Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Didikan "Senyap" Ayah dan Ibu untuk Mencintai Buku

21 Oktober 2022   19:00 Diperbarui: 22 Oktober 2022   02:25 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Shutterstock via KOMPAS.COM)

"Dibentuk, bukan dilahirkan."

Saya lupa, entah dari sumber apa saya memperoleh kata-kata diatas. Yang jelas, kalau menyangkut kemampuan, keterampilan, kecintaan akan sesuatu hal, tidak akan timbul dengan sendirinya atau bawaan sejak lahir, tapi karena bentukan, didikan, baik dari keluarga, sekolah, maupun lingkungan.

Misalnya kebiasaan makan sayur. Apabila tidak menjalani disiplin makan sayur setiap hari, anak tidak akan suka makan sayur, seperti yang oleh seorang kenalan, sebut saja Irma, yang mengikuti penolakan anaknya, Ronald (nama samaran), untuk tidak makan sayur. Akibatnya sampai Ronald berstatus pelajar kelas X SMA, dia tidak suka makan sayur. 

"Coba dulu aku biasakan dia makan sayur, pasti tidak jadi seperti ini," sesal Irma.

Yah, penyesalan datang belakangan. Kalau muncul di awal, namanya pendaftaran.

Mencintai buku, atau lebih tepatnya mencintai aktivitas membaca buku sudah ditanamkan oleh ayah dan ibu saya sejak usia dini. Bukan dengan paksaan. Tidak dengan perkataan. Didikan "senyap" yang mereka jalankan.

Ayah dan ibu suka membaca. Meskipun pendidikan mereka hanya sampai lulus SMP, namun menurut saya, kesukaan mereka dalam membaca buku dan media cetak tidak kalah dengan lulusan perguruan tinggi.

Ayah menyediakan banyak rak buku, lalu mengisi dengan berbagai macam buku dan majalah. Ada yang berbahasa Inggris, ada juga yang berbahasa Indonesia.

"Engkong, ayahnya ayah dulu sering mendapat buku-buku bahasa Inggris dari kenalan-kenalannya yang baru pulang dari luar negeri," kata ibu.

Secapek apa pun, sepulang kerja, ayah tetap menyediakan waktu untuk membaca, baik itu membaca buku, surat kabar atau majalah.

Ibu juga demikian. Tidak mudah mengurus dan membesarkan tujuh anak sekaligus dalam kurun waktu 24 Jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu. Namun kelelahan tidak membuat ibu malas membaca. Ibu membaca secara rutin, khususnya di malam hari sebelum tidur.

Koleksi buku sangat beraneka. Itu karena ayah dan ibu tidak melarang kami untuk membaca buku-buku selain buku pelajaran. Novel, buku cerita, kumpulan cerpen, adalah juga termasuk salah tiga di antara jajaran buku di rak. 

Dan uniknya, saat kami sekeluarga mengunjungi pusat perbelanjaan, toko buku adalah tempat favorit yang kami masuki setelah restoran. 

Ayah dan Ibu selalu mengabulkan kalau kami, anak-anak mereka, ingin membeli buku incaran. Berbeda kalau minta dibelikan mainan, pasti banyak pertimbangan.

Masukan untuk para orangtua

Bagaimana dengan para orangtua, ayah dan ibu zaman now ?

Dari berbagai pengalaman menghadapi para orangtua peserta didik, saya mendapatkan fakta tentang ketidaksukaan putra-putri mereka dalam membaca buku.

Belajar dari pengalaman masa tumbuh kembang saya, ada 3 (tiga) masukan untuk para ayah dan ibu zaman now yang ingin saya sampaikan supaya anak-anak mereka gemar membaca buku.

1. Sediakan buku secara berlimpah di rumah

Melihat buku berlimpah di rumah-rumah peserta didik? Selama 20 tahun lebih saya mengajar dan mengunjungi bberapa rumah orangtua peserta didik, sayangnya, saya tidak menemukan satu pun keluarga yang mempunyai banyak buku di rumah.

Yang ada hanyalah buku-buku sekolah anak-anak mereka. Itu pun buku pinjaman dari sekolah, bukan beli sendiri. Kalau pun beli, apabila anak naik kelas, buku-buku tersebut kebanyakan langsung diberikan ke orang lain.

Bagaimana generasi zaman now bisa mempunyai minat membaca buku yang tinggi kalau buku-buku bacaan saja tidak tersedia di rumah? Bagaimana putra-putri mempunyai kecintaan akan literasi kalau yang melimpah di rumah malah teve yang bercokol arogan di setiap kamar tidur dan smartphone yang seakan lengket dalam genggaman?

Saya beruntung berada dalam keluarga yang suka membaca dan itu dimulai dari ayah dan ibu yang menyediakan berbagai buku bacaan yang melimpah di rumah.

Bagaimana dengan rumah yang minimalis alias terbatas dari segi ruangan? Mungkin ada yang berpikiran  seperti itu.

Membawa buah hati ke perpustakaan umum di kota Anda bisa menjadi alternatif murah meriah dan juga kalau sudah tidak ada ruangan lagi untuk menambah koleksi buku di rumah.

Terkendala kesibukan bekerja sehingga tidak bisa membawa putra-putri ke perpustakaan?

Ebook reader, pembaca buku elektronik, mungkin bisa menjadi solusi keterbatasan waktu dan ruang, meskipun harga ebook reader bisa dikatakan tidak ramah di dompet. Hanya saja, keunggulannya adalah tak terbatasnya buku-buku yang bisa kita akses lewat dunia maya.

Tapi, bagi saya pribadi, buku fisik tetaplah yang utama. Rasa membaca buku fisik tidak sama dengan feeling membaca buku digital. Dan yang jelas, konsentrasi lebih maksimal ke buku fisik dibandingkan buku elektronik.

2. Berikan teladan pada anak

Sebenarnya, satu perbuatan lebih "nyaring" dibandingkan beribu perkataan. 

Saya bukan mengatakan kita tidak perlu lagi memberikan nasihat atau petuah kepada anak-anak kita. Bimbingan dalam bentuk perkataan tetap perlu, tetapi perbuatan, tingkah laku juga sama pentingnya guna memberikan contoh nyata kepada generasi muda.

Ayah dan Ibu saya memberikan teladan kepada kami, anak-anaknya, dalam hal membaca. Mereka suka membaca. Dan tidak perlu disuruh lagi, karena melihat contoh orangtua, kami jadi suka membaca juga.

Berapa banyak dari Anda (sebagai orangtua) yang memberikan teladan membaca buku kepada putra-putri tercinta?

Beberapa orangtua peserta didik menunjukkan kalau tidaklah cukup dengan kata-kata. Perbuatan nyata lebih bermakna.

Jangan sampai Anda menyuruh anak untuk suka membaca buku, tetapi Anda sendiri malah menyediakan banyak waktu untuk menonton teve daripada membaca buku. 

3. Batasi jam tayang televisi dan pemakaian gawai

Tentu. saja, membandingkan dulu dengan sekarang tidak apple to apple.

Di waktu saya masih belia, Stasiun teve belum sebanyak sekarang. Meskipun begitu, ayah dan ibu tetap mengingatkan supaya membagi waktu dengan bijak, terutama waktu belajar.

Di era sekarang, dengan kehidupan yang semakin kompleks dan kemudahan dalam memilih hiburan, orangtua harus jeli dan cermat dalam menetapkan yang terbaik untuk buah hati.

Terkait teve, tentu saja penggunaannya harus dibatasi. Tentukan jam tayang televisi untuk keluarga, misalnya pada jam lima sampai enam sore. Selain dari waktu tersebut, teve dalam kondisi off.

Bisa juga dengan menentukan dua atau tiga program teve dalam satu minggu yang mereka perlu tonton karena ada unsur edukasinya.

Tujuan dari pembatasan jam tayang teve adalah untuk lebih meningkatkan waktu membaca buku.

Untuk gawai seperti ponsel pintar (smartphone), tablet, dan laptop, memang sekarang zaman gencar-gencarnya pemakaian gawai-gawai tersebut, terutama saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi covid-19 dari tahun 2020 sampai pertengahan 2022. 

Sekarang sudah berjalan Pembelajaran Tatap Muka (PTM), tapi penggunaan gawai terkadang tetap digunakan.

Untuk pembelajaran, tidak menjadi persoalan dalam menggunakan gawai. Sayangnya kebanyakan orangtua menggunakan gawai untuk "menenangkan" anak ketika masih berusia dini dan karena pertimbangan faktor "refreshing".

"Supaya gak ribut dan gak ganggu saya waktu masak, Pak," Bu Santi (bukan nama sebenarnya), salah satu orangtua peserta didik beralasan.

"Kasihan. Belajar terus. Biar dia main sekali-sekali," ujar Pak David (nama samaran) memberi alasan, yang pada kenyataannya beliau 'membebaskan' sang anak dalam penggunaan smartphone tanpa kontrol.

Hasilnya?

Rina (nama samaran), anak Bu Santi, "terikat" oleh smartphone, bahkan di saat makan pun, smartphone tidak lepas dari genggaman.

Michael (bukan nama sebenarnya), anak Pak David, malas belajar, tidak suka membaca buku, kecanduan game online, dan berperilaku tidak sopan.

Berbeda sekali dengan Julia dan Reynold. Orangtua mereka hanya mengizinkan Julia dan Reynold bermain game online di smartphone pada hari Sabtu dan Minggu. Itu pun dalam durasi waktu yang terbatas, tidak nonstop 48 jam.

Hasilnya?

Julia dan Reynold mempunyai prestasi yang membanggakan, tidak hanya di bidang akademik dengan meraih peringkat satu di sekolah, namun juga di bidang lain. Julia beberapa kali menggapai kemenangan di beberapa kejuaraan Karate; dan Reynold meraih banyak piagam hasil memenangkan lomba menggambar dan melukis.

Mulai dari sekarang

Jangan menunda. Didik anak sedari dini lewat perkataan dan perbuatan nyata. Karena anak adalah titipan dari Tuhan. Harus kita bina supaya mereka tidak salah jalan di kemudian hari.

Kiranya kita, baik generasi muda, atau yang sudah mempunyai putra-putri, hendaknya menyadari bahwa buku adalah jendela menuju ilmu pengetahuan. Meskipun sudah banyak sumber-sumber ilmu pengetahuan di era masa kini, buku tetap tak tergantikan. Orang-orang sukses dan pemimpin bangsa ini sudah membuktikan bahwa tanpa buku, mereka tidak akan menjadi siapa-siapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun