S malah mengatakan bahwa jurnal itu tulisan ilmiah, bukan buku harian atau diary.
Saya bingung dengan manusia ini yang mengatakan kalau dia sudah meraih gelar S-2, tapi untuk pengertian sederhana tentang jurnal kok sempit seperti itu.Â
Saya pun menyarankan S untuk mencari makna jurnal di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, supaya "wawasan" bisa bertambah. Setelah S mendapatkan pengertian yang lengkap dari kata "jurnal", dia meminta maaf pada saya, meskipun terlihat dia sebenarnya tidak ikhlas dengan "kekalahannya".
Seakan belum cukup dengan itu, S mulai lagi dengan "prolog"-nya, mengumbar kata "deduktif" dan "induktif" dalam ocehannya, tapi sewaktu saya menanyakan pengertian deduktif dan induktif, S hanya menyebutkan bahwa deduktif itu dari umum ke khusus, dan induktif adalah dari khusus ke umum. Hanya sebatas itu, tapi S tidak tahu pengertian lengkap keduanya, dan tidak bisa memberikan contoh yang konkret.
Seakan belum lengkap, S melakukan blunder lagi ketika mengganti istilah "miskin" dengan "tidak mempunyai uang". Padahal dalam filosofi hidup yang saya bagikan beberapa hari sebelumnya, saya mengatakan "Jangan miskin, karena ....". Ternyata S lupa, dan dengan entengnya dia mengganti istilah "miskin" dengan "tidak mempunyai uang" yang ditinjau dari sudut mana pun, tidak mempunyai makna yang sama.
"Hati-hati kalau salah mengucapkan ke orang lain, Pak. Alih-alih termotivasi, orang tersebut malah bisa terpuruk dan putus asa, tidak melihat ada jalan keluar dalam kesulitan kehidupan," kata saya pada S. S hanya terdiam.Â
Bagaimana setiap insan bersikap saat berbicara atau menulis?
Bagi saya secara pribadi, ketika berbicara atau menulis, setiap insan harus berhati-hati, khususnya ketika menggunakan istilah-istilah yang asing atau tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Oleh karena itu, menurut saya, ada 3 (tiga) hal yang harus setiap insan lakukan demi kejelasan penyampaian pesan.
1. Tidak membatasi bahan bacaan
Saya melihat S mempunyai bacaan yang terbatas pada disiplin ilmu yang dia pernah tempuh sewaktu masih berkuliah dulu. Tidak ada yang salah dengan itu, tapi mungkin itulah yang menyebabkan S tidak mempunyai wawasan di luar bidang keilmuannya.Â
Sama dengan N, seorang kenalan, yang berprofesi sebagai pengacara. Dia mempunyai koleksi buku seputar hukum yang banyak tersedia di rak-rak bukunya. Bagaimana dengan buku-buku dengan genre lainnya? Tidak ada. Mungkin itu juga yang menyebabkan putra semata wayang tidak suka membaca buku. Apakah N suka membaca buku? Saya ragukan itu, menimbang dari tutur kata dan tindakan nyata sangat bertolak belakang dengan seorang insan yang berwawasan luas.
Bersosialisasi tidak hanya terbatas pada rekan seprofesi. Kita semua bersinggungan dengan banyak orang dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita "menyesuaikan" pemilihan kata atau diksi ketika berhadapan dengan orang-orang tersebut. Kesan arogan akan terlihat apabila kita memonopoli pembicaraan, memotong perkataan lawan bicara saat dia masih berbicara, dan tidak toleran pada perbedaan pendapat.