Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apa Tujuan Anak Bersekolah?

23 Februari 2024   17:53 Diperbarui: 25 Februari 2024   20:02 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS.com/ALBERTUS ADIT)

Melihat pendidikan saat ini, saya merasa tidak ada perubahan apa-apa. Mungkin terkesan kasar, tapi menurut pengamatan saya, memang begitulah adanya.

Doeloe sewaktu saya masih bersekolah di SD, SMP, dan SMA, saya bingung mau jadi apa kalau sudah besar. Saya tidak tahu apa tujuan saya bersekolah.

Ternyata sampai sekarang pun, paradigma peserta didik zaman now masih tetap tidak tahu mau jadi apa kalau mereka sudah besar nanti. Kebanyakan dari murid les privat saya seperti itu. Mereka tidak tahu tujuan bersekolah yang mempunyai hubungan atau korelasi dengan cita-cita.

Parahnya, ada beberapa yang tidak punya cita-cita dan tidak tahu untuk apa mereka bersekolah.

Contohnya, M, seorang murid les yang duduk di bangku kelas sembilan di salah satu SMP swasta di Samarinda. M memang sudah malas belajar sejak SD dan sekarang sering tidak les dengan berbagai alasan, mulai dari sakit, banyak tugas kelompok yang dikerjakan setelah jam sekolah selesai, sampai baru pulang dan tiba di rumah pada jam lima sore.

Memang, sepertinya wajah kurikulum berganti menyebabkan proses belajar mengajar pun jadi berubah drastis. Banyak tugas kelompok dan "proyek" menanti untuk dituntaskan peserta didik di luar jam sekolah. Seakan tak cukup memberi bekal di sekolah.

Keseharian disibukkan dari satu tugas kelompok ke tugas kelompok berikutnya.

Kelelahan kronis menyapa peserta didik.

Apakah bersekolah hanya berkutat dengan tugas, tugas, dan tugas?

Tujuan Bersekolah menjadi kabur

Tujuan bersekolah menjadi kabur. Tidak jelas. Cita-cita M yang semula sewaktu usia dini ingin menjadi pilot, astronot, dan polisi, menjadi lenyap tak berbekas. Apa sebabnya? Menurut saya, selain disiplin belajar yang memang tidak terlihat di rumah; pemicu hilangnya berbagai cita-cita tersebut adalah proses belajar mengajar di sekolah yang membosankan. Satu arah. Guru menjelaskan, murid mendengarkan.

Akibatnya, bersekolah terasa menjadi beban bagi kebanyakan murid. Mungkin cuma satu hal yang menyenangkan murid yaitu ekstrakurikuler dimana murid mempunyai kebebasan memilih ekskul yang diminati. Tanpa paksaan dan, tentu saja, tanpa bekal "pekerjaan rumah". 

Tak heran, M ingin menjadi pemain bulutangkis profesional kelak, karena dia merasa hanya itu yang dia bisa.

Ekskul menjadi nomor satu, sedangkan akademik menjadi sisi yang diabaikan karena pelaksanaan yang begitu-begitu saja dari masa ke masa

Menyadarkan tujuan bersekolah

Ibarat kita membeli beras seberat lima kilogram dengan merek A. Waktu berada di kasir, ternyata kita mendapat bonus berupa satu kotak teh celup merek C, karena kita telah membeli beras lima kilogram merek A tersebut.

Jadi yang utama adalah beras lima kilogram dengan merek A, dan satu kotak teh celup merek C sebagai bonus atau "ekstra".

Kalau dikaitkan dengan pendidikan, proses belajar mengajar itu adalah yang utama dan ekstrakurikuler adalah bonus. Kalau peserta didik lebih mengutamakan bonus daripada yang utama, pasti ada yang salah dalam pelaksanaan proses pendidikan.

Tapi dalam tulisan ini, kita tidak akan membahas apa yang salah dalam pelaksanaan tersebut, karena menyangkut lembaga pendidikan formal (dibaca: sekolah) dan kurikulum pemerintah.

Saya hanya ingin berfokus kepada lembaga terkecil di dunia, yaitu keluarga yang memegang peranan terpenting dan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, bukan hanya dari segi fisik, tapi juga psikis.

Ayah dan ibu yang memegang kendali dalam mendidik dan mengajar anak dalam arti yang sesungguhnya. Bukan guru dan sekolah yang menjadi pelaku utama pendidikan pada anak.

Sekolah hanya sarana untuk mempersiapkan anak naik ke jenjang yang lebih tinggi, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan, untuk membantu mereka meraih cita-cita.

Oleh karena itu, bagaimana orangtua menyadarkan tujuan bersekolah pada anak? Menurut saya, ada tiga langkah yang orangtua perlu lakukan.

1. Mengetahui cita-cita sang anak

Cita-cita adalah "bahan bakar" untuk mendorong semangat berjuang. Tentu saja, pada usia anak-anak, mereka mengutarakan cita-cita berdasarkan figur-figur yang mereka kagumi atau profesi-profesi yang sering mereka jumpai dalam keseharian.

Misalnya tadi M, sewaktu masih belia ingin menjadi astronot atau pilot, karena kekagumannya pada astronot yang mampu menerbangkan roket ke luar angkasa dan pilot yang piawai dalam meliuk-liukkan pesawat di langit biru. Dua pekerjaan ini terlihat keren di mata M saat itu.

Seiring waktu berjalan, M bercita-cita menjadi pemain bulutangkis profesional karena dia bergabung dalam ekskul bulutangkis di sekolah.

Sekarang? M tidak pernah lagi membahas tentang impian menjadi pebulutangkis karena dirinya sibuk memainkan gitar di rumah.

Membaca? Tidak ada keinginannya untuk melakukan.

Yah susah memang menghadapi generasi zaman now. Kecanduan gawai membuat singkatnya pola pikir mereka akan masa depan.

Lalu bagaimana orangtua mengetahui cita-cita sang anak?

Alangkah baiknya kalau orang tua berkonsultasi dengan guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah, karena bidang bimbingan dan konseling bisa menelaah dan memberikan arahan yang tepat dalam menentukan profesi yang sesuai dengan minat anak.

Kalau tidak ada guru BK, bisa juga orangtua meminta bantuan pada psikolog atau psikiater untuk menganalisis, menggali potensi yang ada pada anak.

Dengan begitu, orangtua mengetahui cita-cita yang memang sesuai dengan minat anak dan anak pun juga menyakini cita-cita tersebut sebagai profesi masa depannya.

2. Jabarkan tujuan bersekolah untuk meraih cita-cita tersebut

Setelah menetapkan cita-cita dari sekian banyak cita-cita yang sesuai dengan anak dan anak juga sepakat dengan pilihan cita-cita tersebut, orangtua (beserta dengan guru BK, psikolog, atau psikiater bila memungkinkan) menjabarkan tujuan bersekolah untuk meraih cita-cita tersebut.

Misalnya, untuk meraih cita-cita sebagai dokter, W, seorang murid les privat di masa lampau, sudah tahu tujuannya bersekolah. Tak heran, karena remaja putri tersebut mempunyai orangtua yang mengarahkan anak tersebut sejak usia dini. Terlebih lagi ibunda W adalah seorang guru SD.

W tahu, untuk meraih impian sebagai seorang dokter, dia harus memperoleh nilai-nilai akademik yang memuaskan, di atas rata-rata, khususnya untuk beberapa mata pelajaran yang berhubungan dengan kedokteran seperti Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Berkat arahan dan penjabaran orangtua, W mengetahui tujuan dia bersekolah, belajar setingkat demi setingkat, dari SD, SMP, dan SMA, W fokus pada cita-citanya, belajar dengan giat, meraih prestasi di setiap jenjang kelas, sampai menunjukkan hasil gemilang saat Ujian Nasional (UN) SMP beberapa tahun yang lalu. W meraih nilai UN SMP tertinggi untuk area kota Samarinda saat itu. 

W dan beberapa siswa-siswi berprestasi dalam UN tersebut mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu SMA, dari pemerintah provinsi Kalimantan Timur. Dari berbagai opsi, W memilih SMA yang termasuk terdepan dalam kualitas yaitu sebuah SMA di Tangerang.

"Supaya nanti lebih mudah masuk Universitas Indonesia," kata W saat itu. Setelah lulus SMA, W diterima di UI, di Fakultas Kedokteran, Kabar terakhir, W meraih gelar sarjana kedokteran beberapa tahun yang lalu, Setelah itu, saya tidak mendapat kabar lagi tentang W. Tapi saya yakin, W sudah menjadi seorang dokter yang dia cita-citakan.

Bagaimana kalau anak ingin menjadi seorang atlet?

Banyak kesalahan paradigma di mata kebanyakan insan yang menganggap para atlet mengabaikan pendidikan.

Saya rasa pola pikir keliru tersebut harus diluruskan. Para atlet tersebut pastinya tetap memprioritaskan pendidikan, tapi memang pilihan menjadi olahragawan menjadi nomor satu karena selain menyukai olahraga tersebut, juga dapat berprestasi, menghasilkan uang, dan mengharumkan nama Indonesia di mata dunia

Tidak sedikit atlet yang menyelesaikan tingkat pendidikan sampai jenjang SMA. Bahkan ada beberapa yang sambil berkuliah dan meraih gelar sarjana.

Karena mereka kebanyakan menyadari kalau masa keemasan atlet itu singkat, sehingga mereka harus memikirkan masa depan sesudah pensiun dari profesi atlet.

Bagi mereka, bersekolah tetap penting supaya tetap bisa berkarya dan menghidupkan perekonomian keluarga setelah pensiun, entah itu sebagai aparatur sipil negara (ASN). atau berwiraswasta.

3. Paparkan lika-liku proses bersekolah dalam meraih cita-cita

Tidak ada jalan instan untuk mencapai kesuksesan. Harus melewati proses kehidupan yang berliku-liku dengan peluh bercucuran dan linangan air mata.

Demikian juga dalam bersekolah. Dengan kondisi pendidikan saat ini, proses bersekolah mungkin bisa dikatakan tak menyenangkan. Tentu saja, ada yang mungkin tidak setuju dan keberagaman pendapat itu patut diterima.

Apa pun yang ada dalam proses bersekolah, baik itu menumpuknya tugas atau pekerjaan rumah (PR), cara mengajar guru yang membosankan, rutinitas berulang tanpa makna, dan lain sebagainya perlu dipandang sebagai pahit manis dalam belajar.

Tak selamanya belajar itu menyenangkan. Ada kalanya seperti melewati lembah. Gelap, sendiri, dan apa pun yang dilakukan tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Meskipun jatuh bangun, nilai-nilai ujian tidak begitu menggembirakan, usaha orangtua jatuh dan mempengaruhi finansial keluarga, serta menurunkan fokus belajar, namun itu semua tidak boleh menjadi alasan kegagalan.

Orangtua harus mengajar dan mendidik anak tentang kehidupan yang dinamis. Tidak selamanya langit cerah dan matahari bersinar gemilang. Ada kalanya timbul awan gelap, hujan petir hadir, dan bencana melanda. Hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan, karena Tuhanlah yang menentukan segala sesuatunya.

Berdoa dan berusaha. Itulah modal berharga untuk anak dalam mengarungi proses bersekolah untuk meraih cita-cita. 

Tujuan mengarahkan

Akhir kata, kita bergerak karena ada tujuan. Tanpa tujuan, kita tidak tahu untuk apa bergerak, bahkan kita tidak tahu untuk apa hidup ini.

Oleh karena itu, bersekolah juga harus jelas tujuannya. Bukan karena terpaksa. Bukan karena wajib belajar sembilan atau dua belas tahun. Tapi karena memikirkan masa depan. Bersekolah untuk mengembangkan diri dan menggapai profesi impian sesuai disiplin ilmu yang dikuasai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun