Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyoal Kerja Kelompok

13 November 2023   18:16 Diperbarui: 14 November 2023   00:35 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu ini, saya diperhadapkan dengan suatu persoalan yang berkaitan dengan les privat.

Beberapa les privat mengalami kemandekan.

"Capek Pak..."

"Ada kerja kelompok di sekolah..."

"Anaknya sakit, Pak..."

Alasan-alasan seperti berikut tadi membuat saya heran, Ada apa dengan anak-anak sekarang? Ada masalah apa dengan kebanyakan peserta didik SMP dan SMA/SMK di masa ini?

Selidik punya selidik, saya juga bertanya pada seorang kenalan di Jakarta yang berprofesi sebagai guru piano.

Saya menanyakan perihal kecenderungan murid-murid lesnya dalam beberapa bulan ini.

Dan saya tidak heran mendengar kesamaan kasus-kasus dia dengan saya.

Murid-murid les dia sama-sama izin tidak les karena alasan-alasan yang sebelumnya terpapar di awal tulisan ini. 

Herannya lagi, kebanyakan alasan bersumber pada kerja kelompok yang hampir setiap hari ada.

Lalu, kenapa les privat harus dikorbankan?

Yah, sah saja.

Les privat cuma 'kegiatan' di luar sekolah, tidak berhubungan dengan sekolah, meskipun les bahasa Inggris atau les mata pelajaran lainnya yang saya beri sesuai dengan mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah. 'Kegiatan' sekolah lebih berkuasa.

Secara pribadi, saya merasa jengkel, tapi menumpahkan kekesalan kepada orangtua murid tidak akan ada gunanya. Mereka juga korban dari sistem pendidikan di Indonesia

Alasan-alasan orangtua murid, sesuai dengan penuturan sebelumnya, bisa dikategorikan dalam 2 (dua) hal:

a. Kebanyakan orangtua mengatakan bahwa anak mereka sakit

Ada yang bilang sakit. Ada yang bilang takut tambah sakit. Atau asumsi takut anak jadi sakit. Kekhawatiran anak tidak bisa masuk sekolah esok hari menyeruak.

Secara pribadi, saya melihat dengan mata saya sendiri bagaimana murid-murid les saya kebanyakan terlihat 'kusut' sewaktu saya mengajar les privat!

Wajah lesu, letih, muram, pilek tiada henti, batuk, dan terutama, tidak bersemangat saat les.

Ini sangat memprihatinkan.

b. Kebanyakan orangtua ingin anak-anak mereka istirahat di malam hari setelah seharian di sekolah

Imbas dari gabungan belajar di sekolah saat pagi dan kerja kelompok (juga di sekolah) di waktu siang sampai sore pukul lima, mayoritas anak-anak usia remaja tersebut hanya bisa 'terkapar' saat malam tiba.

Boro-boro untuk les, untuk sekadar belajar biasa saja sudah tak bisa. Parahnya, beberapa guru masih "membekali" dengan segebung PR untuk peserta didik.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa mendengar izin yang sudah kesekian kalinya selama beberapa minggu terakhir ini.

"Istirahat, Pak. Anaknya capek..."

Apa yang saya bisa katakan kalau alasannya seperti itu?

Mengapa Pendidik memberikan kerja kelompok?

Nah, pertanyaan "Mengapa pendidik memberikan kerja kelompok?" sangat berhubungan dengan saya, karena saya pun pernah menjadi seorang guru di sekolah beberapa tahun yang lalu. 

Otomatis, saya sedikit banyak tahu atau, paling tidak, bisa menebak kenapa beberapa guru menugaskan kerja kelompok.

Menurut saya, sedikitnya ada 3 (tiga) alasan mengapa pendidik memberikan kerja kelompok.

1. Supaya peserta didik terbiasa bekerja dalam kelompok

Bekerja secara individual tentu saja tidak sama dengan bekerja secara berkelompok.

Individual hanya mengandalkan diri sendiri. Bekerja dalam tim harus mengenal "isi kepala" anggota grup, dan mengenal masing-masing anggota grup yang mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Tentu saja, maksimalkan kelebihan setiap anggota, minimalisir kekurangan, untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Faktor emosi mungkin 'bermain' di sini, namun harus mengingat bahwa ego tidak akan membawa ke target sasaran yang diharapkan.

Saling toleran. Itulah koentji harmonis bekerja dalam kelompok.

2. Agar peserta didik dapat bekerja secara terorganisir

Kelemahan lain selain sukarnya bekerja dalam tim dalam setiap era generasi peserta didik adalah kurang dapat bekerja secara terorganisir.

Yang ada malah one man show. Misalnya: satu kelompok terdiri dari lima orang. Hanya satu atau dua saja yang bekerja. Sisanya, tiga atau empat orang hanya planga-plongo, cuma nampang nama di kertas laporan saja. Tidak ada sumbangsih apa-apa. 

Harapan dari bekerja dalam kelompok adalah setiap anggota mempunyai peranan yang berbeda antara satu dengan yang lain, dan semuanya saling bahu-membahu, bekerja sama, untuk mencapai tujuan bersama.

Oleh karena itu, guru perlu menekankan pembagian tugas dalam kelompok kepada peserta didik supaya semua anggota terlibat aktif.

3. Untuk menumbuhkan peran serta peserta didik, baik itu di luar maupun di dalam jam pelajaran

Berbicara di depan orang banyak tidaklah mudah. Untuk itulah, perlu adanya peran serta secara aktif nyata dalam bentuk lisan, semisal diskusi atau presentasi.

Di luar jam pelajaran, mungkin peran serta peserta didik besar, meskipun ada keraguan akan hal itu bila melihat peran serta anggota tim saat presentasi sewaktu jam pelajaran berlangsung.

Lima anggota, tapi yang berbicara hanya satu atau dua orang saja.

Untuk itulah pendidik perlu mendidik peserta didik untuk mengambil peranan secara aktif, satu sama lain melakukan tindakan nyata untuk mencapai tujuan bersama.

Bagaimana orangtua menyikapi kerja kelompok?

Tentu saja, dua pihak, yaitu orangtua dan pendidik mempunyai sudut pandang yang berbeda perihal kerja kelompok. 

Bagaimana orangtua menyikapi kerja kelompok yang ada?

1. Orangtua perlu mendidik anak untuk menjaga asupan gizi, tertib berolahraga, dan berdisiplin dalam gaya hidup 

Sejatinya, pola hidup sehat menuntut berimbangnya antara kerja dan istirahat. Apakah cukup dua komponen itu? Tentu saja ada komponen-komponen lain yang ikut menentukan seperti asupan gizi yang memadai, tertib berolahraga, dan menjaga disiplin gaya hidup.

Ini yang menjadi kesulitan bagi orangtua untuk menjaga putra-putri tercinta supaya tetap sehat dan bugar.

Untuk sarapan dan makan malam mungkin tidak menjadi persoalan. Untuk makan siang dan cemilan-cemilan diantaranya, ini yang menjadi masalah, karena orangtua tidak berada di sekolah untuk memastikan putra-putri mengonsumsi penganan dan makanan yang sehat, serta bergizi lengkap.

Orangtua memang harus mendidik putra-putri untuk memilih makanan dan minuman yang sehat dan aman untuk dikonsumsi. Membiasakan anak untuk makan makanan yang diolah di rumah dari bahan-bahan alami dan minum air mineral (daripada minuman super manis saat ini) adalah cara bijak supaya anak terbiasa menjalani pola hidup sehat dalam hal asupan gizi.

Tertib berolahraga adalah hal yang penting yang sering terabaikan.

Orangtua sering beralasan "karena anak capek setelah sampai di rumah", sehingga mengistirahatkan anak sebagai solusi, supaya tidak jatuh sakit.

Memang dilematis apabila 'mengolahragakan' anak saat tiba di rumah pada jam lima sore, namun sebenarnya bisa saja berolahraga ringan secara rutin jika ada komitmen.

Kalau toh tidak memungkinkan di sore hari, kenapa tidak dilakukan di pagi hari?

Olahraga ringan dan hemat biaya seperti jalan kaki bisa menjadi pilihan bijak. Bersepeda juga bisa menjadi opsi kalau memang mempunyai sepeda atau berencana membeli sepeda untuk tjuan olahraga.

Gaya hidup anak juga perlu mendapat perhatian. Apakah anak mempunyai waktu tidur yang cukup dan berkualitas atau tidak? Apakah anak belajar di rumah dengan waktu yang teratur atau tidak? Apakah anak punya waktu rehat untuk berekreasi atau tidak?

Orang tua harus memastikan penataan waktu berimbang, gaya hidup anak ideal, supaya anak tidak 'bingung' dengan hidupnya.

2. Orangtua perlu berdiskusi dengan para guru di sekolah terkait kerja kelompok yang terlalu sering

Orangtua jangan hanya iya-iya saja kalau anak mengatakan ada kerja kelompok di sekolah sehingga terpaksa harus pulang di sore hari, sekitar pukul empat atau lima.

Waktu ditanya kerja kelompok untuk mata pelajaran apa, kebanyakan orangtua murid les tidak tahu karena anaknya tidak mengatakan.

Tidak mengatakan atau orangtua tidak bertanya kepada anak? 

Dengan mengetahui mata pelajaran yang sering mendapat "jatah" kerja kelompok, orangtua dapat berkonsultasi, berdiskusi dengan guru-guru yang mengajar mata pelajaran-mata pelajaran tersebut terkait kerja kelompok yang terlalu sering.

Bukan untuk menyerang 'kebijakan' guru, tapi untuk lebih mengevaluasi apakah kerja kelompok di luar jam pelajaran perlu diadakan atau tidak karena terkait dengan kesehatan dan prestasi peserta didik.

Bagaimana pendidik memaknai kerja kelompok?

Dari pendidik sendiri, sebagai pihak yang berada di garda terdepan di bidang pendidikan, pendidik mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan tujuan "mencerdaskan kehidupan bangsa".

Oleh karena itu, pendidik harus terus mengembangkan kompetensi diri, baik dari segi pengetahuan perihal pendidikan, maupun dari sisi pengalaman praktik mengajar itu sendiri.

Kerja kelompok adalah salah satu metode pembelajaran yang bisa berdaya guna apabila diterapkan dengan benar.

Bagaimana pendidik memaknai kerja kelompok, terutama kerja kelompok yang dilakukan di luar jam sekolah?

1. Peserta didik butuh istirahat yang cukup

Jadwal pelajaran padat, mata pelajaran bejibun, tugas (dibaca: PR) menumpuk.

Otomatis waktu bebas di rumah menjadi minim.

Kalau ada kerja kelompok yang harus dilakukan di luar jam sekolah, tentu akan semakin mengurangi waktu istirahat, karena kalau beberapa mata pelajaran (atau malah semua) menerapkan kerja kelompok di luar jam pelajaran, peserta didik akan pulang ke rumah sekitar jam empat atau lima sore hampir setiap hari.

Jika ada PR yang harus peserta didik kerjakan secara individual di rumah, maka sekolah akan menjadi beban di benak kebanyakan peserta didik.

Lelah secara fisik dan mental.

Oleh karena itu, pendidik perlu menganalisa, menimbang apakah sangat berat beban peserta didik dalam menjalani pendidikan di sekolah atau tidak.

Jangan sampai mengorbankan kesehatan peserta didik, baik itu kesehatan fisik maupun mental, hanya demi tuntasnya materi pelajaran.

2. Perlu ada rencana pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi yang jelas perihal kerja kelompok

Terkadang saya mengurut dada karena mengetahui ada beberapa guru yang mengajar peserta didik dengan menerapkan kerja kelompok setelah jam pelajaran usai.

Yang menjadi persoalan adalah beberapa guru tersebut masih menjalankan "gaya lama", yaitu tanpa perencanaan, guru memberikan tugas kolektif dalam bentuk kerja kelompok.

"Gagal dalam perencanaan berarti merencanakan kegagalan itu sendiri".

Mungkin Anda pernah mendengar atau pernah membaca kalimat di atas. Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Untuk mencapai kesuksesan, harus ada perencanaan yang matang, tindakan yang benar, dan evaluasi di akhir tindakan.

Terkesan pendidik sekadar mengajar tanpa persiapan, menjalankan rutinitas mengajar, menginstruksikan peserta didik untuk bekerja secara berkelompok di luar jam sekolah, dan peserta didik akan mempresentasikan hasil kerja kelompok di pertemuan berikut dari mata pelajaran tersebut.

Kebanyakan dari murid les saya mengatakan kalau guru-guru mereka tidak memberikan masukan atau evaluasi apa pun setelah diskusi berakhir.

"Tidak ada komentar apa-apa, dari awal sampai akhir pelajaran," jawab M, salah seorang murid les privat yang berstatus peserta didik kelas sepuluh SMA," Tidak ada juga nilainya."

Keberhasilan atau kegagalan suatu tindakan bisa diketahui dari evaluasi setelah tindakan dilakukan, apakah tujuan yang diharapkan tercapai atau tidak.

Menyemarakkan proses belajar mengajar (PBM) dengan menggunakan metode kerja kelompok, apakah membuahkan hasil yang sesuai dengan tujuan pembelajaran?

Kalau seandainya evaluasi berkata tidak, pendidik harus melihat apa kekurangannya, dan memperbaiki; atau bisa menggunakan cara lain dalam mengajar.

3. Kerja kelompok tidak bisa menggantikan peran pendidik dalam menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran

Seberapa pun efektifnya kerja kelompok, tidak bisa menggantikan peran pendidik dalam proses belajar mengajar.

Mekanisme kerja kelompok tetap menjadi tanggung jawab pendidik supaya tujuan pembelajaran tercapai.

Memfasilitasi peserta didik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan mendalam adalah tugas pendidik yang harus dijalankan dengan saksama.

Melepas tanggung jawab dengan asumsi peserta didik sudah memahami sepenuhnya materi ajar adalah salah kaprah, sesat pikir, yang seharusnya tidak terjadi.

***

Pada akhirnya, pendidik seharusnya tetap berpikiran terbuka terhadap tugas mengajar.

Kerja kelompok adalah sesuatu yang baik, tapi belum tentu sesuai dengan segala kondisi. Ada hal-hal lain yang harus diperhatikan, baik dari sisi peserta didik, orangtua atau wali murid, dan pendidik itu sendiri.

Apabila ketiga komponen ini bisa saling bersinergi demi mencapai suatu tujuan yang diharapkan, maka kerja kelompok bisa tetap berjalan.

Namun, jika ada "ketimpangan" dalam satu dan lain hal, maka kerja kelompok tidak akan membawa peserta didik ke sasaran pendidikan, tapi peserta didik hanya akan menjadi korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun