Tak heran, M ingin menjadi pemain bulutangkis profesional kelak, karena dia merasa hanya itu yang dia bisa.
Ekskul menjadi nomor satu, sedangkan akademik menjadi sisi yang diabaikan karena pelaksanaan yang begitu-begitu saja dari masa ke masa
Menyadarkan tujuan bersekolah
Ibarat kita membeli beras seberat lima kilogram dengan merek A. Waktu berada di kasir, ternyata kita mendapat bonus berupa satu kotak teh celup merek C, karena kita telah membeli beras lima kilogram merek A tersebut.
Jadi yang utama adalah beras lima kilogram dengan merek A, dan satu kotak teh celup merek C sebagai bonus atau "ekstra".
Kalau dikaitkan dengan pendidikan, proses belajar mengajar itu adalah yang utama dan ekstrakurikuler adalah bonus. Kalau peserta didik lebih mengutamakan bonus daripada yang utama, pasti ada yang salah dalam pelaksanaan proses pendidikan.
Tapi dalam tulisan ini, kita tidak akan membahas apa yang salah dalam pelaksanaan tersebut, karena menyangkut lembaga pendidikan formal (dibaca: sekolah) dan kurikulum pemerintah.
Saya hanya ingin berfokus kepada lembaga terkecil di dunia, yaitu keluarga yang memegang peranan terpenting dan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, bukan hanya dari segi fisik, tapi juga psikis.
Ayah dan ibu yang memegang kendali dalam mendidik dan mengajar anak dalam arti yang sesungguhnya. Bukan guru dan sekolah yang menjadi pelaku utama pendidikan pada anak.
Sekolah hanya sarana untuk mempersiapkan anak naik ke jenjang yang lebih tinggi, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan, untuk membantu mereka meraih cita-cita.
Oleh karena itu, bagaimana orangtua menyadarkan tujuan bersekolah pada anak? Menurut saya, ada tiga langkah yang orangtua perlu lakukan.
1. Mengetahui cita-cita sang anak
Cita-cita adalah "bahan bakar" untuk mendorong semangat berjuang. Tentu saja, pada usia anak-anak, mereka mengutarakan cita-cita berdasarkan figur-figur yang mereka kagumi atau profesi-profesi yang sering mereka jumpai dalam keseharian.