Sama dengan N, seorang kenalan, yang berprofesi sebagai pengacara. Dia mempunyai koleksi buku seputar hukum yang banyak tersedia di rak-rak bukunya. Bagaimana dengan buku-buku dengan genre lainnya? Tidak ada.Â
Mungkin itu juga yang menyebabkan putra semata wayang tidak suka membaca buku. Apakah N suka membaca buku? Saya ragukan itu, menimbang dari tutur kata dan tindakan nyata sangat bertolak belakang dengan seorang insan yang berwawasan luas.
Bersosialisasi tidak hanya terbatas pada rekan seprofesi. Kita semua bersinggungan dengan banyak orang dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita "menyesuaikan" pemilihan kata atau diksi ketika berhadapan dengan orang-orang tersebut. Kesan arogan akan terlihat apabila kita memonopoli pembicaraan, memotong perkataan lawan bicara saat dia masih berbicara, dan tidak toleran pada perbedaan pendapat.
Membaca berbagai buku dengan genre yang berbeda-beda akan membuka wawasan kita sehingga kita bisa menerima perbedaan pendapat, perbedaan sudut pandang, dan sabar dalam mendengarkan opini seseorang.
Dan dengan banyaknya buku yang dibaca, berbagai pilihan kata pun jadi bervariasi, tidak itu-itu saja, serta bisa menyesuaikan dengan kemampuan "menyerap informasi" dari lawan bicara.
S menolak menjelaskan kepada saya tentang suatu topik karena menganggap saya "buta" sama sekali tentang topik tersebut.
"Percuma saya jelaskan. Pasti sampean juga tidak mengerti," katanya saat itu.
Saya tidak mengerti jalan pikiran S. Dia mengaku mempunyai gelar S-2, tapi kok malah meremehkan kemampuan pikiran saya dalam memahami. Atau dia sebenarnya tidak bisa menjelaskan dalam bahasa Indonesia sehari-hari? Mungkin ini masalahnya, tidak bisa menjelaskan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dicerna, karena dia tidak punya kata-kata yang sesuai untuk semua kalangan.
Banyak membaca buku dari berbagai topik bisa mengusir keterbatasan wawasan. Saya teringat dengan suatu perkataan dari seorang mantan jurnalis, H, yang berkata, "Jurnalis itu tahu sedikit tentang banyak hal". Menurut saya, perkataannya adalah gambaran manusia yang bisa menyesuaikan diri dengan sekitar, sehingga perbedaan bisa diterima sebagai kenormalan.
2. Pahami makna istilah dengan benar sebelum menggunakan atau menyampaikan ke orang lain
Selain deduktif dan induktif, ada satu lagi kekeliruan S dalam memaknai istilah.
Saat itu, saya melihat S sedang memakan pentol bakso dalam sebuah plastik. Ada banyak saus sambal di dalam plastik. Saya tidak tahu kalau ternyata S sedang menyedot saus sambal, bukan memakan pentol bakso.Â