"Wah, nyerah deh. Kamu orang apa?"
"Cina."
"Biasanya kan Cina putih. Kok kamu gosong begini?"
"Waktu SMP, aku pergi ke sekolah dengan sepeda. Pagi sejuk, sinar matahari belum terik. Waktu pulang, saat panas-panasnya pancaran sinar matahari. Yah, jadi gosong kulit.
"Belum lagi, kalau ada belajar kelompok di sore hari. Jam empat masih terasa panas di Balikpapan. Jadilah tambah terbakar kulit sewaktu bersepeda ke rumah teman," tambah saya.
Dan memang, kulit gosong saya ini sempat membuat beberapa remaja bingung sewaktu berpapasan di jalan. "Mirip orang Cina ya, "begitu kata mereka.
Saya cuma cengar-cengir aja.
Beberapa uban di kepala dan kerutan di wajah merubah pandangan orang terhadap saya. "Pak", panggilan yang menunjukkan status ketuaan saya.
Kalau peserta didik di sekolah memanggil saya dengan panggilan "Pak", memang itu sudah sewajarnya. Namun kalau orang lain memanggil "Pak", tentu saja sangat berbeda.
Panggilan "Om", level berikut yang sangat tidak saya sukai. Konotasi "Om", menurut saya, terkesan sangat tua dan, kalau menonton tokoh-tokoh di sinetron dan film di masa saya belia, remaja, dewasa (dan mungkin sampai saat ini, karena saya sudah lama tidak menonton teve), tokoh pemeran om-om tersebut digambarkan gemuk, berperut buncit, dan suka main perempuan.
Ada juga tokoh Om-Om yang kurus kerempeng, tapi sifatnya sama dengan Om-Om gendut tadi: mata keranjang dan tajir tentu saja.