau itu buat bersama. Dia cuma taruh havermut di meja dan satu piring telur di lantai. Tiga hari gak ngomong, kalau gak salah, dan pas hari keempat, dengan kasar, dia bilang,"Itu havermut di meja kamu bikin sendiri buat sarapan. Goreng telur sendiri buat sarapan." 

"Aku ada di kamar. Pintu tertutup. Dia bicara keras dari luar. Apakah itu sopan? Meskipun lebih tua, kan bisa ngomong yang baik dan bukan seperti merintah orang! Nanti kita dibilang lancang kayak dulu. Cuma gara-gara baca komiknya aja, dia sampai marah besar, kunci pintu kamarnya, dan bilang aku lancang! Acak-acak kamarnya! Takutnya aku makan havermut dan telur juga buat dia marah!

"Herannya lagi, dia bilang, "Kamu terbiasa dilayani sih..."

"Aku langsung jawab, "Dilayani bagaimana? Kan aku guru, melayani publik, peserta didik. Biasanya dilayani seperti apa yang kau maksud?"

"Dia tidak bisa menjawab."

Persepsi "merasa diri benar dan orang lain selalu salah" seperti ada dalam diri Eli. Seakan tidak ada hal-hal yang baik dalam diri saudara-saudaranya yang laki-laki. Ini menurut pemandangan saya dari cerita Yudha.

Terkadang, atau mungkin malah kebanyakan dari kita melupakan budi baik orang lain yang segebung hanya gara-gara "setitik noda" keburukan. Lebih mudah mengingat (sampai berpulang) kejelekan orang lain daripada berbagai kebaikan dari insan tersebut.

Dan parahnya, lebih mudah mencaci daripada memuji. Saudaranya berbuat baik atau meraih prestasi, dia diam saja. Tidak ada pujian yang keluar dari mulut. Sewaktu saudaranya berbuat kesalahan, kritik membanjir dari lidah yang tak bertulang.

Tua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan.

Tidak ada jaminan usia tua pasti pribadinya dewasa.

Yudha dan Eli sama-sama belum dewasa meskipun sudah berusia lanjut. 

Solusinya?

Susah untuk menemukan solusi yang menyenangkan dan menyamankan, serta berkeadilan untuk kedua belah pihak. 

Kalau menurut saya, solusi terbaik yang bisa ditempuh adalah tetap serumah dan menjaga sikap yang "baik" antara satu dengan yang lain untuk sementara waktu, sampai Yudha menemukan kondisi aman secara finansial sehingga dia bisa mulai mandiri kembali, seperti 17 tahun berturut-turut sebelumnya, entah itu indekos kembali; menyewa rumah secara tahunan; atau kalau Tuhan memberkati dengan berlimpah-limpah, membeli rumah impiannya secara tunai.

"Aku lagi jalankan bisnis online yang terbaru. Semoga bisa terlaksana dengan baik sesuai harapan," katanya.

Yudha tidak ingin tinggal di rumah Susan lagi, karena dia tidak mau dihina "numpang gratis" di rumah saudara. "Meskipun Eli nanti ke Banjarmasin, aku tetap gak mau tinggal di rumah Susan."

Yah, saya memahami. Untung saja Yudha tidak gelap mata seperti ringan tangan atau mencabut nyawa saudara. Yudha punya iman yang saya kenal baik. Dia tidak akan melakukan hal-hal terlarang seperti itu.

Dendam positif. Itulah yang dia ingin buktikan dan perlihatkan kepada keluarga besarnya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa mandiri sebelum dia berpulang.

Semoga saja Tuhan mengabulkan doa dan harapannya.

Berpikir sebelum menjadi penengah

Sebetulnya pemaparan sebelum ini mungkin agak keluar jalur, tapi memang sukar menjelaskan dengan fokus pada kata "penengah" karena kedudukan "penengah" yang riskan. Dia harus adil, tapi kalau sudah menyangkut saudara, pasti ada kecenderungan condong ke salah satu sisi.

Memang perlu kematangan berpikir untuk bersikap adil. Saya tidak bilang Mira tidak mempunyai kematangan dalam berpikir, tapi dengan lebih "menyerang" pribadi Yudha yang dibilangnya "tertutup", berarti menunjukkan kalau dia tidak dekat dengan adik laki-lakinya sejak lahir sampai sekarang.

Apakah Mira mengkritik Eli sesudah pertemuan bubar? Entahlah. Yang jelas, kerusakan akan susah diperbaiki kalau tidak ada pengertian, kesepahaman di antara dua pihak yang bertikai.

Ribet dan ruwet?

Yah, setiap masalah, meskipun kelihatan sederhana, seperti yang Eli bilang, tidak mudah dalam pemecahan masalah. 

Mungkin dua kata yang tidak dapat dipisahkan berikut yang bisa untuk menggambarkan dunia yang damai jika setiap insan memilikinya, yaitu: Rendah Hati.

Apabila setiap orang memiliki kerendahhatian, niscaya setiap masalah akan terpecahkan tanpa selisih paham dan konflik berkepanjangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun