Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Di Balik Senyuman Anak

6 November 2024   17:13 Diperbarui: 6 November 2024   17:15 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (M Latief/KOMPAS.com)

Dari dulu saya suka pergi ke perpustakaan di Samarinda, entah itu perpustakaan universitas ketika saya masih kuliah, perpustakaan kota, maupun perpustakaan provinsi.

Setelah covid-19 berlalu, saya pada awalnya malas pergi kembali ke perpustakaan. Selain menimbang buku-buku yang ingin saya pinjam masih belum "steril" dari virus atau bakteri, saya dilanda kebimbangan akan masa depan justru saat covid-19 mereda.

Hidup jadi membosankan. Apa aku akan begini-begini saja sampai maut memanggil? 

Kapan hidupku berubah? Aku sudah bosan hidup seperti ini.

Kegalauan menimpa diri, tapi yang membuat hati sedikit lega adalah lingkungan perpustakaan yang memang ternyata saya rindukan, meskipun dulunya saya muak melihatnya.

Yap, perpustakaan kota Samarinda yang terletak di jalan Kusuma Bangsa yang saya maksud. 

Dari dulu saya heran dengan kondisi perpustakaan kota yang sebenarnya sangat strategis dan terletak di pusat kota, serta berhadapan langsung dengan Balai Kota, tapi malah terkesan terlantar dan tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Samarinda.

Sekarang Perpustakaan Kota Samarinda sudah berubah wajah. Terlihat futuristik, ramah untuk warga, dan modern. Terbukti bukan hanya dari tampilan luar saja. Di dalam sudah berubah 180 derajat.

Dari pintu masuk saja, sudah terlihat dua komputer di depan meja front office untuk mengisi buku tamu lewat daring. Bagi yang belum menjadi anggota, terpaksa harus menulis beberapa kotak yang kosong tentang informasi diri seperti nama, dan lain sebagainya (sudah agak lupa. Soalnya saya sudah jadi anggota). Bagi yang sudah jadi anggota perpustakaan kota Samarinda, cukup dengan scan barcode di kartu anggota ke mesin barcode scanner.

Suasana dingin karena pendingin ruangan atau air conditioner tentu saja membuat betah pengunjung perpustakaan. Sangat berbeda jauh dengan doeloe yang panas dan hanya mengandalkan kipas angin di plafon.

Penataan buku pun menjadi kelihatan menarik. Ada juga beberapa kursi empuk dan lubang stopkontak bagi pengunjung perpustakaan yang ingin mengisi daya ponsel pintarnya.

Tapi ada satu langkah yang bagus yang tidak pernah dilakukan Perpustakaan Kota Samarinda sebelumnya.  Satu langkah tersebut adalah adanya ruang multimedia.

Sebenarnya Perpustakaan Provinsi Kalimantan Timur sudah melakukan cara serupa beberapa tahun yang lalu sampai sekarang. Meskipun terkesan terlambat, bagi saya, lebih baik terlambat daripada tidak ada sama sekali.

Tentu saja, kebebasan bagi pengunjung perpustakaan dalam menggunakan komputer di ruang multimedia tersebut sudah selayaknya diapresiasi. Pelajar dan khususnya mahasiswa sangatlah terbantu dengan adanya komputer dan akses internet gratis dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, kuliah, bahkan penyelesaian tugas akhir seperti skripsi, tesis atau disertasi.

Saya teringat dengan kondisi saya dulu saat kuliah yang terkendala dengan ketiadaan komputer. Saya terpaksa harus menulis di kertas terlebih dahulu tugas kuliah dan laporan. Saat malam, setelah pulang mengajar, pada jam 21.00 WITA, saya langsung menuju rental komputer untuk mengetik selama satu jam. 

Kenapa satu jam? Karena sejujurnya saya sudah capek. Tapi kalau saya makan dulu baru ngetik, makan malam saya bakal tidak nyaman dan tidak bebas. Saya pikir, setelah mengetik laporan, saya bebas sehingga makan pun jadi lebih leluasa.

Memang menjadi siksaan yang menjengkelkan. Seandainya mempunyai komputer, saya pasti bebas mengetik di indekos. Tapi apa mau dikata. Saya masih baru merintis kehidupan ke arah yang lebih baik. Jangankan laptop, sepeda motor pun saat itu beli juga lewat perdjoeangan alias motor second yang saya beli.

Saya cuma mengetik laporan dari kertas ke layar komputer selama satu jam saja. Biar lambat asal konsisten. Itu prinsip saya. Lagipula, saya sudah menyelesaikan laporan jauh-jauh hari dari deadline pengumpulan laporan. Masih dalam bentuk tulisan tangan di kertas. 

Hitungan bayar penggunaan komputer adalah per jam. Saya sudah lupa berapa tarif penggunaan komputer per jam di rental komputer tersebut. Sekarang rental komputer itu sudah tutup. Entah karena alasan apa.

Melihat perpustakaan menyediakan akses internet dan penggunaan komputer secara bebas kepada warga, tanpa dipungut biaya, saya jadi iri. 

Seandainya saya terlahir di masa ini...

Ah, sudahlah! Yang sudah terjadi ya sudah. 

Sekarang toh saya bisa memanfaatkan fasilitas komputer dari perpustakaan meskipun status bukan mahasiswa lagi. Paling tidak, saya bisa menghemat kuota internet dan tak perlu membawa laptop saya kemana-mana. 

Yah, lumayan. Anggaran untuk internet bisa dipangkas, dan uangnya bisa dialokasikan untuk keperluan lain.

Selama beberapa minggu, saya mengamati fenomena yang unik di ruang multimedia. Sebenarnya dibilang unik ya tidak juga, karena saya sudah mengalami kejadian seperti saat ini.

Kejadian yang sama tersebut adalah di perpustakaan provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) beberapa tahun yang lalu, dimana ada anak-anak kecil seusia peserta didik Sekolah Dasar (SD) atau malah di bawah usia sekolah dasar yang menggunakan komputer-komputer di ruang multimedia perpustakaan provinsi Kaltim untuk menonton video YouTube dan bermain gim daring.

Ada beberapa anak pegawai perpustakaan di antara mereka. Saya heran, kenapa justru karyawan perpustakaan tidak membatasi anak-anak mereka dalam mengoperasikan komputer di ruang multimedia. Selebihnya ada segelintir anak yang mungkin tinggal di sekitar perpustakaan.

Sekarang saya jarang atau malah tidak pergi ke perpustakaan provinsi Kaltim. Terakhir kali, saya melihat komputer-komputer di ruang multimedia di perpustakaan provinsi Kaltim tidak ada satu pun yang beroperasi. Semuanya dalam pemeliharaan. 

Di Perpustakaan Kota Samarinda, komputer-komputer yang tersedia masih terlihat baru. Saya belum bertanya, atau lebih tepatnya tidak tahu bertanya pada siapa tentang kebaruan komputer-komputer di ruang multimedia perpustakaan kota. 

Yang menjadi masalah adalah keleluasaan anak-anak usia dini, mulai dari yang belum memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang memanfaatkan komputer-komputer ini dengan cara yang keliru. Alih-alih untuk belajar, kebanyakan dari mereka menggunakan komputer-komputer di ruang multimedia untuk bermain gim daring, seperti yang terjadi di perpustakaan provinsi.

Ada beberapa anak yang saya "interview" secara kebetulan, karena ada kesempatan, seperti bercakap-cakap biasa.

R, anak laki-laki ini rajin nongol saat pagi hari jam delapan ketika perpustakaan kota baru membuka layanannya. Saya kebetulan datang di jam delapan lewat beberapa hari yang lalu. 

Cukup kaget melihat R sudah duduk di kursi dan kedua matanya menatap layar komputer tanpa berkedip sedikit pun. Dia tampak serius memainkan gim online di komputer. 

"Wah, rajin betul. Kok nggak sekolah?" tanya saya. Cuma ada saya dan R di ruang multimedia.

"Saya belum sekolah," jawab R singkat. Matanya masih menatap layar komputer di hadapan.

"Memangnya umurmu berapa?" 

"Enam tahun."

"Kamu namanya siapa?"

"R."

"Ke sini sama siapa?"

"Sendiri."

"Wah berani banget. Naik sepeda?"

"Jalan kaki."

"Orang tuamu kerjanya apa?"

"Jualan keliling."

Setelah itu saya tinggalkan R yang bermain gim. Saya menuju ke salah satu komputer untuk mengetik artikel.

Esok hari, saya tidak heran lagi melihat R duduk di depan komputer yang sama.

Di lain hari, saya juga bersua dengan seorang anak laki-laki yang sudah sering saya lihat di ruang multimedia.

Anak laki-laki ini sering memakai baju olahraga dengan tulisan sebuah SD Negeri di Samarinda. 

Karena kesibukan menulis, saya tak pernah punya kesempatan untuk berbincang dengan anak ini. Baru pada suatu pagi, secara kebetulan si anak yang mengajak saya "ngobrol".

"Penuh, Oom."

Saya melihat ke ruang multimedia. Memang benar perkataan si bocah. Semua komputer lagi terpakai.

Saya melihat kaus sang anak, tapi tulisan SD Negeri-nya tidak terlihat jelas, "Kamu sekolah dimana, Dik?"

"SD 0xx."

"Oh, lumayan jauh dari sini. Kamu tinggal dimana?"

"Di Gang T."

"Oh dekat ya kalau ke sini. Jalan kaki ke sini?"

"Ya."

"Namamu siapa?"

"F."

"Kelas berapa kamu, F?"

"Tiga."

"Lho, bukannya kamu seharusnya sekolah?" Saya heran sambil melihat jam tangan. Jam 08.30 WITA.

F cuma diam.

Saya berpikiran positif saja, menimbang di SD dimana saya mengajar dulu, kelas tiga dan empat bersekolah di siang hari dari pukul satu sampai lima. Yang saya herankan, kenapa anak ini memakai baju olahraga sekolah? Apakah seharusnya dia bersekolah di pagi hari karena semua kelas belajar di pagi hari semua?

Tapi saya tidak ingin mengorek lebih lanjut soal jadwal belajar F di sekolah, karena bagi saya, itu bukan urusan saya. Saya pun mengalihkan ke pertanyaan lain, "Orang tuamu kerja apa, F?"

"Bapak udah gak ada. Ibu kerja."

"Maaf ya soal bapakmu. Ibu kerja apa?"

"Jualan keliling."

"Jualan dari jam berapa sampai jam berapa?"

"Dari jam delapan sampai jam satu siang."

"Berapa bersaudara kamu? Punya kakak atau adik?"

"Kakak ada, tapi ada di Berau. Adik ikut nenek."

Satu lagi kasus anak yang menyedihkan. Saya hanya bisa melihat dengan miris, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Di hari yang berbeda, ada seorang anak kecil, anak laki-laki dengan perawakan "subur". Kelihatan lucu. Saat itu saya beranjak ke lantai dua perpustakaan untuk melihat koleksi buku yang lain. Saat berada di tangga, ada anak laki-laki tersebut yang bertanya pada saya apakah ada temannya yang memanggil dia.

"Om, ada yang manggil D gak, Om?"

"Om gak denger. Gak ada kayaknya."

Saya berhenti, tidak melanjutkan langkah. Keinginan saya untuk mengetahui tentang D "menggelitik" otak saya.

"Kamu namanya D?"

"Iya, Om."

"Sudah sekolah?"

"Sudah, Om."

"D kelas berapa?"

"Kelas dua."

"D sama siapa ke sini?"

"Sama teman, Om."

"Oh, yang kamu kira panggil kamu tadi ya?"

"Iya, Om."

"Sudah sekolah temanmu itu? Satu kelas?"

"Tetangga. Belum sekolah dia."

"Lho, orang tuamu kemana? Gak ngantar ke sini?"

"Ibu kerja. Ayah juga kerja."

"Ayah dan ibu kerja apa?"

"Ayah kuli bangunan. Ibu guru TK."

"TK dimana?"

"Di TK N."

Saya sedih lagi melihat anak ini. Masih usia dini, tapi "keluyuran" tanpa sepengetahuan orang tua.

Satu lagi, remaja putri, bernama P. Dia sudah jarang atau bisa dikatakan tidak muncul lagi karena pelarangan memainkan gim daring di ruang multimedia. Nantilah saya ceritakan tentang pelarangan itu sesudah ini. Yang jelas, P untuk ukuran usia tentu kisaran antara kelas enam SD atau SMP.

Saya berkesempatan berbincang sedikit dengan P ketika saya hendak menyudahi kegiatan menulis di ruang multimedia karena perut sudah keroncongan abis. Dia kebetulan duduk di kursi di dekat komputer saya. Jam menunjukkan pukul 11.30 WITA saat itu.

"Dek, kamu sekolah dimana?" saya langsung aja nanya. Heran saya, kok jam segini dia sudah di perpustakaan. Kan harusnya di sekolah!

"Di SMP Negeri ABC."

"Kelas berapa?"

"IX."

"Kok gak sekolah? Ini kan masih jam sekolah?"

"Kesiangan bangun tadi, jadi sekalian bolos sekolah aja."

Saya tersenyum sedikit, lalu saya tanya lagi, "Kalau boleh Om tahu, ayah dan ibu kerja apa?"

"Ayah gak kerja. Ibu jualan keliling dari pagi sampai siang."

Perbincangan pun berakhir karena saya harus segera menuntaskan rasa lapar dengan makan siang.

Beberapa hari kemudian, ada sedikit "pengetatan" aturan karena mungkin beberapa pegawai yang juga resah gelisah dengan kebisingan dan baru menyadari kalau anak-anak kecil tersebut dan juga beberapa remaja tanggung memanfaatkan komputer-komputer di ruang multimedia untuk bermain gim daring. Bukan buat belajar. Dan mereka membuat "sedikit" keributan di ruang multimedia.

Ketidakkonsistenan pegawai pada berbagai acara perkenalan khusus perpustakaan kota Samarinda pada pengunjung baru, dalam hal ini siswa-siswi SD dan SMP (sejauh pengamatan saya) membuktikan hal itu.

"Ruang multimedia kadang-kadang digunakan juga oleh anak-anak untuk main game online...," dari salah seorang pegawai.

"Ruang multimedia ini hanya untuk belajar saja," kata pegawai yang lain pada lain kesempatan di acara yang berbeda.

Saya heran.

"Memangnya tidak ada peraturan tertulisnya tentang penggunaan ruang multimedia untuk apa?" pikir saya dalam hati.

Hari penertiban pun menjadi ricuh. Bukan di dalam perpustakaan, tapi di luar. Anak-anak laki-laki yang masih berusia dini tersebut main perosotan di dinding perpustakaan yang memang miring seperti perosotan.

Itulah saat terakhir saya melihat mereka. Sekarang saya tidak melihat mereka lagi. Entah apakah kelak mereka bakal kembali atau tidak.

* * *

Sekarang lebih tenang. Ada beberapa anak kecil yang lolos masuk ke ruang multimedia. Hanya menonton YouTube. Tak lebih dari itu. Mungkin pegawai perpustakaan tak tega dengan mereka dan mengizinkan masuk; atau mengira mereka datang untuk membaca buku.

Secara pribadi, di balik senyum anak-anak tersebut saat bermain gim daring, ada kepedihan di dalam keluarga. Keprihatinan. Kemiskinan. Orang tua yang sebenarnya ingin punya banyak waktu bersama mereka, tapi karena harus mencari nafkah, orang tua terpaksa "mengorbankan" quality time bersama keluarga.

Anak-anak ini mengalihkan kepahitan hidup dengan bermain gim online. Di dunia maya, mereka mendapatkan "kebahagiaan", meskipun hanya sesaat dan menyalahi aturan.

Jangan tertipu dengan senyuman anak, karena kita tidak tahu apakah suka atau derita yang ada di balik senyuman itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun